‘Kado’ Akhir Tahun KPK: 17 Tersangka dalam Tiga Hari
Utama

‘Kado’ Akhir Tahun KPK: 17 Tersangka dalam Tiga Hari

Penetapan tersangka merupakan pengembangan dari tiga kasus sebelumnya yaitu suap RAPBD Jambi, suap Bakamla RI, dan suap Jaksa Bengkulu.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK Agus Rahardjo. Foto: RES
Ketua KPK Agus Rahardjo. Foto: RES

Upaya penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tampaknya tidak mengenal hari libur. Saat masyarakat sedang berlibur dalam rangka Natal dan Tahun Baru 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malah secara paralel mengumumkan tiga pengembangan perkara korupsi.

 

Jelang akhir tahun ini dalam tiga hari berturut-turut, KPK setidaknya menetapkan 17 tersangka baru dalam kasus berbeda. Mayoritas diantaranya merupakan anggota dewan provinsi Jambi berjumlah 12 orang ditambah 1 orang swasta dalam kasus tersebut. Kemudian 3 orang pejabat di Bengkulu dan seorang lagi bos salah satu perusahaan swasta.

 

Uang ketok di Jambi

Perkara korupsi yang melibatkan Gubernur Jambi Zumi Zola masih terus berlanjut. KPK menetapkan lagi 13 orang tersangka, 12 orang diantaranya merupakan anggota dewan dan seorang lagi pihak swasta berkaitan dengan pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2017 dan 2018.

 

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dan meningkatkan perkara tersebut ke penyidikan dengan 13 orang sebagai tersangka, yang terdiri unsur pimpinan DPRD, pimpinan fraksi, anggota DPRD dan swasta," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di kantornya, Jumat (28/12/2018).

 

Unsur pimpinan DPRD itu adalah Cornelis Buston (CB) Ketua DPRD; AR Syahbandar (ARS) Wakil Ketua DPRD dan Chumaidi Zaidi (CZ) Wakil Ketua DPRD. Sedangkan lima pimpinan fraksi yaitu Sufardi Nurzain (SNZ) pimpinan Fraksi Golkar, Cekman (C) pimpinan Fraksi Restorasi Nurani, Tadjudin Hasan (TH) pimpinan Fraksi PKB, Parlagutan Nasution (PN) pimpinan Fraksi PPP, serta Muhammadiyah (M) pimpinan Fraksi Gerindra.

 

Kemudian Zainal Abidin (ZA) Ketua Komisi III, Elhelwi (E) anggota DPRD, Gusrizal (G) anggota DPRD, Effendi Hatta (EH) anggota DPRD, dan seorang swasta bernama Jeo Fandy Yoesman (JFY) alias Asiang.

 

"Para unsur Pimpinan DPRD Jambi diduga meminta uang ‘ketok palu’, menagih kesiapan uang ‘ketok palu’, melakukan pertemuan untuk membicarakan hal tersebut, meminta jatah proyek dan/atau menerima uang dalam kisaran Rp100 juta atau Rp600juta per orang," kata Agus.

 

Sementara peran unsur pimpinan fraksi dan komisi di DPRD Jambi diduga mengumpulkan anggota fraksi untuk menentukan sikap terkait pengesahan RAPBD Jambi, membahas dan menagih uang ‘ketok palu’. Mereka menerima uang jatah fraksi kisaran Rp400 juta, hingga Rp700 juta untuk setiap fraksi. Sedangkan dalam menerima uang untuk perorangan dalam kisaran Rp100 juta, Rp140 juta, hingga Rp200 juta.

 

Sedangkan para anggota DPRD Jambi diduga mempertanyakan apakah ada uang "ketok palu", mengikuti pembahasan dari fraksi masing masing, dan/atau menerima uang dalam kisaran Rp100 juta atau Rp200 juta per orang. "Total dugaan pemberian suap ‘ketok palu’ untuk pengesahan RAPBD TA 2017 dan 2018 adalah Rp16,34 Milyar, dengan pembagian, untuk pengesahan RAPBD TA 2017 Rp12,94 miliar dan untuk pengesahan RAPBD TA 2018 Rp3,4 miliar," terang Agus.

 

Selama proses penyidikan hingga persidangan dengan terdakwa Zumi Zola, terdapat 5 orang yang mengembalikan uang ke KPK sejumlah Rp685,3 juta dari unsur Gubernur Jambi dan anggota DPRD.

 

Atas perbuatannya, 12 unsur pimpinan dan anggota DPRD tersebut disangkakan melanggar Pasa| 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Baca Juga: Kala Penegak Hukum Masih Melanggar Hukum

 

Lalu bagaimana peran Asiang selaku swasta? "memberikan pinjaman uang Rp5 miliar kepada Arfan (plt Dinas PUPR Jambi) dkk. Uang tersebut diduga diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD Jambi terkait pengesahan APBD TA 2018, dan diperhitungkan sebagai fee proyek yang dikerjakan oleh perusahaan tersangka JFY di Jambi," lanjutnya.

 

Atas perbuatannya, JFY disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Kasus Bakamla

Kemarin, KPK melakukan pengembangan perkara dalam dugaan kasus korupsi di Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI dengan menetapkan Erwin Sya'af Arief (ESY) selaku Managing Director PT Rohde & Schwarz Indonesia sebagai tersangka. Ia diduga merupakan salah satu perantara suap dalam kasus ini.

 

"ESY selaku Manager Director PT Rohde & Schwarz Indonesia diduga secara bersama-sama atau membantu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara dengan maksud supaya penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya terkait proses Pembahasan dan Pengesahan RKA K/L dalam APBN P TA 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (27/12/2018).

 

Febri menjelaskan penyidik mendapat fakta yang didukung dengan alat bukti berupa keterangan saksi, surat, barang elektronik dan fakta persidangan bahwa Erwin diduga membantu Fahmi Darmawansah selaku Direktur PT Merial Esa memberikan suap kepada Fayakhun Andriadi selaku Anggota Komisi I DPR RI periode 2014 2019.

 

Erwin diduga bertindak sebagai perantara antara Fahmi dan Fayakhun dengan mengirimkan rekening yang digunakan untuk menerima suap dan mengirimkan bukti transfer dari Fahmi ke Fayakhun. Jumlahnya sendiri mencapai AS$911.480 (setara sekitar Rp12 milyar), yang dikirim secara bertahap sebanyak 4 kali melalui rekening di Singapura dan Guangzhou, China terkait fee anggaran.

 

"Diduga kepentingan ESY membantu apabila dana APBN-P 2016 untuk Bakamla RI disetujui, maka akan ada yang dianggarkan untuk pengadaan Satelit Monitoring (Satmon) yang akan dibeli dari PT Rohde & Schwarz Indonesia dimana ESY sebagai Managing Director," terang Febri.

 

Atas perbuatannya, ia dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP.

 

Erwin merupakan tersangka ke-7 dalam kasus ini. Sebelumnya KPK telah memproses 6 orang sebagai tersangka hingga divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta terkait proses pengadaan satelit monitoring di Bakamla RI pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) Tahun 2016.

 

Suap Jaksa Bengkulu

Sehari sebelumnya pada Rabu (26/12/2018), KPK juga melakukan pengembangan perkara lain dalam kasus suap Kasie Intel Kejati Bengkulu Parlin Purba. Setidaknya, ada tiga tersangka baru yang diduga menyuap Parlin.

 

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dan menetapkan 3 orang lagi sebagai tersangka, yaitu AK (Apip Kusnadi) PPK Irigasi dan rawa II pada Satker PJPA BWS Sumatera VII Bengkulu, MF (M. Fauzi) Kasatker PJPA BWS Sumatera VII Bengkulu dan EJ (Edi Junaidi) Kasatker PJSA BWS Sumatera VII Bengkulu," lanjut Febri.

 

Ketiganya diduga bersama-sama menyuap Parlin terkait pengumpulan data atau bahan keterangan atas pelaksanaan proyek-proyek di Balai Wilayah Sungai Sumatera VII Provinsi Bengkulu Tahun Anggaran 2015 dan 2016.

 

Febri menjelaskan pada awal April dan Mei 2017, Kejati Bengkulu menerima informasi dari masyarakat atas dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan proyek rehabilitasi jaringan irigasi air nipis seginim dan proyek rehabilitasi jaringan irigasi primer sekunder kiri daerah irigasi air manjunto di Kab. Mukomuko.

 

"Agar informasi tersebut tidak ditindaklanjuti dan menghentikan kegiatan pulbaket, maka AK, MF dan El menyerahkan uang sebesar Rp150 juta kepada Parlin Purba dalam 2 kali penyerahan," terangnya.

 

Uang tersebut merupakan bagian dari kesepakatan antara BWS Sumatera VII dengan beberapa mitra yang mengerjakan proyek di BWS Sumatera VII Bengkulu. Disepakati mitra/pelaksana proyek menyetorkan uang kutipan sebesar 6 persen dari nilai total proyek.

 

Tiga tersangka baru ini menambah daftar tersangka dalam perkara ini. Sebelumnya KPK telah menetapkan 3 orang lain sebagai tersangka, sehingga total yang telah diproses dalam kasus ini berjumlah 6 orang. Untuk 3 terdakwa yang awal telah diproses dan disidangkan di Pengadilan Tipikor Bengkulu hingga dijatuhi vonis bersalah.

 

Atas perbuatannya, AK, MF dan El disangkakan meianggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tags:

Berita Terkait