Kala KPK dan Terdakwa e-KTP Kompak Menentang Putusan Banding
Utama

Kala KPK dan Terdakwa e-KTP Kompak Menentang Putusan Banding

Peran Andi Narogong yang disebut sebagai pelaku utama akan berimbas sulitnya KPK meminta pelaku untuk bekerja sama.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Andi Narogong di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Andi Narogong di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman kepada Andi Agustinus atau Andi Narogong dari 8 menjadi 11 tahun terkait kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP). Putusan ini tidak hanya disesalkan oleh pihak Andi selaku terdakwa, tetapi juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani perkara ini.

 

Jarang memang KPK dan terdakwa begitu kompak menolak putusan hakim mengenai suatu tindak pidana korupsi. Apalagi, keduanya sekarang dalam posisi yang sama yaitu akan mengajukan upaya hukum lanjutan berupa kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan banding itu.

 

"Ya pasti kita akan ajukan kasasi," kata kuasa hukum Andi Agustinus alias Andi Narogong, Samsul Huda saat dikonfirmasi Hukumonline, Kamis (19/4/2018). Baca Juga: Berstatus Justice Collaborator, Andi Narogong Divonis 8 Tahun Bui

 

Samsul mengaku kecewa dengan putusan tersebut. Ia menilai majelis tidak mempertimbangkan fakta yang sudah terungkap dalam persidangan bahwa kliennya bukan pelaku utama dalam perkara ini dan telah mendapat predikat sebagai Justice Collaborator (JC) dari KPK.

 

"Tentu saja kami kecewa dengan putusan banding tersebut. Kami menilai pertimbangan majelis banding sama sekali berbeda dan tidak sesuai dengan fakta sidang yang sebenarnya," terang Samsul.

 

Hal senada dikatakan Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Menurut Febri saat ini upaya kasasi sedang dibicarakan penuntut umum terkait adanya putusan tersebut. "Salah satu pertimbangan yang cukup disayangkan adalah terkait JC dan posisi terdakwa sebagai pelaku utama, sehingga hukuman yang diperberat," kata Febri kepada Hukumonline.

 

Seharusnya, menurut Febri dengan status sebagai JC Andi dianggap bukan sebagai pelaku utama dalam perkara ini. Sebab, hal ini akan berimbas pada semakin sulitnya meminta seseorang bekerja sama dalam membongkar kasus korupsi di KPK baik dalam korupsi e-KTP maupun perkara lainnya.

 

"Satu hal yang cukup mengkhawatirkan, orang akan enggan untuk menjadi JC dan membuka keterangan tentang peran pihak lain yang lebih besar jika kita tidak secara proporsional memberi keringanan tuntutan dan hukuman atau fasilitas lain," jelas Febri.

 

Alasan hukuman diperberat

Dalam pertimbangannya, Majelis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak sependapat dengan lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Andi Narogong dan lamanya pidana penjara pengganti atas uang pengganti kerugian negara. Alasannya putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dirasa tidak adil karena sejumlah alasan.

 

Pertama, masalah e-KTP adalah masalah yang dihadapi seluruh warga negara Indonesia saat ini, karena faktanya banyak warga negara yang belum memiliki e-KTP. Pemerintah, kata majelis, hanya memberikan surat keterangan sebagai bukti bahwa warganya bertempat tinggal di suatu daerah.

 

"Akan tetapi ketika ada warga yang berhubungan dengan suatu urusan yang mengharuskan adanya e-KTP, maka warga tersebut harus menemui jalan panjang untuk mengurus keperluannya ataupun kepentingannya tersebut," terang majelis.

 

Kedua, dirasa tidak adil ketika warga negara harus mengurus keperluannya, namun tak kunjung selesai hanya karena belum terbitnya e-KTP yang bersangkutan. Ketiga, apabila uang proyek pengadaan e-KTP tidak diselewengkan, maka keperluan warga negara akan bukti kependudukan yang berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) ini dapat dinikmati oleh Warga Negara Indonesia secara luas.

 

Pertimbangan terakhir, uang yang diselewengkan tersebut adalah uang negara yang sumbernya dari APBN dari hasil pemasukan pajak dari Warga Negara Indonesia.

 

"Menimbang, bahwa dengan alasan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, Pengadilan Tinggi berpendapat penjatuhan pidana dan pidana pengganti atas uang pengganti kerugian Negara dirasa adil dan tepat sebagaimana tersebut dalam amar putusan di bawah ini," jelas majelis.

 

Andi menurut majelis juga berperan besar atas terjadinya korupsi e-KTP. Meskipun berstatus JC, tetapi Andi dianggap sebagai pelaku utama dalam perkara ini karena perannya sangat dominan baik dalam penganggaran maupun dalam pelaksanaan proyek e-KTP hingga negara dirugikan triliunan rupiah.

 

"Terlepas statusnya sebagai Justice Collaborator, sehingga terdakwa dapat dikategorikan sebagai pelaku utama disamping itu ancaman hukuman dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 tahun 2001 adalah 20 tahun atau seumur hidup, sehingga Pengadilan Tinggi berdasarkan rasa keadilan akan menjatuhkan putusan sebagaimana tersebut dalam amar putusan di bawah ini."

 

Pengadilan Tinggi menganggap Majelis Hakim Tingkat pertama telah keliru dalam menerapkan hukum, khususnya dalam menerapkan unsur “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dalam Pasal 3 dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo.UU No.20 tahun 2001.

 

Dalam memori bandingnya, penuntut umum KPK beranggapan Pengadilan Tipikor tidak mempertimbangkan keberadaan Terdakwa yang telah bekerja sama Irman, Sugiharto, Diah Anggraini, Setya Novanto, Isnu Edhi Wijaya dan Drajad Wisnu Setyawan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun dari kasus korupsi ini.

 

Sebagai pihak swasta, Andi memang tidak mempunyai kewenangan baik dalam bidang penganggaran hingga pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP. Namun pada kenyataannya sesuai dengan fakta di persidangan, ia mempunyai wewenang dan pengaruh terhadap para Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri serta anggota DPR RI.

 

Meskipun begitu, Andi dianggap telah kooperatif dan bekerja sama dengan penyidik untuk mengungkap pelaku utama dalam perkara ini, sehingga ia menyandang status sebagai Justice Collaborator (JC) berdasarkan surat keputusan Pimpinan KPK No.KEP 1536 / 01-55/12/2017 tanggal 5 Desember 2017.

 

Atas pertimbangan itu, majelis memperberat hukuman Andi. "Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong dengan pidana penjara selama 11 tahun dan denda sebesar Rp1 milyar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," kata majelis yang dipimpin Danier Dalle Pairunan sebagai ketua didampingi I Nyoman Adi Juliasa, Achmad Yusak, Jening Tyastiyanto, dan Rusydi sebagai anggota.

 

Majelis juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti US$2,5 juta dan Rp1,186 milyar diperhitungkan dengan pengembalian sebesar US$350 ribu, selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Apabila Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka Terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 3 tahun.

Tags:

Berita Terkait