Kadin Minta Transparansi Persetujuan Ekspor Tambang
Berita

Kadin Minta Transparansi Persetujuan Ekspor Tambang

Pelaku usaha khawatir dapat menimbulkan masalah hukum.

FNH
Bacaan 2 Menit
Kantor KADIN. Foto: SGP
Kantor KADIN. Foto: SGP
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia berharap ada transparansi aturan surat persetujuan ekspor (SPE) tambang. Permintaan transparansi tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah, Natsir Mansyur.

Menurut Natsir, transparansi surat persetujuan ekspor tersebut penting bagi pelaku usaha tambang. Ia mengatakan, aturan tersebut harus fair dan selektif serta professional karena taruhannya terhadap pelaku usaha sangat berat. “Harus fair dan selektif serta profesional karena taruhannya berat. Bisa menimbulkan masalah hukum dan bisa diperiksa KPK,” kata Natsir, dalam rilis yang diterima hukumonline.

Permintaan tersebut, lanjut Natsir, merupakan suara para pelaku usaha yang meminta kepada Tim Independen yang dibentuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan verifikasi pembangunan smelter dengan saksama. Hasil verifikasi dapat dijadikan acuan untuk menerbitkan rekomendasi surat persetujuan ekspor (SPE).

Menurut dia, peraturan dan kebijakan untuk mendapatkan SPE perlu jelas dan transparan agar bisa dipakai pengusaha. Berdasarkan pengalaman pelaku usaha tambang, SPE dikelola secara tertutup sehingga dapat menimbulkan moral hazard. Di situlah pentingnya transparansi.“Pengalaman kami SPE ini dikelola secara tertutup sehingga menimbulkan Moral Hazard,” ungkap Natsir yang juga merupakan Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) itu.

Penerimaan Negara Sektor Migas
Berdasarkan salinan dokumen yang diperoleh hukumonline, Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) merilis laporan rekonsiliasi yang membandingkan antara penerimaan yang dicatat oleh pemerintah dengan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan di industri ekstraktif untuk tahun 2010 dan 2011.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) penerimaan dari sektor migas mempunyai peranan penting terhadap pembiayaan negara. Pasalnya, rasio penerimaan negara dari sektor migas (pajak dan non pajak) berkisar 23 persen untuk tahun 2010 dan 24 persen untuk tahun 2011.

Laporan tersebut menuliskan, setidaknya ada 170 perusahaan migas yang terdiri dari 71 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atau operator, dan 99 non operator. Data-data yang diperoleh tersebut berasal dari KKKS, yang diminta memberikan informasi atau data pembayaran yang dilakukan kepada neara untuk tahun 2010-2011, baik yang berasal dari pembayaran pajak maupun non pajak. Di sisi pemerintah, data berasal dari SKK Migas, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan.

Untuk tahun 2010-2011, penerimaan pajak dari migas yang direkonsiliasi masing-masing sebesar AS$6,06 miliar dan USD8,30 miliar. Sedangkan untuk penerimaan non pajak, jumlah yang direkonsiliasi masing-masing sebesar AS$20,91 miliar dan AS$28,78 miliar.

Hasil akhir rekonsiliasi menunjukkan penurunan yang besar antara perbedaan awal (sebelum dilakukan penyesuaian) dengan perbedaan akhir (setelah dilakukan penyesuaian) terhadap total nilai yang direkonsiliasi. Perbedaan awal berkisar pada 7 persen hingga 50 persen dari total nilai yang direkonsiliasi. Sedangkan perbedan akhir berkisar antara 0,1 hingga 7 persen dari total yang direkonsiliasi.

Berdasarkan analisa EITI, perbedaan akhir disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya perbedaan pengakuan tahun penyetoran antara KKKS dan Direktorat PNBP, di mana hanya terjadi pada satu perusahaan untuk tahun 2010 dan 3 perusahaan di tahun 2011. Adanya penyetoran pajak yang tidak masuk ke rekening PNBP, kondisi ini terjadi pada 2010 untuk satu perusahaan.

Adanya over lifting LNG yang penyelesaiannya tidak berupa tunai tetapi dibayarkan oleh KKKS kepada pemerintah melalui kargo periode berikutnya. Kondisi ini terjadi pada 9 perusahaan untuk tahun 2010 dan 10 perusahaan untuk 2011. Selanjutnya adanya perbedaan perhitungan antara KKKS dan SKK Migas mengenai over/under-lifting dari Domestic Market Obligation (DMO), yaitu terjadi pada 15 perusahaan untuk tahun 2010 dan 10 perusahaan di tahun 2011.

Selain itu, ada perbedaan pengakuan atas penyetoran pajak antara KKKS dan Direktorat PNBP di mana ini terjadi pada 2 perusahaan untuk tahun 2011. Data DMO fee yang disampaikan oleh KKKS belum menggunakan Financial Quarterly Report (FQR) final, dan ini terjadi di satu perusahaan.

Selain itu, ada beberapa KKKS yang tidak memberikan tanggapan hingga tenggat waktu yang ditentukan. Hal ini terjadi pada 11 perusahaan untuk tahun 2010 dan 13 perusahaan untuk laporan tahun 2011. Kondisi ini menyebabkan perbedaan akhir tidak dapat diidentifikasikan lebih lanjut secara detail.
Tags: