Kalangan Advokat Usul Penghapusan Pasal Contempt Of Court dalam RKUHP
Utama

Kalangan Advokat Usul Penghapusan Pasal Contempt Of Court dalam RKUHP

Karena tidak tepat digunakan dalam sistem hukum di Indonesia. Diusulkan lebih baik mengatur tentang contempt of power untuk melindungi peradilan dari potensi penyalahgunaan kekuasaan kehakiman yang bersifat absolut.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Substansi pasal contempt of court (penghinaan peradilan) dalam draft RKUHP menuai kritik dari banyak pihak. Sebab, contempt of court seperti diatur Pasal 281 RKUHP berpotensi menciptakan kriminalisasi baru terhadap beberapa profesi, seperti pemantau peradilan, jurnalis, jaksa, termasuk advokat. Misalnya, ketika menunjukan sikap tidak hormat kepada hakim atau menyanggah hakim dalam persidangan.

 

Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan menerangkan dalam draft RKUHP tertanggal 28 Agustus 2019 ada ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court). Ketentuan itu diatur Pasal 281 RKUHP. Sedikitnya ada tiga unsur delik dalam pasal contempt of court ini.

 

Pertama, tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan. Kedua, bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Ketiga, secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

 

Menurut Luhut, ketentuan pasal ini tidak sesuai dengan sistem hukum di Indonesia, salah satunya seperti termuat dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Luhut berpendapat contempt of court tidak tepat diterapkan karena sistem kekuasaan hakim seperti termuat dalam UU No.48 Tahun 2009 yang bersifat absolut (mutlak).  

 

Hakim bisa menentukan fakta, menyimpulkan, dan menentukan hukuman. Karena itu, hakim di Indonesia bersifat aktif dalam menangani setiap perkara. Dalam konsep ini, tidak perlu lagi contempt of court untuk melindungi hakim. Sebab, melalui kekuasaannya itu, (secara otomatis) hakim bisa “mengusir” pihak-pihak yang merasa mengganggu jalannya persidangan. Kalaupun ada pihak yang menyerang hakim, maka bisa dikenakan pasal pidana lain, tapi bukan pasal contempt of court.

 

Contempt of court ini, menurut Luhut berkembang di Inggris yang menggunakan sistem hukum common law, dimana hakim bertindak pasif dalam menangani perkara. Tugas hakim dalam sistem tersebut hanya menjaga aturan main, sehingga memang dibutuhkan ketentuan contempt of court. Namun, jika aturan ini diterapkan di Indonesia, maka akan menyebabkan kriminalisasi yang berlebihan.

 

“Jadi, Pasal 281 RKUHP ini layak dihapus, kami akan melayangkan surat kepada DPR dan jika dibolehkan kami akan menjelaskan alasannya,” kata Luhut dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (3/9/2019). Baca Juga: Beragam Profesi Ini Terancam Ketentuan Contempt of Court

 

Luhut mengusulkan ketimbang memuat ketentuan contempt of court, lebih baik mengatur contempt of power yang tujuannya melindungi peradilan dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim. “Ini diperlukan karena kekuasaan hakim dalam sistem hukum di Indonesia sifatnya absolut,” dalihnya.  

 

Penasihat DPP Peradin Frans Hendra Winata melihat pengaturan ancaman pidana dalam pasal contempt of court dalam RKUHP sangat tinggi. Misalnya, ancaman Pasal 285 RKUHP maksimal 7 tahun penjara. Padahal, contempt of court yang berlaku di Inggris sendiri ancaman pidananya paling lama 2 tahun penjara. Menurut Frans, ketentuan contempt of court dalam RKUHP tidak memberi batasan yang jelas, sehingga sulit untuk membedakan dengan pidana obstruction of justice atau merintangi proses penyidikan.

 

Menurut Frans, contempt of court yang berlaku di Inggris ditujukan untuk melindungi hakim dari potensi serangan para pihak seperti jaksa dan pengacara. Perlindungan itu ditujukan agar hakim dapat memberikan rasa keadilan. Tapi ketentuan Pasal 281 RKUHP ini berbeda dan berpotensi jug menyasar profesi advokat yang mengkritik hakim.

 

Contempt of court yang berkembang di Inggris ini, intinya untuk mewujudkan fair trial,” katanya.

 

Direktur Eksekutif ILR Firmansyah Arifin mencatat isu pasal contempt of court di Indonesia seolah timbul dan tenggelam. Istilah ini ramai menjadi perbincangan publik ketika ada kasus penyerangan terhadap hakim. Tapi pada pokoknya contempt of court ini merupakan sarana atau cara agar institusi peradilan bisa bekerja dengan baik untuk mewujudkan keadilan. Untuk mencapai tujuan itu, menurut Firmansyah tidak perlu menggunakan ancaman pidana sebagaimana diatua dalam Pasal 281 RKUHP.

 

Firmansyah menilai ada sejumlah instrumen yang bisa dioptimalkan untuk menjaga kewibawaan peradilan dan hakim. Misalnya, ada lembaga eksternal seperti KY dan Ombudsman yang berwenang menerima laporan terkait kinerja pengadilan dan menjaga kewibawaan hakim. Bahkan, ILR mencatat ada 18 hakim yang mengadu ke KY karena merasa diganggu. Selain itu, dalam RUU Jabatan Hakim, ada bab khusus yang memberikan perlindungan kepada hakim.

 

“Mekanisme yang ada sudah memberi perlindungan yang cukup bagi hakim, sehingga tidak perlu lagi ancaman pidana sebagaimana diatur Pasal 281 RKUHP,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait