Kabar Pro Zina Hoaks, RUU Kekerasan Seksual Perkuat Perlindungan Korban
Berita

Kabar Pro Zina Hoaks, RUU Kekerasan Seksual Perkuat Perlindungan Korban

RUU PKS tidak akan memberi ruang terhadap seks bebas dan perilaku LGBT. Justru, RUU PKS ini diarahkan untuk melindungi korban, keluarga korban, saksi kalangan perempuan dan anak-anak dari perilaku seks menyimpang dan perzinaan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Dalam beberapa hari terakhir, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ramai diperbincangkan di media sosial. Ini karena menyebarnya informasi petisi online penolakan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) lantaran memuat klausul seolah membuka peluang seks bebas; pengakuan gender ketiga alias lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT), dan dibolehkannya perilaku aborsi di kalangan remaja.   

 

Informasi petisi online itu digagas oleh Maimon Herawati berjudul ”Tolak RUU Pro Zina”. Hanya dalam beberapa hari, petisi itu sudah diteken puluhan ribu kali. Petisi ini ditujukan ke Komisi VIII DPR RI dan Komnas Perempuan. Salah satu, screenshoot yang beredar tulisan: “1. Mendorong tersedianya kebijakan yang mendukung penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja. 2. Mendorong tersedianya petunjuk pelaksanaan teknis layanan aborsi aman dan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja. 3. Mendorong pengesahan UU PKS dan pengakuan gender ketiga.”            

 

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PKS, Marwan Dasopang membantah bahwa materi muatan RUU PKS memuat aturan yang membuka peluang seks bebas, LGBT, dan dibolehkannya perilaku aborsi di kalangan remaja. Dia memaklumi penolakan aturan tersebut ketika RUU PKS tengah dibahas di DPR. Baca Juga: Nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ‘Menggantung’

 

“Beredarnya informasi viral sebagaimana petisi yang diunggah Maimon Herawati terkait RUU PKS yang memberi ruang kalangan LGBT, dukungan kebijakan penyediaan alat kontrasepsi, adanya petunjuk pelaksanaan teknis layanan aborsi aman dalam penyediaan kontrasepsi bagi remaja adalah hoaks,” kata Marwan kepada Hukumonline di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (31/1/2019).   

 

Namun, Marwan menegaskan keberadaan RUU PKS justru menguatkan perlindungan bagi korban akibat pelecehan seksual dan sejenisnya. Menanggapi isu yang berkembang itu, Marwan mengingatkan masyarakat agar materi muatan dalam RUU PKS semestinya diurai terlebih dahulu. Apalagi, saat ini RUU ini sudah disepakati bersama antara DPR dengan pemerintah terkait pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebanyak 774 butir.

 

Selama ini, kata dia, Komisi VIII DPR sudah banyak menerima masukan dari berbagai kalangan masyarakat melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU). Masukan tersebut sebagai upaya memperkaya khasanah perumusan dan tambahan bagian pembahasan DIM RUU PKS ini. Namun, dalam perkembangannya masyarakat terbelah menjadi dua yakni pihak yang menerima dan mendesak disahkan RUU tersebut menjadi UU dan yang menolak RUU tersebut.

 

“Tapi pada akhirnya kita sudah putuskan sudah cukup (masukan) dari masyarakat, tidak lagi kita terima dan kita langsung membahas DIM,” kata dia.

 

Terpisah, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Azriana  menilai tudingan terhadap RUU PKS yang pro zina dan LGBT adalah hoaks. Menurutnya, pihak yang membuat petisi dan menuding RUU tersebut negatif, mestinya terlebih dahulu membaca draf RUU PKS yang kini berada di Komisi VIII DPR sebagai inisiator. “Sebaiknya baca dulu draf yang ada di DPR, sebelum sebarkan informasi yang nggak benar,” kata Azriana.

 

Baginya, RUU PKS justru memberi perlindungan hukum bagi masyarakat, khususnya kalangan perempuan dan anak-anak di bawah umur yang rentan mendapatkan perlakuan kekerasan seksual. Tak kalah penting, kata Azriana, RUU PKS bakal menghentikan impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual yang selama ini banyak yang belum tersentuh hukum. Pasalnya, tidak ada aturan hukum bagi penegak hukum yang dapat menjerat pelaku.

 

Marwan melanjutkan di tingkat Panja RUU sempat terjadi perbedaan pandangan soal definisi “kekerasan seksual” yang berpotensi ambigu (multitafsir). Namun, setelah diputuskan masuk dalam DIM, Panja RUU PKS tetap mengedepankan kehati-hatian dalam pembahasan.

 

Persoalan ada kekhawatiran pintu masuk pemahaman yang mereka sebut LGBT, kita akan analisa dan bahas sama-sama, karena isu yang dikhawatirkan itu kita telaah semua,” tutur Wakil Ketua Komisi VIII DPR ini.

 

Yang pasti, kata Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, selain terus diperbaiki perumusannya, RUU PKS tidak akan memberi ruang terhadap seks bebas dan perilaku LGBT. Justru, RUU PKS ini diarahkan untuk melindungi korban, keluarga korban, saksi kalangan perempuan dan anak-anak dari perilaku seks menyimpang dan perzinaan.

 

“Nantinya, saat masuk pembahasan DIM akan diidentifikasi dan merumuskan kembali pasal-pasal yang dirasa mengkhawatirkan atau kontroversial di tengah masyarakat,” janjinya.

 

Belakangan sempat beredar draf RUU versi 2016. Padahal, Panja DPR sudah menggunakan draf versi 2017 setelah disahkan menjadi usul inisiatif DPR pada Mei 2017 lalu. Salah satu perbedaan RUU versi 2016 berisi 184 pasal terdiri dari 16 Bab. Sedangkan draf RUU PKS versi 2017 berjumlah 152 pasal terdiri dari 15 Bab. Artinya, terdapat pengurangan sebanyak 32 pasal, sehingga lebih padat. Namun, jika dibandingkan materi muatan RUU versi 2017 dan versi 2016 tak jauh berbeda.

 

Hanya saja, kata dia, terdapat kekurangan salah satunya soal perumusan pencegahan. Misalnya, ketika seseorang melihat dan menduga seseorang melakukan perilaku seksual menyimpang dan sudah terdapat banyak korban. Semestinya, kata Marwan, masyarakat yang melihat dan menduga itu dapat menggunakan pasal pencegahan. “Cuma, pasal ini jangan sampai menjadi fitnah ke orang lain. Itu yang mau kita rumuskan,” kata dia.

 

Selain pencegahan, RUU ini secara garis besar memuat jenis tindak pidana kekerasan seksual; hak korban, keluarga korban dan saksi. Kemudian, penanganan perkara kekerasan seksual; partisipasi masyarakat; pendidikan dan pelatihan; pemantauan penghapusan kekerasan seksual; pendanaan; kerja sama internasional; ketentuan pidana; ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

 

Khusus dalam Bab V mengatur soal tindak pidana kekerasan seksual yang memuat 10 pasal diatur mulai Pasal 11 hingga Pasal 20. Bab V mengurai soal definisi jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual. Mulai pelecehan seksual hingga penyiksaan seksual.

 

Hukumonline.com

Tags:

Berita Terkait