Juru Bicara MA: Hakim Bisa Gunakan Resolusi DK PBB di Peradilan, Asalkan…
Utama

Juru Bicara MA: Hakim Bisa Gunakan Resolusi DK PBB di Peradilan, Asalkan…

Keberadaan instrumen hukum internasional termasuk Resolusi Dewan Keamanan PBB bisa digunakan hakim sebagai rujukan persidangan bukan dasar hukum.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Juru Bicara Mahkamah Agung, hakim Suhadi. Foto: RES
Juru Bicara Mahkamah Agung, hakim Suhadi. Foto: RES

Hakim Agung Suhadi, Juru Bicara Mahkamah Agung mengatakan bahwa hakim di peradilan umum bisa menjadikan norma hukum internasional termasuk Resolusi DK PBB sebagai penguat argumentasi. Hal ini disampaikannya dalam diskusi terarah bertema “Penerapan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke dalam Hukum Nasional Indonesia”, Senin (24/7), di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung (FH UNPAD).

 

Suhadi memaparkan bahwa kemerdekaan hakim termasuk pula menjalankan fungsi yang melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding). Dengan perkataan lain, hakim melalui pengadilan dalam sistem hukum Indonesia juga mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law).

 

“Memang banyak putusan-putusan pengadilan yang mengadopsi ketentuan-ketantuan internasional, tetapi biasanya bukan untuk menentukan unsur delik, melainkan penguat argumentasi dalam pembuktian unsur,” jelas Suhadi di hadapan para peserta diskusi.

 

Ia mengakui bahwa ketentuan-ketentuan yang hidup di dunia internasional ikut menjadi sumber hukum di Indonesia sejajar dengan berbagai pendapat para ahli dan doktrin. Tetapi dalam hal menggunakan Resolusi DK PBB, Suhadi menilai harus dipilah terlebih dahulu. Ia merujuk pada Statuta International Court of Justice (ICJ) Pasal 38 ayat 1.

 

Hukumonline.com

Sumber: bahan presentasi Hakim Agung Suhadi

 

Menurut Juru Bicara Mahkamah Agung ini, tidak semua Resolusi DK PBB langsung bisa menjadi hukum internasional. Resolusi DK PBB baru menjadi hukum internasional apabila telah diikuti oleh banyak negara. Saat itu, Resolusi telah “berganti baju” menjadi Hukum Kebiasaan Internasional. Resolusi DK PBB semacam inilah yang menurut Suhadi bisa dirujuk para hakim di peradilan umum.

 

Statute of The International Court of Justice

 

 Article 38

(1) The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:

  1. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;
  2. international custom, as evidence of a general practice accepted as law;
  3. the general principles of law recognized by civilized nations;
  4. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law

 

Suhadi menekankan bahwa penggunaan Resolusi DK PBB dalam proses penegakan hukum di persidangan tetap mengacu kepada prinsip kepastian hukum, keadilan hukum serta kemanfaatan hukum. Khususnya adanya kehati-hatian di dalam mentransplasikan prinsip dan hukum asing ke dalam konteks Indonesia.

 

“Hakim tidak terlalu dapat membedakan mana Resolusi DK PBB dan mana produk-produk lain dari PBB, oleh sebab itu sebaiknya diinventarisir,” kata Suhadi melanjutkan pemaparannya.

 

(Baca Juga: Dirjen HPI Kemenlu: Resolusi DK PBB Mengikat Hukum Nasional Indonesia)

 

Sebagai Hakim Agung pada Kamar Pidana, Suhadi banyak memberikan contoh mengenai penanganan perkara pidana. Penuntut umum tidak bisa memasukkan Resolusi DK PBB sebagai landasan di surat dakwaan, sehingga hakim pun tidak bisa langsung mengidentifikasi Resolusi DK PBB yang berkaitan sebagai penguat argumentasi.

 

Suhadi menyetujui usulan Kemenlu soal perlunya ada payung hukum komprehensif yang mengatur soal penerapan Resolusi DK PBB dalam hukum nasional. “Apakah dibuat undang-undang atau bisa menjadi kebebasan hakim untuk menentukan,” katanya.

 

Apalagi penggunaan dan pemilihan materi sumber hukum dari Resolusi DK PBB dalam peradilan umum harus diperkuat dengan penjelasan dan justifikasi yang memadai di dalam pertimbangan hukumnya.

 

Intinya, perlu ada produk peraturan perundang-undangan yang menjadi rambu-rambu para hakim di peradilan dalam menggunakan Resolusi DK PBB. “Kita menganut asas legalitas, bahwa harus ada dasar hukumnya,” kata Suhadi saat diwawancarai hukumonline.

 

(Baca Juga: Advokat Indonesia di Tengah Perkembangan Hukum Bisnis Internasional)

 

Damos Dumoli Agusman, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (Dirjen HPI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), mengatakan kebutuhan terhadap payung hukum untuk hal tersebut dirasakan Kemenlu semakin mendesak.

 

Terutama dengan kembali terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB 2019-2020. Sebelumnya Indonesia pernah terpilih bergabung di Dewan Keamanan PBB pada periode 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008.

 

Damos menjelaskan bahwa Resolusi Dewan Keamanan PBB semakin sering memerintahkan negara untuk berbuat sesuatu terhadap warga negaranya. “Dia memasuki domain urusan hukum nasional, bagaimana jika resolusi ini menyangkut pro justicia? Bagaimana meresponnya?”, ujar Damos.

 

Melalui diskusi ini Damos berharap bisa merumuskan rekomendasi tentang bentuk peraturan perundang-undangan mana yang paling tepat sebagai payung hukum. Terutama sebagai rujukan para penegak hukum. Kejelasan payung hukum ini tidak hanya penting bagi hakim, namun juga bagi para penyidik dan penuntut umum.

 

“Sasaran kami setidaknya ini bergulir untuk merumuskan naskah akademis, RUU, RPP, atau RKepres,” kata Damos.

 

Kemenlu menggandeng FH UNPAD untuk menyusun rekomendasi teknis dan konkret melalui diskusi terarah kali ini. Rekomendasi ini menjadi dasar untuk menyusun regulasi terkait mekanisme penerapan Resolusi DK PBB oleh peradilan umum dan kekuasaan eksekutif dalam sistem hukum nasional.

 

Hadir pula narasumber lainnya yaitu Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemenlu, Wakil Kepala Detasemen Khusus 88 Polri, dengan moderator diskusi oleh Direktur Hukum dan Perjanjian Politik-Keamanan, Ricky Suhendar.

 

Tags:

Berita Terkait