Jual Piutang Harus Gunakan Cessie, Agar Kreditor Tak Ditolak Ikut Voting PKPU
Utama

Jual Piutang Harus Gunakan Cessie, Agar Kreditor Tak Ditolak Ikut Voting PKPU

Tak tahu betapa pentingnya cessie dalam jual beli piutang di Indonesia, seringkali membuat kreditur asing ‘makan angin’ lantaran ditolak ikut voting PKPU. Akhirnya, piutang yang ia beli nyatanya tak bernilai karena tak diakui.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Partner ABNR Consellors at Law, Kevin Sidharta (tengah) dan Senior Associate ABNR Consellors at Law, Bilal Anwari, (kanan) dalam acara Hukumonline Editorial Discussion dengan tema Dinamika Implementasi UU Kepailitan dan PKPU di Indonesia, Kamis (1/11). Foto: HOL
Partner ABNR Consellors at Law, Kevin Sidharta (tengah) dan Senior Associate ABNR Consellors at Law, Bilal Anwari, (kanan) dalam acara Hukumonline Editorial Discussion dengan tema Dinamika Implementasi UU Kepailitan dan PKPU di Indonesia, Kamis (1/11). Foto: HOL

Tak ingin terjebak dan tak bisa masuk kamar kreditor, baik preferen maupun konkuren dalam voting usulan perdamaian pada proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), anda yang akan membeli piutang harus memastikan bahwa jual-beli piutang yang anda lakukan memiliki bukti yang sah agar piutang tetap bernilai. Salah satunya menggunakan cessie. Lain dengan negara common law yang lebih fleksibel dalam jual beli piutang, mayoritas negara civil law masih menerapkan cessie hingga saat ini termasuk Indonesia.

 

Untuk diketahui, cessie dalam Pasal 613 ayat 1 KUHPerdata disebutkan sebagai penyerahan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya (tak berwujud/intangible goods) yang dilakukan dengan membuat akta otentik atau akta di bawah tangan, dengan begitu hak tagihnya beralih kepada orang lain (pembeli piutang).

 

Dapat disimpulkan, bahwa penyerahan piutang menggunakan cessie tak dibenarkan dilakukan dengan lisan saja. Dalam Black’s law dictionary cessie berkaitan erat dengan penyerahan hak-hak properti yang disempitkan dalam bidang pertanahan.

 

Lebih lanjut, ayat 2 dari Pasal 613 KUHPerdata mensyaratkan penyerahan piutang tersebut diberitahukan secara resmi (beteekend) kepada debitor atau disetujui/diakui oleh debitor. Hal ini dipertegas oleh hasil Rapat Kamar perdata Khusus yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahmakah Agung No. 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

 

Di situ disebutkan bahwa kreditor yang menerima penyerahan tagihan berdasarkan cessie, baru dapat dikatakan sebagai kreditor dari debitor yang dimohonkan pailit, setelah penyerahan itu diberitahukan kepada debitor atau secara tertulis disetujui dan diakui oleh debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 613 (2) KUHPerdata.

 

Tak tahu betapa pentingnya cessie dalam jual-beli piutang di indonesia, seringkali membuat kreditor asing ‘makan angin’ saat mengetahui piutang yang telah ia beli tak bernilai karena gagal untuk ditagihkan kepada debitor di Indonesia.

 

Di dalam proses PKPU debitor Indonesia, sering kali dijumpai kreditor yang memegang piutang yang pengalihannya belum diberitahukan kepada atau diakui oleh debitor, sehingga piutangnya dibantah dalam proses PKPU dan mengakibatkan kreditor tak memiliki hak suara dalam voting PKPU. Hal ini menyebabkan hak atau skema pembayaran atas piutangnya menjadi tidak jelas.

 

(Baca juga: Meski pengadilan Nyatakan Pailit, Aset BUMN Tak Akan Mudah Disita)

 

Dalam praktik, piutang kreditor asing hasil pengalihan berdasarkan dokumen yang diatur oleh hukum asing, khususnya negara-negara common law, terhadap debitor Indonesia, disebut oleh Partner ABNR Consellors at Law, Kevin Sidharta, memang sering menjadi masalah ketika hendak ditagih di Indonesia mengingat pengalihan hak tagih piutang berdasarkan hukum di negara mereka tak diharuskan dilakukan melalui suatu akta otentik atau akta di bawah tangan sebagaimana praktik di mayoritas negara civil law dan juga tidak diharuskan untuk diberitahukan kepada atau diakui/disetujui oleh debitornya.

 

Lawyer yang sejak tahun 2000 telah bergelut di bidang kepailitan ini menyebut hal itulah yang menjadi semacam disharmoni antar hukum asing dengan hukum Indonesia.

 

Hukumonline.com

Bilal Anwari (kiri) dan Kevin Sidharta (kanan). Foto: HOL

 

Kevin menyayangkan, pengaturan soal kewajiban cessie ini, yang diatur di dalam KUHPerdata warisan Belanda, menampakkan citra hukum Indonesia yang terlalu birokratis dan sangat formalistik. Bahkan, kata Kevin, terkait persyaratan pemberitahuan, sekadar notice pun kadang tak cukup untuk menjamin diakuinya jual-beli piutang oleh si debitor, melainkan harus juga di-acknowledge/akui oleh direksi dari debitor.

 

Pemberitahuan yang dimaksud dalam Pasal 613 (2) KUHPerdata mengacu kepada istilah “betekening” yang berarti pemberitahuan secara resmi melalui exploit juru sita kepada debitur yang dilakukan sesuai dengan Pasal 390 HIR. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa “betekening” tak bisa dipersamakan dengan pemberitahuan biasa yang bisa dilakukan secara tertulis maupun lisan.

 

“Sedikit-sedikit kalau mengalihkan piutang ke pihak lain harus notify, harus memberi tahu, harus di acknowledge, harus di-confirm sama debitornya. Padahal kalau di hukum asing ya mungkin jual beli begitu saja tanpa perlu pemberitahuan kepada debitor atau persetujuan/pengakuan debitor,” tukas Kevin dalam acara Hukumonline Editorial Discussion dengan tema “Dinamika Implementasi UU Kepailitan dan PKPU di Indonesia”, Kamis, (1/11).

 

Sebagai informasi tambahan, dibantah atau diterimanya tagihan yang diajukan dalam proses PKPU ditentukan oleh Pengurus. Hakim pengawas lalu menentukan apakah kreditor yang tagihannya dibantah dapat ikut serta dalam voting PKPU, dan apabila dapat ikut serta, berapa batasan jumlah suara yang dikeluarkan oleh kreditor tersebut.

 

(Baca: Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem)

 

Hanya saja, instrumen pengalihan hak tagih melalui cessie itu menurut Kevin tak berlaku dalam hal yang dialihkan adalah promissory note (surat sanggup), yang dikenal dengan surat promes di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

 

Diakuinya suatu surat sanggup, kata Kevin, pengalihannya tak perlu melalui cessie maupun pemberitahuan kepada debitor, tapi cukup melalui endorsement yang diatur secara khusus di dalam KUHD (vide Pasal 176 jo. Pasal 110-119 KUHD), berbeda dengan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tak bertubuh yang harus dilakukan melalui cessie. Merujuk pasal 174 KUHD, promissory note yang digunakan sebagai surat sanggup bayar atas pembayaran sejumlah utang tertentu memang berlaku tanpa bersyarat (vide: Pasal 174).  

 

Dalam praktiknya, Senior Associate ABNR Consellors at Law, Bilal Anwari, bahkan menyebut sebagai contoh di dalam kredit sindikasi, peralihan piutang dari satu kreditor ke kreditor lain bisa dilakukan berkali-kali hingga ke kreditor baru yang ke-20, misalnya.

 

Berdasarkan pengalaman, untuk mendukung agar hak tagih atas utang itu tetap diakui, kata Bilal, jelas setiap pembeli piutang baru itu dituntut tak hanya melakukan pembelian dengan menandatangani cessie namun disarankan juga membuat akta penyataan yang ditandatangani oleh agen fasilitas bahwa peralihan-peralihan dari masing-masing kreditor tersebut telah dilakukan secara sah.

 

Namun, lagi-lagi dalam proses PKPU, pihak yang menentukan suatu tagihan yang diajukan diterima atau dibantah dan suatu kreditor dapat ikut voting atau tidak adalah pengurus dan hakim pengawas.

 

Tak bisa diremehkan, Bilal bahkan menyebut dalam jual beli surat utang (bond/obligasi) pada pasar sekunder, surat utang yang valid-pun ketika diajukan ke pengadilan juga bisa tak diakui jika ada formalitas pengalihan yang tidak dipenuhi.

 

“Nah soal penerbitan bond ini kan tidak berdasarkan hukum Indonesia melainkan hukum asing yang pengalihannya tak perlu harus cessie dan pemberitahuan/pengakuan, tapi efeknya ketika kita mengajukan tagihan dalam proses PKPU, maka kreditor pemegang bond tak bisa masuk,” ungkap Bilal dalam acara yang sama.

 

Efek dari peralihan piutang kreditor antar negara, sambung Bilal, pembeli bond yang tak mengetahui adanya kewajiban cessie dan pemberitahuan / pengakuan ini bisa tak memiliki suara dalam voting dan surat utang yang dimilikinya juga menjadi tak ada nilainya. Padahal, menurut pengamatan Bilal tak hanya pihak swasta saja, pemerintah juga sedang ‘giat-giatnya’ mengeluarkan bond.

 

Pengacara kepailitan lainnya, Gunawan Widjaja turut menyayangkan Indonesia masih mengharuskan adanya cessie dalam setiap jual beli piutang. Padahal, Gunawan menyebut tak semua negara civil law sebetulnya yang masih menerapkan cessie, seperti Prancis misalnya. Sehingga bisa saja Indonesia menghapus kewajiban adanya cessie melalui revisi KUHPerdata khususnya terkait aturan soal hukum kebendaan.

 

“Hanya saja, kalau kita mau revisi hukum benda itu mesti digabung semua, aturan soal tanah, air, SDA, ada gas itu kan semuanya harus disatukan, tidak bisa dipisah-pisah. Karena memang hukum benda kita berantakan dimana-mana, tapi prinsip umumnya masih ada di KUHPerdata. Ini satu kesatuan dengan harta kekayaan kan, jadi tidak bisa sembarangan,” kata Gunawan kepada hukumonline, Sabtu (3/11)

 

Sebelumnya, Gunawan juga menjelaskan bahwa penyerahan hak milik dalam jual beli tagihan di Indonesia masih harus dilakukan dengan membuat akta cessie. Piutang yang dijual wajib di-levering sebagaimana dipersyaratkan pada pasal 584 KUHPerdata, yang dipertegas lagi dalam Pasal 1459 KUHPerdata.

 

Adapun soal penjualan piutang itu, Gunawan menyebut batas minimal bisa terjadi penjualan jika terdapat tagihan yang dapat dibagi menjadi sekurangnya 2 jumlah tagihan meskipun bersumber dari 1 perjanjian. Dalam hal 1 perjanjian hanya melahirkan 1 tagihan yang tidak dapat dibagi, maka tagihan tersebut tidak dapat dipecah dan dijual tersendiri.

 

Jual beli perjanjian dengan 1 tagihan yang tidak dapat dibagi, kata Gunawan, diikuti dengan cessie 1 perjanjian tersebut dan tak bisa dilakukan hanya dengan menyerahkan sebagian perjanjian. Jika ada prinsipal dan ada interest, maka perjanjian itu dapat dibagi-bagi/dipecah menjadi 2 tagihan.

 

“Jadi anda mau jual interest nya aja bisa. Atau bisa 2 tagihan yang satu nagih bunga utangnya dan satu tagihan lagi menagih utang pokoknya,” contoh Gunawan.

 

Pemecahan piutang ini, sambung Gunawan, memang hanya bisa dilakukan sebelum putusan pailit dijatuhkan, mengingat terhitung sejak putusan pailit dijatuhkan sudah tidak diperbolehkan lagi ada bunga dan ada tagihan baru. Pasca putusan, semua tagihan yang ada hanya untuk dicocokkan.

 

Tags:

Berita Terkait