Judicial Review Jika RUU P2H Disahkan
Aktual

Judicial Review Jika RUU P2H Disahkan

INU
Bacaan 2 Menit
Judicial Review Jika RUU P2H Disahkan
Hukumonline

Koalisi masyarakat sipil untuk kelestarian hutan telah menyiapkan draf judicial review jika Rapat Paripurna DPR hari ini, Selasa (9/7) mengesahkan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) menjadi undang-undang.

“Draf ini disiapkan karena beberapa alasan,” tulis Siti Rahma Mary, anggota koalisi melalui rilis, Senin (8/7).

Pertama, pembentukan RUU P2H, tidak disertai naskah akademik. Padahal, RUU P2H adalah perubahan dari RUU Pembalakan Liar, yang sudah dibahas DPR sejak 2011. Sedangkan, naskah akademik adalah syarat pembentukan RUU seperti diamanatkan Pasal 43 ayat (3) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kedua, proses pembahasan dinilai koalisi tidak terbuka, dan terkesan diam-diam dilakukan oleh Panja Komisi IV DPR. Hal ini diperkuat dengan sulitnya publik mengakses naskah akademik dan naskah RUU P2H. Tidak pernah pula ada publikasi tentang RUU P2H di situs DPR.

Koalisi juga menilai, DPR tidak berupaya melakukan harmonisasi hukum antara RUU P2H dengan peraturan di sektor kehutanan lain. Tapi, tetap memformulasikan segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan di dalam satu perundang-undangan.

Disharmonisasi yang paling mudah dilihat adalah masih digunakan definisi Kawasan Hutan dalam RUU ini yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi No.45/PUU-IX/2011. MK telah membatalkan definisi “Kawasan Hutan”  dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Selain putusan MK tersebut, RUU P2H menambah tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengatur sektor kehutanan. Malah, koalisi menilai seteha RUU P2H disahkan, menjadikan penegakan hukum di sektor kehutanan menjadi sulit dilakukan.

Tak diindahkan pula oleh DPR akan putusan MK No.35/PUU-X/2012. Hutan adat, dalam putusan itu, dikeluarkan dari hutan negara dan masuk ke dalam golongan hutan hak. Padahal kenyataannya di lapangan, masih banyak hutan-hutan adat yang berada dalam kawasan hutan negara. Karena itu RUU P2H tidak bisa diberlakukan terhadap kawasan hutan yang belum jelas kepastiannya.

Koalisi juga menilai RUU P2H rentang untuk mengkriminalisasi masyarakat adat. Kriminalisasi akan kegiatan masyarakat adat dan atau masyarakat lokal banyak terjadi karena pasal-pasal dengan definisi yang terlalu luas. Dikhawatirkan , penegakan hukum cenderung hanya berlaku pada masyarakat adat dan atau masyarakat lokal serta pelaku lapangan. “Yang seharusnya disasar adalah korporasi atau dalang yang selama ini lolos,” imbuh Rahma.       

RUU P2H, menurut koalisi kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi. Malah mem buka peluang peluang korupsi terkait penyalagunaan wewenang terkait pemberian izin di bidang kehutanan. Terlebih, ada diskresi yang berlebihan pada pejabat daerah.

Tags:

Berita Terkait