​​​​​​​Kala Penegak Hukum Masih Melanggar Hukum
Lipsus Akhir Tahun 2018:

​​​​​​​Kala Penegak Hukum Masih Melanggar Hukum

​​​​​​​Pada 2018 ini saja setidaknya 10 penegak hukum yang menjadi tersangka maupun terdakwa kasus korupsi. Mereka terdiri dari hakim, panitera dan juga unsur advokat.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Belum semua penegak hukum tampaknya mengerti tugas dan fungsinya. Seperti yang terjadi pada beberapa oknum hakim maupun advokat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan mereka sebagai tersangka baik itu dari proses penyelidikan maupun Operasi Tangkap Tangan (OTT).

 

Seperti yang terjadi pada hakim Pengadilan Negeri Semarang, Lasito (LAS) yang sepertinya akan menjadi “penutup” aparat penegak hukum yang menjadi tersangka KPK. Ia diduga menerima uang suap sebesar Rp700 juta dari Bupati Jepara Ahmad Marzuqi terkait permohonan praperadilan yang diajukan.

 

Uang diberikan oleh Ahmad Marzuqi agar Hakim Lasito mengabulkan gugatan praperadilan Bupati Jepara itu. Ahmad Marzuqi sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Jawa Tengah terkait kasus korupsi penggunaan dana bantuan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

 

"Diduga uang diserahkan di rumah LAS di Solo dalam bungkusan bandeng presto agar tak terlihat," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers di kantornya, 6 Desember 2018 lalu. Kasus ini sendiri diketahui masih berada dalam tahap penyidikan.

 

Hakim PN Selatan, panitera dan Advokat

Belum sampai dua pekan sebelumnya, KPK juga menetapkan penegak hukum lain sebagai tersangka. Ini adalah salah satu kasus korupsi yang paling sistematis di lembaga peradilan karena melibatkan hakim, panitera dan juga advokat selain tentunya klien dari advokat tersebut yang mempunyai kepentingan.

 

Iswahyu Widodo dan Irwan selaku hakim PN Jakarta Selatan diduga menerima uang suap Rp650 juta dari seorang advokat Arif Fitrawan melalui Panitera Penggati PN Jakarta Timur Muhammad Ramadhan. Dari total tersebut, sebesar Rp150 juta sudah diberikan pada tahap putusan sela dan Rp500 juta yang dikonversi menjadi Sing$47 ribu rencananya diberikan untuk putusan akhir yang akan diketok pada Rabu 29 November 2018 berasal dari pihak swasta bernama Martin P. Silitonga.

 

Pemberian tersebut bertujuan mempengaruhi putusan atas perkara perdata yang didaftarkan di PN Jakarta Selatan pada 26 Maret 2018 dengan nomor perkara 262/Pid.G/2018/PN Jaksel dengan para pihak, yaitu penggugat Sdr. Isrulah Achmad dan tergugat Williem J.V. Dongen, turut terguat PT APMR dan Thomas Azali, yaitu gugatan perdata pembatalan perjanjian akuisisi PT CLM oleh PT APMR di PN Jakarta Selatan.

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, gugatan perdata ini sebelumnya pernah diajukan di Makassar. "Saat itu putusannya NO, untuk uang Rp150 juta tahap pertama agar putusan sela dapat dilanjutkan atau tidak NO, sehingga putusan gugatan diterima (dikabulkan) bisa terjadi," ujar Febri 28 November 2018 lalu.

 

Arif Fitrawan sendiri diketahui berasal dari organisasi advokat Peradi pimpinan Fauzie Hasibuan. Hal ini dikonfirmasi oleh Ketua Bidang Pembelaan Profesi DPN Peradi (Slipi) Tasman Gultom membenarkan jika Arif merupakan salah satu anggotanya. “Saya udah periksa nama itu, Arif Fitrawan memang terdaftar di Peradi kami,” kata Tasman saat dikonfirmasi Hukumonline melalu sambungan telepon, Senin (3/12). Kasus ini diketahui masih dalam tahap penyidikan.

 

Baca:

 

Lucas

Dan yang cukup menyita perhatian khususnya di dunia advokat yaitu penetapan Lucas sebagai tersangka. Pendiri kantor hukum Lucas, S.H. & Partners ini dianggap melakukan tindak pidana korupsi berupa menghalangi proses penyidikan dengan tersangka mantan bos Lippo Group Eddy Sindoro dalam penanganan perkara penyidikan kasus korupsi pemberian hadiah atau janji (suap) terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakarta Pusat.

 

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, pihaknya menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi berupa penyuapan terkait pengajuan permohonan PK di PN Jakarta Pusat dengan tersangka Eddy Sindoro.

 

"Terkait kasus tersebut, KPK meningkatkan status penanganan perkara ini ke tingkat penyidikan sejalan dengan penetapan LCS (Lucas) sebagai tersangka," kata Saut di kantornya, Senin 1 Oktober 2018.

 

Saut menjelaskan Lucas diduga telah melakukan perbuatan menghindari tersangka Eddy Sindoro ketika yang bersangkutan ditangkap otoritas Malaysia dan kemudian dideportasi kembali ke Indonesia. "LCS diduga berperan tidak memasukkan tersangka ESI (Eddy Sindoro) ke wilayah yurisdiksi Indonesia, melainkan dikeluarkan kembali ke luar negeri," ujar Saut.

 

Lucas sendiri memprotes keras penetapan tersangkanya ini, sebab dirinya mengaku tidak bersalah dan tidak pernah ditunjukkan bukti apapun oleh penyidik. Penetapan tersangka Lucas memang berbeda dengan penegak hukum lainnya, ia disangka menghalangi penyidikan, bukan terkait suap menyuap. Dan prosesnya pun berasal dari penyelidikan bukan OTT, kasusnya pun saat ini sudah masuk dalam tahap persidangan.

 

Lucas diketahui merupakan salah satu anggota Dewan Penasehat Peradi pimpinan Juniver Girsang. Wakil Ketua Umum Peradi pimpinan Juniver Girsang, Harry Ponto mengakui siap memberikan bantuan hukum kepada salah satu pengurusnya.

 

Hakim Tipikor Medan

Pada akhir Agustus 2018, Merry Purba, Hakim ad hoc Tipikor Medan menjadi tersangka pertama dalam kategori aparat penegak hukum sebagai tersangka korupsi pada 2018 ini. Ia diduga menerima uang suap Sing$280 ribu dari Tamin Sukardi untuk mempengaruhi putusan perkara tindak pidana korupsi No. 33/Pid.Sus/TPK/2018/PN. Mdn dengan terdakwa Tamin Sukardi yang ditangani Pengadilan Tipikor pada PN Medan. Merry Purba diketahui merupakan salah satu anggota majelis dalam perkara tersebut.

 

Dalam perkara korupsi penjualan tanah negara itu, Merry mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan tersebut. Merry menganggap perkara Tanah Eks HGU PTPN II ini telah berkekuatan hukum tetap (inkrach) sejak di PN Lubuk Pakam pada 2011 yang memenangkan 65 warga yang mengaku memiliki tanah seluas 106 hektar tanah di Pasar IV Kelurahan Labuhan Deli, Kecamatan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang.

 

Merry menilai sikap Direktur PT Perkebunan Nusantara II yang tidak menghapus aset PTPN II adalah hal keliru karena setelah putusan berkekuatan hukum tetap aset tersebut harus dihapusbukukan. Ia juga menganggap kerugian negara terhadap kasus eks HGU PTPN II ini tidak dilakukan audit yang benar.

 

“Diduga pemberian dari TS kepada Hakim MP terkait putusan perkara tindak pidana korupsi No. 33/pid.sus/TPK/2018/PN. Mdn dengan terdakwa Tamin Sukardi yang ditangani Pengadilan Tipikor pada PN Medan,” ujar Agus saat memberi keterangan pers di kantornya, Rabu (29/8).  

 

Merry sendiri akan segera disidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. “Hari ini penyidik menyerahkan tersangka dan berkas perkara ke penuntut umum,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah Rabu (26/12).

 

Baca:

 

Wahyu Widya Safitri

Beberapa bulan sebelum Merry, KPK juga menetapkan hakim perempuan lainnya sebagai tersangka korupsi. Wahyu Widya Nurfitri selaku hakim PN Tangerang dan panitera pengganti yakni Tuti Atika sebagai tersangka dugaan penerimaan suap. Selain itu ada juga dua orang advokat yaitu Agus Wiratno dan HM Saipudin sebagai tersangka.

 

“Terjadi pemberian sejumlah uang kepada hakim melalui panitera yang sedang menangani kasus perdata. Uang diberikan agar kasusnya dimenangkan,” kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan di kantornya, Selasa 13 Maret 2018.

 

Wahyu diduga menerima suap sebesar Rp 30 juta. Uang itu diduga diberikan sebagai imbalan untuk pengurusan gugatan perkara wanprestasi di PN Tangerang. Dengan pemberian uang itu, penyuap berharap putusan hakim berubah dan pengacara memenangkan gugatannya.

 

Informasi yang diperoleh Hukumonline keduanya merupakan advokat dari Kantor Hukum Jokusa & Ascociates yang beralamat di Jalan Panjang Arteri Raya Pos Pengumben Nomor 68, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

 

Joko Nurwanto perwakilan kantor hukum Jokusa & Ascociates kepada Hukumonline mengatakan pihaknya memang salah satu bagian dari kantor hukum tersebut. “Kita gabungan, saya, Kusmayadi dan Saipudin sudah lama, tapi penanganan kita masing-masing. Kan namanya lawyer itu kita kumpul, jadi, tapi kan case-nya beda-beda, terang Joko saat dihubungi melalui telepon selularnya.

 

Joko sendiri mengatakan kedua koleganya itu berasal dari organisasi KAI pimpinan Tjoetjoe S. Hernanto. “Enggak ada dia (di Peradi), dia di KAI, Pak Tjoetjoe,” kata Joko. Namun ketika dikonfirmasi Hukumonline, Tjoetjoe S. Hernanto membantah hal tersebut. “Confirmed yang tertangkap KPK bukan anggota KAI,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait