Bahkan secara original intent, jika merujuk pada Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, ada 2 alternatif yang ketika itu dibahas untuk merumuskan Pasal 7 ini, yakni:
|
Pada mulanya alternatif kedua hanya disetujui oleh PDIP kala itu, kata Ferry, namun pada akhirnya seluruh fraksi yang kemudian disetujui juga oleh PDIP mengambil alternatif pertama. Alasannya kala itu berkaca pada konteks sejarah, sambung Ferry, kita tidak ingin mempertahankan jabatan yang tends to corrupt (cenderung disalahgunakan), jadi setelah mendapatkan jabatan selalu ingin lagi dan lagi.
“Jadi jelas secara original intends, yang disetujui oleh seluruh fraksi pada tahun 1999 adalah pembatasan hanya untuk 2 kali periode berturut-turut atau lompat masa jabatan,” ungkap Ferry.
(Baca Juga: Dasar Hukum Bakal Caleg di Aceh Wajib Uji Baca Al Quran)
Peneliti PUKAT UGM, Oce Madril, menjabarkan bahwa akar sejarah reformasi adalah untuk merubah tata kelola masa kepresidenan yang berporos pada pusat kekuasaan yang terlalu kuat (executive heavy). Sehingga, kata Oce, bukanlah soal yang mudah untuk membatasi kekuasaan eksekutif kala itu.
“Itulah mengapa UUD 1945 punya akar kuat, kenapa rumusan pasal 7 seperti itu, dibuat sangat jelas dan tidak sumir. karena logika pembatasan itu adalah logika agar tidak terjadi tirani, itupun harus diatur berapa kali seorang penguasa boleh menjabat” kata Oce.
Lantas, sambung Oce, mengapa hanya jabatan presiden dan wapres yang dibatasi secara konkrit didalam konstitusi? Dan mengapa harus dimasukkan angka 5 tahun dan tambahan hanya untuk satu kali masa jabatan?