Jurus Ketua MA Prof Syarifuddin Akselerasi Modernisasi Peradilan
Utama

Jurus Ketua MA Prof Syarifuddin Akselerasi Modernisasi Peradilan

Pandemi Covid-19 memicu MA segera menerapkan teknologi informasi dalam berbagai bidang.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
 Ketua Mahkamah Agung, Prof Muhammad Syarifuddin saat berbincang dengan Hukumonline, Selasa (7/5/2024) pekan lalu. Foto: RES
Ketua Mahkamah Agung, Prof Muhammad Syarifuddin saat berbincang dengan Hukumonline, Selasa (7/5/2024) pekan lalu. Foto: RES

Tak pernah terbesit dalam benak hakim agung, Prof Muhammad Syarifuddin bakal memimpin lembaga peradilan di tengah pandemi Covid-19. Tapi demikian realita yang harus dihadapinya ketika terpilih sebagai Ketua MA periode 2020-2025. Dalam proses pemilihan Ketua MA putaran kedua yang berlangsung 6 April 2020 Prof Syarifuddin unggul 32 suara, mengalahkan pesaingnya hakim agung Andi Samsan Nganro yang mengantongi 14 suara.

“Waktu pemilihan itu kita semua pakai masker,” ujar Prof Syarifuddin saat berbincang dengan Hukumonline di ruang kerja, Selasa (7/5/2024) pekan lalu.

Gagasan pertama yang dipikirkan Prof Syarifuddin pasca dilantik, soal bagaimana MA tetap memberikan layanan publik terbaik, khususnya untuk pencari keadilan. Sebab, teknis melayani publik bakal berbeda dengan kondisi normal. Maklum kala itu terdapat protokol kesehatan yang harus dipenuhi guna mencegah penyebaran Covid-19. Pertama, langkah yang dilakukan yakni mengatur kerja-kerja yang dilakukan MA dan pengadilan yang berada di bawahnya dalam menghadapi pandemi Covid-19.

“Pertama kita ubah anggaran karena tadinya tidak alokasi untuk masker dan hand sanitizer. Lalu mengatur jam kerja dan beban kerja. Beberapa hal tersebut terkait administrasi,” ujarnya.

Baca juga:

Hukumonline.com

Saat Prof Syarifuddin menjelaskan berbagai upaya dalam mengatur dan menerapkan persidangan secara elektronik. Foto: Res

Kedua, mengatur teknis persidangan secara elektronik. Prof Syarifuddin menetapkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Beleid tertanggal 29 September 2020 itu sebagai pijakan hukum bagi pelaksanaan persidangan pidana, jinayat dan pidana militer secara elektronik.

Untungnya, untuk perkara perdata sudah lebih dulu dapat diterapkan secara elektronik di tahun 2018. Hal itu sebagaimana Cetak Biru Pembaruan Peradilan, tapi adanya pandemi Covid-19 mengakselerasi modernisasi peradilan antara lain menyelenggarakan peradilan elektronik.

“Peradilan pidana sebelumnya tidak bisa secara daring, tapi karena pandemi kita dipaksa untuk bisa. Jadi Perma 4/2020 itu mengatur dalam keadaan tertentu persidangan bisa digelar secara elektronik, misalnya ketika pandemi, bencana dan lainnya,” ujarnya.

Mantan Kepala Badan Pengawasan (Bawas) MA itu mengatakan, proses pembangunan sistem peradilan elektronik itu terus bergulir dengan menerbitkan beberapa aturan. Seperti Perma No.6 Tahun 2022 tentang Administrasi Pengajuan Upaya Hukum Dan Persidangan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Di Mahkamah Agung Secara Elektronik.

Selanjutnya, Perma No.7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Perma No.1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik. Kemudian Perma No.8 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Perma No.4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik.

Penerapan teknologi informasi

Terbitnya berbagai aturan itu harus selaras dengan kesiapan infrastruktur teknologi sehingga bisa berjalan lancar sesuai harapan. Prof Syarifuddin menjelaskan ketika Perma 6/2022 terbit aturan itu belum bisa diimplementasikan karena infrastruktur teknologi informasi belum siap. Baru efektif 1 Mei 2024 ketika Sistem Informasi Administrasi Perkara (SIAP) dan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) tersambung. MA juga mempelopori integrasi sistem peradilan pidana elektronik terpadu antar lintas institusi penegak hukum melalui aplikasi e-Berpadu.

Hukumonline.com

Sejumlah platform menurut Prof Syarifuddin sudah dimiliki lembaga negara yang dipimpinnya. Foto: RES

Ketiga, penerapan teknologi informasi dalam sistem administrasi perkara. Dia menjelaskan lembaga yang dipimpinnya memiliki platform e-BIMA (Budgeting Implementation Monitoring And Accountability). Aplikasi itu untuk memonitor pelaksanaan anggaran di MA dan satuan kerja di bawahnya.

Kemudian e-SADEWA (Electronic State Asset Development and Enhancement Work Application). Aplikasi itu merupakan inovasi tingkat lanjut di bidang pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) melalui peningkatan fungsi pada aplikasi SIPERMARI yang telah dikembangkan MA melalui Biro Perlengkapan sejak pertengahan tahun 2019.

Pemanfaatan teknologi informasi di MA itu menurut mantan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial itu, harus dibarengi dengan keamanan data yang mumpuni. Salah satu upaya yang dilakukan MA yakni menjalin kerjasama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Ketika ada persoalan terkait keamanan data, MA sebagai lapis pertama untuk mengatasi masalah misalnya ancaman peretasan. Jika persoalan butuh tindak lanjut lebih, baru kemudian meminta bantuan BSSN. Mengingat data yang dikelola MA sangat penting, data itu disimpan dalam server yang ada di Indonesia.

Terbitkan sejumlah Perma

Sejumlah Peraturan MA juga diterbitkan untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam menangani perkara serta mengisi kekosongan hukum acara. Antara lain Perma No.1 tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian Perma No.2 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perma No.3 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Dan Penitipan Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.  

Hukumonline.com

Prof Syarifuddin saat berbincang dengan Hukumonline di ruang kerjanya di Gedung MA. Foto: RES

Selanjutnya Perma No.3 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemeriksaan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha di Pengadilan Niaga, Perma No.1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana, Perma No.2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.

Tak hanya itu, ada pula Perma No.3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan secara Elektronik, Perma No.1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, Perma No.2 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Pemberhentian PNS dan Pemutusan Hubungan Perjanjian Kerja Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja di Pengadilan, dan Perma No.3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase.

Berdasarkan catatan sepanjang periode 2020-2023 MA telah menerbitkan 40 Perma. Selain itu Prof Syarifuddin menjelaskan saat ini MA masih menggodok sejumlah rancangan peraturan. Seperti peraturan yang mengatur tentang penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Kemudian ada masukan juga agar pedoman penanganan perkara diharapkan bisa menyasar bidang lain tak hanya korupsi sebagaimana Peraturan MA 1/2020, tapi juga bisa untuk perkara narkotika dan lainnya.

Kebijakan yang masih perlu dirumuskan mendalam sesuai dengan Cetak Biru Pembaruan Peradilan yakni mekanisme kamar sebagaimana selama ini diterapkan di MA juga untuk pengadilan tingkat banding. Persoalannya, perkara yang ditangani pengadilan tinggi tidak sebanyak di MA.

Alhasil dikhawatirkan ketika menggunakan sistem kamar pembagian beban perkara kepada hakim tidak merata karena ada hakim yang menangani banyak perkara pada kamar tertentu dan sebaliknya. Solusinya, sistem kamar untuk pengadilan tinggi hanya sebatas administratif. Begitu pula usulan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) sebelumnya yakni Prof M Mahfud MD yang mengusulkan ada pengadilan yang khusus mengurusi pertanahan.

Menurut pria yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Negeri Bandung periode 20066-2011 itu, implementasinya tidak mudah dan kurang efektif mengingat MA menaungi 923 satuan kerja atau pengadilan. Maka setiap satuan kerja atau pengadilan itu harus ada bagian yang khusus mengurusi pertanahan.

Melihat pengalaman sulitnya merekrut hakim ad hoc tindak pidana korupsi, persoalan serupa juga bakal dihadapi ketika merekrut hakim pertanahan. Solusinya yang terbaik untuk saat ini yakni menggelar sertifikasi bagi hakim yang kelak menangani perkara pertanahan.

“Jadi nanti satu pengadilan satu (hakim bersertifikasi pertanahan,-red) biar cepat bisa berjalan,” pungkas Prof Syarifuddin.

Tags:

Berita Terkait