KAJS Desak Pemerintah Serius Tangani BPJS
Berita

KAJS Desak Pemerintah Serius Tangani BPJS

Pemerintah hanya memberikan anggaran Rp25 triliun untuk 96,4 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia dalam program BPJS I.

FNH
Bacaan 2 Menit
KAJS Desak Pemerintah Serius Tangani BPJS
Hukumonline

Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) mendesak pemerintahserius dalam melaksanakan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). KAJS melihat pelaksanaan BPJS ini menunjukkan sikap setengah hati dari pemerintah dengan melakukan tindakan-tindakan sepihak tanpa melakukan pembicaraan dengan pihak yang terlibat di dalam program tersebut.


Hal ini disampaikan oleh Sekjen KAJS, Said Iqbal, dalam konferensi pers yang bertajuk “Selamatkan Jaminan Kesehatan Untuk Seluruh Rakyat” di Jakarta, Jumat (7/9). “Pemerintah secara sepihak menetapkan aokasi anggaran ‘bantuan kesehatan’ sebesar Rp25 triliun yang akan digunakan bagi penduduk miskin ‘penerima bantuan iuran’ berjumlah 96,4 juta jiwa. Ini artinya per penerima bantuan iuran dianggarkan Rp22 ribu lebih,” katanya.


Tindakan tersebut, lanjutnya, menjadi salah satu bukti lagi bahwa pemerintah tidak serius dalam melaksanakan program BPJS. Selain terlihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang belum juga diterbitkan, tindakan pemerintah juga mengindikasikan ketidakseriusan dalam melaksanakan perintah UUD1945, khususnya Pasal 28H ayat (3)dan Pasal 34 ayat (2) yang ditegaskan kembali dalam UU BPJS.


Dalam UUD 1945 serta UU BPJS, jelas memerintahkan pemerintah untuk menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tetapi dalam anggaran yang disediakan pemerintah sebesar Rp25 triliun tersebut, hanya berfokus pada jumlah penduduk miskin yang dicakupinya tanpa ada dasar pertimbangan yang jelas dan dapat dipertanggugjawabkan dasar penetapan anggaran tersebut.


Menurut Said, tindakan ini secara langsung akan mengakibatkan puluhan juta warga  negara Indonesia yang tidak miskin, namun berpotensi akan menjadi miskin ketika sakit, yang berjumlah sekitar 134 juta jiwa lebih. Sementara, buruh dan pekerja di sektor formal malah dibebani iuran tambahan sebesar 2 persen yang diduga akan memicu penolakan keras dari pekerja formal yang berjumlah lebih dari 30 juta jiwa karena selama ini iuran tersebut dibayarkan oleh pengusaha.


“Jika orang miskin yang ditanggung oleh pemerintah sebesar 96,4 juta jiwa dan pekerja beserta keluarganya berjumlah 60 juta jiwa, akandari sekitar 250 juta jiwa warga Indonesia aka nada lebih dari 90 juta lebih rakyat tidak akan mendapatkan jaminan kesehatan mulai 1 Januari 2014 sesuai amant UU BPJS,” ujar Said.


Untuk itu, KAJS meminta DPR untuk berperan mengawasi persiapan transformasi BUMN PT Askes menjadi BPJS Kesehatan, PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan dengan membentuk Satuan Tugas BPJS paling lambat November tahun 2012.


Selain itu, KAJS bersama dengan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) akan mengumandangkan pada aksi mogok kerja 2juta buruh di 14 kabupaten/Kota padat industri soal Jaminan Kesehatan bagi seluruh rakyat yang akan menjadi agenda utama bersama dengan HOSTUM (hapuskan outsourching dan tolak upah murah).


Apabila pemerintah tetap tidak peduli dan tidak  segera mengeluarkan aturan turunan UU SJSN dan UU BPJS, maka AJS akan mengajukan GUgatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) seperti yang pernah dilakukan terdahulu.


Selain itu, data fakir miskin sebagai penerima bantuan iuran yang dikeluarkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tidak jelas karenanya harus didata ulang dengan merujuk pada UU No. 13 Tahun 2011 tentang Fakir Miskin dan mendesak agar TNP2K dibubarkan karena tidak bisa membuat data yang valid serta hanya menghabiskan anggaran negara.


Anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka merasa heran atas tindakan pemerintah yang telah menyebutkan angka anggaran jaminan kesehatan. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dasar yang jelas untuk menentukan besaran anggaran tersebut dan penghitungan jumlah orang miskin yang akan mendapatkan bantuan iuran tersebut. Bahkan, ia membenarkan jika pemerintah tidak menjalankan amanat UU 1945 serta UU BPJS.


“Jumlah penduduk miskin yang dipakai oleh pemerintah itu dari mana? Masa untuk jaminan kesehatan 2014 yang dipakai data 2011, bakal kacau lagi nanti,” katanya ketika dihubungi hukumonline.


Selain itu, ia mempertanyakan keterlibatan TNP2K sebagai tim yang bertugas untuk menghitung data masyarakat miskin di Indonesia. Padahal, pembentukan TNP2K bukan menjadi bagian amanat yang tercantum di dalam UU maupun peraturan lainnya.


Melihat persoalan ini, ia khawatir jika BPJS akan bernasib sama dengan program Jamkesmas. Jika tidak diawasi, maka pelaksanaan BPJS tidak lebih baik dari Jamkesmas. Untuk itu, Rieke akan menyuarakan hal ini ke DPR dan meminta DPR untuk segera membentuk Tim Pengawas BPJS.


“Peraturan turunan belum jelas, tapi anggaran sudah ditentukan. Mekanisme kerja pun juga tidak jelas,” pungkasnya.

Tags: