Kadin Apresiasi Pemberlakuan Penyesuaian Nilai Pembebasan Barang Kiriman
Berita

Kadin Apresiasi Pemberlakuan Penyesuaian Nilai Pembebasan Barang Kiriman

Kebijakan ini menciptakan perlakuan perpajakan yang adil dan melindungi industri kecil dan menengah dalam negeri.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Foto: Dok Hol/SGP
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Foto: Dok Hol/SGP

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyambut baik kebijakan baru pemerintah yang akan menyesuaikan nilai pembebasan (de minimis) atas barang kiriman. Besaran penyesuaian tersebut cukup besar, dari yang sebelumnya USD 75 menjadi USD 3 per kiriman (consignment note) untuk bea masuk. Sementara pungutan pajak dalam rangka impor diberlakukan normal, tanpa ada batas ambang bawah, dan rasionalisasi tarif yang awalnya ditetapkan kurang lebih 27,5% -37,5% menjadi 17,5% (Bea Masuk 7,5%, PPN 10%, PPh 0%).

 

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik, Raden Pardede mengungkapkan bahwa Kadin mendukung kebijakan ini karena pemerintah telah mendengar masukan dari dunia usaha mengenai semakin meningkatnya impor barangz kiriman melalui  platform e-commerce yang dikhawatirkan akan mengganggu industri nasional, terutama Industri Kecil dan Menengah (IKM). 

 

Melalui kebijakan ini, Raden berharap dapat menciptakan perlakuan yang adil dalam perpajakan atau level playing field antara hasil produksi dalam negeri yang produknya mayoritas berasal dari IKM yang dikenakan pajak, dengan produk-produk impor melalui barang kiriman serta impor distributor melalui kargo umum yang masih banyak beredar di pasaran. 

 

“Kebijakan ini menciptakan perlakuan perpajakan yang adil dan melindungi industri kecil dan menengah dalam negeri,” ungkap Raden melalui keterangan tertulisnya kepada hukumonline, Jumat (27/12). Untuk itu pihaknya juga berharap agar UKM Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperbaiki diri dalam meningkatkan daya saing sehingga tidak terus menerus meminta diproteksi.

 

Untuk diketahui, berdasarkan catatan dokumen impor, sampai saat ini jumlah barang kiriman yang transaksinya menggunakan platform e-commerce di tanah air mencapai 49,69 juta paket di tahun 2019. Angka ini meningkat tajam dari sebelumnya yang hanya sebesar 19,57 juta paket pada tahun 2018 dan 6,1 juta paket pada tahun 2017. Sehingga secara prosentase mengalami pertumbuhan sebesar 254% dibanding tahun 2018 dan 814% dibandingkan tahun 2017. 

 

(Baca: Pelaku Usaha Keluhkan Kebijakan Safeguard Tekstil, Ini Alasannya!)

 

Salah satu dampak dari derasnya impor ini adalah sentra-sentra pengrajin tas dan sepatu di tanah air banyak yang gulung tikar dan hanya menjual produk jadi dari Cina. Untuk itu dalam aturan baru ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga secara khusus membedakan tarif atas produk tas, sepatu dan garmen. 

 

Sehingga khusus untuk tiga komoditi tersebut, tetap diberikan deminimis untuk bea masuk sampai dengan USD 3 dan selebihnya diberikan tarif normal (MFN). Rinciannya berupa Bea Masuk untuk tas 15% - 20%, sepatu 25% - 30%, produk tekstil 15% - 25%, di mana masing-masing dikenai PPN 10% dan PPh 7,5% - 10%.

 

Senada dengan Raden, Ketua Komite Tetap Perdagangan Kadin Indonesia, Tutum Rahanta mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan respon positif pemerintah yang telah menerima usulan dari dunia usaha untuk menyelamatkan IKM yang terkena imbas dari impor barang melalui e-commerce. 

 

“Ya inilah bukti nyata dari Kementerian Keuangan yang melindungi kita dengan kebijakan ini.  Kami sangat mengapresiasinya, mudah-mudahan IKM kita dapat membanjiri konsumen kita sendiri,” tambah Tutum.

 

Sementara itu Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (PERKOPPI), Herman Juwono yang dihubungi secara terpisah menambahkan, melalui kebijakan baru ini akan mendorong pebisnis di bidang e-commerce untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP. Ia berpandangan, langkah pemerintah kali ini merupakan strategi untuk memperluas ekstensifikasi wajib pajak. 

 

Menurut Herman, selama ini bisnis di bidang e-commerce baru membayar pajak sekitar 20% dari total keseluruhan kegiatan perdagangan melalui e-commerce. “Diharapkan penerimaan dari sektor bea masuk dan pajak impor tersebut nantinya dapat meningkatkan penerimaan negara,” terang Herman.

 

Selain itu, Herman menilai kebijakan pemerintah ini sejalan dengan pokok-pokok Rancangan Undang-Undang Omnibus Law dalam Klaster UMKM di mana pemerintah mendorong kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM.

 

Tags:

Berita Terkait