Jumlah Pidana Pemilu Serentak 2019 Meningkat Tajam
Berita

Jumlah Pidana Pemilu Serentak 2019 Meningkat Tajam

Meningkat 58,3 persen jika dibandingkan Pemilu 2014. ​​​​​​​Ironisnya, saat penjatuhan vonis terdapat pula disparitas atau perbedaan putusan dalam kasus yang sama.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Para narasumber saat menyampaikan evaluasi pidana Pemilu Serentak 2019 di Jakarta, Senin (7/10). Foto: DAN
Para narasumber saat menyampaikan evaluasi pidana Pemilu Serentak 2019 di Jakarta, Senin (7/10). Foto: DAN

Untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum secara serentak untuk memilih Presiden – Wakil Presiden dan anggota legislatif pada April 2019 lalu. Dalam penyelenggaraan pemilu serentak tersebut, tentu saja diwarnai pula dengan sejumlah dinamika penegakan hukum untuk menjamin tegaknya integritas pemilu.

 

Penegakan hukum pemilu tersebut dipercaya dapat melindungi hak para peserta pemilu, penyelenggara, dan tentu saja masyarakat luas sebagai pemilih dari segala ketakutan, intimidasi, kekerasan, kecurangan manipulasi, serta kecurangan-kecurangan lain yang dapat menggangu kemurnian hasil dan kualitas pemilu.

 

Secara umum, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur sejumlah pasal terkait tindak pidana pemilu. Sekitar 66 pasal dalam UU Pemilu yang mengatur berbagai delik tindak pidana pemilu. Pasal-Pasal ini mengatur sejumlah subyek seperti penyelenggara, pejabat publik, peserta, dan sejumlah subyek lainnya.

 

Indonesian Legal Roundtable (ILR) melakukan sebuah penelitian untuk mendalami penerapan ketentuan pidana pemilu selama rangkaian momentum pemilu berlangsung. Menurut hasil penelitian tersebut, ditemukan kasus tindak pidana pemilu serentak 2019 terjadi di seluruh daerah di Indonesia.

 

“Jumlahnya tercatat 348 kasus pidana pemilu, yang telah divonis di 150 pengadilan negeri dan 28 pengadilan tinggi,” ujar Direktur Eksekutif ILR, Firmansyah Arifin dalam diskusi di Jakarta, Senin (7/10).

 

Menurut data yang dipaparkan Firmansyah ini, jika dibandingkan dengan pemilu 2014, jumlah pidana pemilu tahun 2019 meningkat 58,3 persen. Ia menyebutkan, jumlah ini berarti sebuah angka yang signifikan. Sebagian besar kasus pidana pemilu 2019 terkait dengan pemilu legislatif. Hanya 13 kasus yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu pilpres. Sementara lima besar daerah dengan jumlah terbanyak kasusnya berturut-turut, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku.

 

Firmansyah juga menyebutkan, tahapan di mana paling banyak terjadi tindak pidana pemilu adalah pada tahapan kampanye. Pada tahap ini saja, terjadi 168 kasus tindak pidana pemilu kemudian pada saat pemungutan dan penghitungan suara sebanyak 74 kasus, rekapitulasi penghitungan suara 69 kasus, masa tenang 22 kasus, dan pada tahap pencalonan sebanyak 15 kasus.

 

Secara keseluruhan, 320 kasus dinyatakan terbukti dan divonis bersalah. Baik di tingkat pengadilan negeri maupun banding. Sementara itu, terdapat 28 kasus yang divonis bebas atau lepas, 170 kasus divonis dengan pidana bersyarat atau percobaan, 131 kasus divonis dengan penjara/ditahan, dan 14 kasus divonis dengan tanpa dihadiri oleh terdakwa.

 

Melalui penelitian ini juga diketahui bahwa jenis pelanggaran pidana pemilu dengan jumlah terbanyak yakni politik uang sebanyak 72 kasus, kemudian mengubah hasil perolehan uara (manipulasi) sebanyak 56 kasus, mencoblos lebih dari satu surat suara sebanyak 46 kasus, kepala desa yang tidak netral 30 kasus, kampanye di tempat ibadah/pendidikan sebanyak 19 kasus, dan seterusnya.

 

Aktor pelaku terbanyak yang ditampilkan dalam laporan penelitian ILR ini adalah calon anggota legislatif. Diketahui caleg yang melakukan tindak pidana sebanyak 86 orang. Warga masyarakat sebanyak 59 orang, tim sukses dan pendukung sebanyak 33 orang, kepala desa sebanyak 30 orang, PPK 26 orang, KPPS 22 orang, ASN-Birokrat 22 orang.

 

Baca:

 

ILR memiliki sejumlah catatan dalam laporan penelitiannya. Menurut Firmansyah, catatan tersebut seperti penegakan hukum pidana pemilu 2019 yang cenderung memberikan vonis ringan maupun percobaan. “Tren vonis seperti ini tentu sulit memberikan efek jera bagi para pelaku” ujar Firmansyah.

 

Tercatat, 190 kasus divonis 1-3 bulan dan 170 kasus divonis pidana bersyarat atau percobaan. Paling berat divonis pidana penjara 2 tahun, serta tidak satupun penyelenggara pelaku pidana pemilu yang hukumannya ditambah 1/3. Firmansyah menyebutkan, dalam vonis terdapat pula disparitas atau perbedaan putusan dalam kasus yang sama.

 

“Putusan memang menjadi kewenangan hakim, namun jika terjadi perbedaan dalam putusan akan menjadi problematika tersendiri dalam proses penegakan hukum pidana. Disparitas putusan menunjukkan bagaimana tingkat kesungguhan hakim dalam menangani kasus pidana pemilu,” ujar Firmansyah.

 

Ia juga mengungkapkan fakta yang menurut ILR janggal. Misalnya, dalam satu pengadilan terjadi atas kasus yang berbeda tapi hukumannya sama persis, vonis yang tidak menjangkau semua pelaku, vonis yang membuat perkara politik uang menjadi sumir. Pada praktiknya, Firmansyah juga mengungkap terdapat perbedaan penerapan hukum acara pada hakim banding dalam menyikapi vonis bebas.

 

Menurutnya, masih ada kegamangan di antara hakim tinggi dalam menerapkan aturan. Sebagian besar hakim banding mengakomodir putusan bebas atau lepas dengan pertimbangan keadilan karena tidak tersedia lagi mekanisme untuk memeriksa dan memutus perkara. Namun ada juga hakim tinggi yang bersikap berbeda di mana memandang bahwa putusan bebas tidak bisa diajukan pemeriksaan banding.

 

Selain itu, pengaturan diskualifikasi calon tetap dan calon terpilih yang tidak lengkap dan konsisten menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan. Terutama dalam hal kampanye di luar jadwal kampanye yang melibatkan ASN dan WNI yang belum memiliki hak pilih, apakah dapat dijadikan alasan untuk pembatalan calon.

 

Sementara itu, Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja di tempat yang sama mengatakan problematika penegakan hukum pidana pemilu dalam Sentra Gakkumdu. Dari sisi SDM dan akses, masih terdapat perbedaan persepsi dalam menafsirkan unsur pidana pemilu di lingkungan Sentra Gakkumdu. Selain itu, terdapat kendala personil Gakkumdu dari unsur kepolisian dan kejaksaan di daerah pemekaran yang belum terdapat polres atau kejaksaan negeri di wilayah setempat.

 

Selain itu juga kesulitan mendapatkan keterangan ahli terkait pendapat hukum dalam pemenuhan unsur pasal tindak pidana pemilu. Kemudian ada pula kendala geografis menuju pengadilan negeri yang dihadapkan pada batas waktu persidangan. “Kendala pembahasan Gakkumdu di mana kepolisian dan kejaksaan induk berada jauh dari kabupaten/kota pemekaran,” ujar Bagja.

 

Anggota Komisi Yudisial (KY) Sukma Violeta mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pemantauan perkara pemilu sebanyak 24 perkara. Jenis perkara yang dipantau oleh KY misalnya terkait dengan politik uang, penggunaan fasilitas negara dalam kampanye, kampanye di tempat ibadah, dan menyebabkan suara pemilih menjadi tidak bernilai. “KY telah melakukan pemantauan perkara pemilu sebanyak 24 perkara pemilu,” ungkap Sukma.

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ke depan seharusnya jumlah ketentuan pidana dalam UU Pemilu semakin berkurang. Hal ini bertujuan untuk benar-benar menempatkan tindak pidana dalam pemilu sebagai ultimum remidium. Titi menyarankan untuk diperbanyak sanksi administrasi karena sebetulnya sanksi jenis inilah yang lebih ditakutkan oleh stakeholder pemilu. “Kami mendorong ke depan mengurangi ketentuan tindak pidana,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait