Kabinet Kerja Jokowi, Dipuji dan Dikritik
Berita

Kabinet Kerja Jokowi, Dipuji dan Dikritik

Jokowi-JK dinilai tak sensitif atas realita keragaman suku dan budaya.

ANT
Bacaan 2 Menit
Pengumuman Kabinet Kerja Jokowi-JK, Minggu (26/10). Foto: @Pak_JK
Pengumuman Kabinet Kerja Jokowi-JK, Minggu (26/10). Foto: @Pak_JK
Pengamat politik Syamsuddin Haris berpendapat pilihan penamaan Kabinet Kerja oleh Presiden Joko Widodo saat mengumumkan jajaran menteri di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu, memberi kesan positif. "Kabinet Kerja penamaannya positif, karena tidak simbolik," kata dia saat dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu mengatakan pilihan nama kabinet periode 2014-2019 ini sebaiknya dibarengi dengan kinerja yang sepadan. "Mudah-mudahan secepatnya kabinet ini bekerja, sehingga punya dampak positif terhadap negara," ujar dia.

Ia juga mengatakan Jokowi terlihat berusaha menonjolkan kalangan profesional dalam Kabinet Kerja. Dalam Kabinet Kerja terdapat 16 menteri dari kalangan partai politik, dan 18 menteri dari kalangan profesional. "Para kalangan profesional itu terlihat sudah cukup punya kompetensi," katanya.

Pilihan Joko Widodo untuk menelusuri rekam jejak para menteri melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) dinilainya sebagai mekanisme yang patut dipuji. "Ini untuk menjamin integritas dan kebersihan anggota kabinetnya," kata dia.

Mantan Wakil ketua DPD Laode Ida menilai komposisi Kabinet Kerja pilihan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla kurang menunjukkan keberagaman suku bangsa di Indonesia.

"Komposisi Kabinet Kerja, Jokowi-JK jika dilihat dari latar belakang etnik dan budaya orang-orangnya, sungguh menunjukkan kurang sensitifnya Jokowi terhadap basis budaya yang beragam di negeri," kata Laode, Jakarta, Minggu.

Menurut Laode dari 34 pos menteri, hanya empat orang dari kawasan timur, yakni Rahmat Gobel (Gorontalo - di mana ia kalah telak), Saleh Husin (NTT, dari Partai Hanura dan Muslim - padahal scara budaya provinsi itu bisa dikatakan sbagai basis Katolik), ibu Yohanan Yambise dari Papua, dan Amran Sulaiman (Sulsel). Sementara, putra Kalimantan belum teridentifikasi. Selebihnya, sebanyak 30 orang lainnya dari suku Jawa dan Sumatera.

"Ini sungguh luar biasa. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kebijakan rekrutmen pengelola negeri sungguh tak sensitif atas realita keragaman suku dan budaya seperti itu," kata Laode.

Laode mengaku tak tahu apa yang ada dalam benak Presiden Jokowi. Padahal selama ini Jokowi dianggap orang yang bisa sensitif atas keragaman budaya bangsa, akan berdiri di antara keragaman itu dan harusnya memperoleh ruang yang sama di pemerintahan.

"Bukan diabaikan seperti sekarang ini," kata Laode.
Diumumkannnya Yohana Yambise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Kabinet Kerja periode 2014-2019 dinilai pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun masih kurang mewakili Indonesia bagian timur.

"Pada Kabinet Kerja ini perwakilan dari seluruh Indonesia sudah cukup hanya saja harusnya perwakilan dari bagian timur diperbanyak, tidak hanya dari Papua tetapi ditambah dari wilayah yang lain seperti Maluku," kata Ubedilah di Jakarta, Minggu malam.

Ia mengatakan hal itu diperlukan agar program kerja Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk membangun poros maritim tercapai karena sebagian besar wilayah maritim Indonesia berada di wilayah timur Indonesia. Ia memuji komposisi praktisi Kabinet Kerja semakin meningkat dibandingkan era kepemimpinan sebelumnya.

Sementara, Anggota DPR Fraksi Golkar Bambang Soesatyo mengaku ragu dengan menteri-menteri yang berada di Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla.

"Melihat jajaran menteri kabinet baru, saya ragu akan berjalan sesuai harapan," ujar Bambang di Jakarta, Minggu.

Dia mengatakan apa yang disebut-sebut sebagai Kabinet Kerja yang bersih hanya menjadi merk dagang.

"Figur berkualitas seperti Pramono Anung dan Eva K Sundari yang bisa mengimbangi Koalisi Merah Putih di parlemen, justru tidak masuk." Juga, sambung dia, stabilo merah dan kuning dari Komisi Pemberantasan Korupsi juga tidak berlaku. "Buktinya rekomendasi dan peringatan KPK dan PPATK tidak menjadi pertimbangan".
Tags:

Berita Terkait