Kadin Kritik Permen ESDM No. 1 Tahun 2013
Berita

Kadin Kritik Permen ESDM No. 1 Tahun 2013

Sudah ada laporan yang masuk ke Asosiasi Logistik Indonesia.

FNH
Bacaan 2 Menit
Kadin Kritik Permen ESDM No. 1 Tahun 2013
Hukumonline

Kamar  Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendesak pemerintah mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM)  bersubsidi, khususnya untuk angkutan darat jenis truk yang berlaku mulai 1 Maret 2013.

Desakan ini berangkat dari terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak.Beleid ini menegaskan angkutan barang beroda lebih dari empat untuk kegiatan pengangkutan hasil kegiatan perkebunan, kehutanan dan pertambangan harus menggunakan solar non subsidi.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik, Carmelita Hartoto, mengatakan penerapan kebijakan tersebut memicu keterlambatan kegiatan distribusi barang melalui darat. Akibatnya akan berdampak pada penaikan biaya logistik hingga 20 persen.

"Infrastruktur SPBU yang menyediakan BBM non-subsidi di daerah-daerah sulit ditemukan. Akibatnya, banyak operator truk membeli eceran dengan harga non-subsidi. Ini menjadi tambahan biaya,” katanya dalam rilis yang diterima hukumonline, Kamis (14/3).

Menurut Carmelita, pemerintah harus memilih dua opsi untuk menjaga kemungkinan kenaikan biaya logistik pada saat distribusi melalui darat, yakni melakukan penundaan atau pembatasan untuk semua jenis truk dengan risiko meningkatnya biaya logistik. Jika pemerintah ingin membatasi BBM bersubsidi untuk semua jenis truk,  pembatasan itu harus dibarengi dengan kompensasi penghapusan pajak kendaraan bermotor, penghapusan bea balik nama kendaraan bermotor, penghapusan bea masuk impor spare part, serta penurunan tarif terminal handling charge (THC) dan cargo handling charge (CHC).

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldi Masita mengatakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi diberlakukan untuk semua jenis truk. Padahal, katanya, Permen tersebut hanya membatasi penggunaan BBM bersubsidi hanya untuk truk roda empat ke atas yang beroperasi untuk kegiatan perkebunan, kehutanan dan tambang. "Praktik di lapangan tidak sesuai Permen," kata Zaldi.

Sejauh ini, pihaknya telah menerima lebih dari sepuluh laporan baik itu dari Jawa, Sumatera dan kalimantan. Zaldi menilai kebijakan itu tidak tepat karena berpotensi meningkatkan biaya transportasi hingga tiga puluh persen dan berdampak terhadap penaikan biaya logistik sebesar dua puluh persen. Biaya logistik nasional saat ini mencapai 27% terhadap PDB dan 14% terhadap penjualan. Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan. Apalagi, pemerintah menargetkan dapat menurunkan menjadi 10% sebelum implementasi integrasi pasar tunggal ASEAN 2015.

Tetapi kebijakan ESDM tersebut dinilai tak mendukung rencana pemerintah untuk memperkecil biaya logostik. Ditambah lagi, keadaan infrastruktur jalan di Indonesia belum memadai. "Pemerintah akan menurunkan biaya logistik menjadi sepuluh persen," imbuhny.

Ketua Komite Tetap Bidang Sumber Daya Manusia dan Regulasi Logistik Kadin Akbar Djohan juga turut menyoroti penerapan regulasi pembatasan BBM bersubsidi untuk angkutan barang jenis truk. Ia menilai, kebijakan tersebut keliru karena tidak dibarengi dengan penyiapan infrastruktur SPBU.

Menurutnya, hingga saat ini,  infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) belum memadai untuk menerapkan kebijakan ESDM. Pasalnya, SPBU yang mengalokasikan BBM solar non-subsidi sangat terbatas, terutama di daerah-daerah. "Situasi ini telah mengganggu kelancaran operasional dan distribusi logistik. Seharusnya infrastruktur disiapkan sebelum aturan dilaksanakan," katanya.

Akbar mengatakan pelaku usaha tidak mempersoalkan  pembatasan BBM bersubsidi untuk truk, namun penerapan tersebut harus transparan dan tanpa diskriminasi. "Masih terjadi diskriminasi sehingga memunculkan grey area yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait