Justice Collaborator: Dasar Hukum, Hak, dan Perlindungannya
Terbaru

Justice Collaborator: Dasar Hukum, Hak, dan Perlindungannya

Justice collaborator adalah pelaku yang berperan sebagai saksi dalam penegakkan hukum. Berikut dasar hukum, hak, dan perlindungannya.

Willa Wahyuni
Bacaan 4 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Apa Itu Justice Collaborator?

Justice collaborator adalah sebutan bagi saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu. Secara sederhana, arti justice collaborator adalah pelaku kejahatan yang memberikan keterangan dan bantuan kepada para penegak hukum. Namun, tidak semua pelaku yang kooperatif dapat disebut sebagai justice collaborator.

Seorang justice collaborator memiliki dua peran sekaligus, yakni sebagai tersangka sekaligus saksi yang harus memberikan keterangan dalam persidangan.

Kemudian, seorang justice collaborator berperan sebagai kunci penting dalam penegakkan hukum. Peran atau fungsi justice collaborator ini antara lain:

  1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian aset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara.
  2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum
  3. Memberikan kesaksian dalam proses peradilan.

Baca juga:

Dasar Hukum bagi Justice Collaborator

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, justice collaborator dikenal dengan istilah “saksi pelaku” dan/atau “saksi pelaku yang bekerja sama”. Lebih lanjut, ketentuan mengenai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama ini diatur dalam beberapa peraturan, antara lain UU 13/2006 sebagaimana yang telah diubah oleh UU 31/2014; Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, Ketua Ketua LPSK Nomor M.HH-11.HM.03.02, PER-045/A/JA/12/2011, 1, KEP-B-02/01-55/12/2011, 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (“Peraturan Bersama Perlindungan Saksi”); dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 (SEMA 4/2011”). 

Arti Justice Collaborator dalam Peraturan

Ketentuan Pasal 1 Angka 2 UU 31/2014 menerangkan bahwa saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.

Kemudian, Pasal 1 Angka 3 Peraturan Bersama tentang Perlindungan Saksi menerangkan bahwa saksi pelaku yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

Penentuan Justice Collaborator

Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator diatur dalam Angka 9 SEMA 4/2011. Aturan ini menerangkan bahwa penetapan seseorang sebagai justice collaborator dilakukan berdasarkan klasifikasi berikut.

  1. Orang yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
  2. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.

Kemudian, atas peran dari justice collaborator tersebut, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan dua hal dalam penjatuhan pidana, yakni menjatuhkan putusan pidana percobaan bersyarat dan/atau pidana penjara paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.

Selain itu, Ketua Pengadilan dalam mendistribusikan perkara juga perlu memperhatikan dua hal, yakni memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap justice collaborator kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh justice collaborator.

Hak-Hak Justice Collaborator

Sebagai orang yang berperan dalam mengungkap suatu tindak pidana, seorang justice collaborator akan diberikan sejumlah perlakuan khusus, antara lain:

  1. Tidak dapat dituntut secara hukum atas kesaksiannya (Pasal 10 ayat (1) UU 31/2004).
  2. Tuntutan hukum terhadapnya wajib ditunda hingga memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 10 ayat (2) UU 31/2004).

Selain perlakuan khusus, ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Bersama Perlindungan Saksi menerangkan bahwa justice collaborator juga berhak atas perlindungan secara fisik, psikis, penanganan secara khusus, dan penghargaan.

Adapun yang dimaksud penanganan secara khusus menurut Pasal 6 ayat (3) Peraturan Bersama Perlindungan Saksi dapat berupa:

  1. Pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka, terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam hal justice collaborator ditahan atau menjalani pidana badan.
  2. Pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan atau diungkap.
  3. Penundaan penuntutan atas dirinya.
  4. Penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya.
  5. Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya.

Kemudian, bentuk penghargaan yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan Bersama Perlindungan dapat berupa:

  1. Keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan.
  2. Pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana (jika justice collaborator adalah seorang narapidana).

Syarat Perlindungan terhadap Justice Collaborator

Untuk mendapatkan perlindungan, seorang justice collaborator harus memenuhi aturan yang ditetapkan dalam Pasal 4 Peraturan Bersama Perlindungan Saksi, yakni:

  1. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir.
  2. Memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir.
  3. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya.
  4. Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis.
  5. Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

Simak ulasan hukum premium dan temukan koleksi lengkap peraturan perundang-undangan Indonesia, versi konsolidasi, dan terjemahannya, serta putusan dan yurisprudensi, hanya di Pusat Data Hukumonline. Dapatkan akses penuh dengan berlangganan Hukumonline Pro Plus sekarang!

Tags:

Berita Terkait