KADIN Pesimis Sambut Masyarakat Ekonomi ASEAN
Utama

KADIN Pesimis Sambut Masyarakat Ekonomi ASEAN

Suku bunga kredit bank terlalu tinggi sehingga industri dalam negeri menghadapi kondisi yang tidak sama dengan pesaing dari negara lain.

M Vareno Tarnes
Bacaan 2 Menit
KADIN ragu industri Indonesia siap menyambut<br>Masyarakat Ekonomi ASEAN.<br>Foto: www.kadin-indonesia.or.id
KADIN ragu industri Indonesia siap menyambut<br>Masyarakat Ekonomi ASEAN.<br>Foto: www.kadin-indonesia.or.id

 

Kamar Dagang dan Industri (KADIN) mengkhawatirkan kesiapan industri Indonesia untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Menurut Ketua Umum KADIN, Suryo Bambang Sulistyo, kondisi perindustrian Indonesia tidak setara dengan negara lain yang akan menjadi pesaing industri dalam negeri nantinya.

 

Suryo menyoroti masalah tingginya suku bunga kredit perbankan di Indonesia, yang masih di atas kisaran 10 persen. Sementara, industri di negara lain menikmati keringanan suku bunga kredit.

 

“Suku bunga bank di Indonesia jauh lebih tinggi. Hal ini mempersulit kemampuan bersaing industri dalam negeri,” ungkapnya dalam konferensi pers persiapan Rapat Pimpinan Nasional KADIN di Hotel Le Meredien, Jakarta, Rabu (30/3).

 

Saat ini saja, kata Suryo, daya saing industri dalam negeri masih rendah padahal pasar bebas ASEAN belum dimulai. “ Berat sepertinya kemampuan industri kita untuk bersaing. Harus diakui produk Indonesia kalah saing di dalam negeri, apalagi nanti saat Masyarakat Ekonomi ASEAN,”

 

Karena itu, Suryo berharap pemerintah memikirkan dengan bijak masalah tingginya suku bunga bank bagi industri. Apalagi, saat ini tidak sedikit industri dalam negeri yang sudah berguguran akibat kalah saing.

 

“Perlu dipikirkan agar industri kita bisa bersaing dengan level yang sama. Keberpihakan pemerintah berupa langkah-langkah protektif perlu dipertimbangkan,” pungkasnya.

 

Tingginya suku bunga bank memang jadi salah satu perhatian belakangan ini. Beberapa waktu lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), menengarai suku bunga kredit bank di Indonesia tidak efisien. Indikasi itu muncul dari tingginya tingkat suku bunga kredit usaha padahal suku bunga acuan BI (BI Rate) sudah dibawah 7 persen selama dua tahun terakhir.

 

"Tingginya suku bunga kredit bank mengakibatkan biaya dana atau cost of fund yang harus dibayar sektor riil relatif mahal sehingga tidak bisa bersaing dengan produk impor yang suku bunga kredit bank domestik sudah di bawah 10 persen," tuturnya.

 

Ketua KPPU, Nawir Messi menjelaskan, ketika BI Rate stabil di kisaran 6 persen hingga 7 persen, besaran suku bunga kredit idealnya bisa di bawah 10 persen. Namun, anomali masih saja terjadi, suku bunga kredit secara umum masih berada di atas 10 persen.

 

Selain itu, Nawir menuturkan, juga terdapat permasalahan dalam penetapan suku bunga kredit, di mana beberapa faktor seperti transparansi struktur biaya, premi risiko, serta ekspektasi inflasi juga diduga berperan dalam tingginya suku bunga kredit perbankan.

 

Nawir berjanji, lembaganya akan terus memonitor pergerakan suku bunga kredit dan memikirkan kebijakan lain khususnya yang terkait dengan penegakan hukum dan advokasi kebijakan. KPPU juga tetap berupaya mengintensifkan pembicaraan dengan Bank Indonesia agar mendapat informasi lebih spesifik mengenai produk perbankan serta profil tingkat persaingannya.

 

Terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, menegaskan tingginya suku bunga kredit bukan hanya karena kebijakan bank. Ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi.

 

“Misalnya soal tingginya bunga deposito yang saat ini masih tinggi. Persoalannya kan bunga deposito tidak bisa lebih rendah dari tingkat inflasi (sekitar 7 persen),” katanya via telepon pada hukumonline.

 

Selain itu, Sigit menandaskan sektor industri juga perlu mengevaluasi diri. “Apakah memang sudah siap bersaing secara kualitas dibanding industri di negara lain,” pungkasnya.

 

Tags: