Jokowi Disarankan Tak Bergantung pada UU Omnibus Atasi Persoalan Regulasi
Berita

Jokowi Disarankan Tak Bergantung pada UU Omnibus Atasi Persoalan Regulasi

Pemerintah diminta membentuk lembaga khusus penyusunan regulasi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Presiden RI Joko Widodo. Foto: RES
Presiden RI Joko Widodo. Foto: RES

Presiden Joko Widodo mewacanakan  pembentukan Undang-Undang Omnibus (Omnibus Law) pada berbagai sektor sebagai jalan keluar hambatan regulasi investasi. UU Omnibus ini akan merevisi sekaligus puluhan UU sehingga menjadi satu peraturan. UU yang telah diwacanakan antara lain UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.

 

Namun, Jokowi diminta tidak bergantung pada UU Omnibus saja. Secara logika, UU Omnibus tidak mungkin dapat menyelesaikan persoalan regulasi sebab tumpang tindih aturan hingga rumitnya perizinan sudah sangat kompleks. Perlu ada upaya lain agar penyelesaian permasalahan regulasi tersebut maksimal. Hal ini disampaikan pakar hukum tata negara dan Dosen FH Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan.

 

Menurut Jimmy, pemerintah seharusnya memerlukan lembaga khusus menangani persoalan regulasi ini seperti yang dijanjikan dalam debat capres dan pidato kenegaraan 16 Agustus. Sayangnya, dalam pembentukan kabinet Jokowi-Ma’aruf tidak terlihat penyusunan lembaga tersebut.

 

“Ironinya, janji Presiden dalam debat Capres pertama dan pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus soal lembaga khusus menangani regulasi tidak nampak dalam skema penyusunan kabinet Indonesia Maju. Ditambah lagi Presiden seolah beranggapan penyelesaian regulasi di Indonesia dapat dilakukan dengan Omnibus Law, tanpa lembaga khusus regulasi,” jelas Jimmy.

 

Dia menganalisis setidaknya ada 4 skema persoalan regulasi di Indonesia seperti tumpang tindih aturan antara pemerintah pusat dan daerah, kewenangan pembentukan aturan yang dilakukan berbagai instansi, ego sektoral dan tidak berjalannya UU 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Persoalan pertama, ketidaksinkronan dan saling tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah terjadi karena tidak adanya kewajiban ruang harmonisasi dari instansi vertikal di pusat.

 

(Baca: Menyoal Ide Omnibus Law dalam Pidato Pelantikan Jokowi)

 

Misalnya, pemerintah daerah hendak membuat rancangan peraturan daerah yang terkait dengan lingkungan hidup, tidak ada kewajiban bagi Kementerian Lingkungan Hidup atau kementerian hukum sebagai instansi vertikal untuk melakukan pengawasan terhadap substansi dari Rancangan Perda itu. Persoalan ini terjadi pada 34 Pemda Provinsi dan 514 Pemda Kabupaten/Kota.

 

Kedua, kewenangan pembentukan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh berbagai instansi sering menyebabkan masalah. UU 12/2011 mengatur bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi beberapa tahapan yaitu, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan dalam membentuk peraturan di tingkat pusat dan daerah.

 

Pada tahapan Perencanaan Peraturan Perundang-undangan saja terdapat beberapa institusi yang terlibat, yaitu: 1) Menteri Hukum dan HAM melalui BPHN berdasarkan Pasal 39 huruf b Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kemenkumham dalam perencanaan RUU dari Pemerintah, RPP dan RanPerpres; 2) Badan Legislasi DPR, dalam perencanaan RUU inisiatif DPR.

 

3) Masing-masing lembaga, komisi dan instansi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. 4) Badan Legislasi DPRD Provinsi dalam perencanaan Ranperda dari DPRD; 4) Biro Hukum Pemerintah Daerah Provinsi dalam perencaan Ranperda dari Pemda; 5) Badan Legislasi DPRD Kab/Kotadalam perencanaan Ranperda dari DPRD; 6) Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kab/Kota dalam perencanan Ranperda dari Pemda.

 

Kemudian, dalam tahapan penyusunan bila RUU berasal dari DPR, naskah bisa dari DPR atau DPD. Sedangkan RUU dari Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) terkait. Dalam tahapan penyusunan, ada juga mekanisme pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU jika berasal dari DPR dilakukan oleh Badan Legislasi sedangkan RUU dari Presiden dilakukan oleh Menteri Hukum, khususnya Ditjen PP. Harmonisasi terhadap RPP dan RanPerpres juga dikoordinasikan oleh Ditjen PP Kemenkumham.

 

Dalam level daerah, harmonisasiRanperda Provinsi atau Kabupaten/Kota yang berasal dari DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Badan Legislasi DPRD. Sedangkan dari Pemda harmonisasi dilakukan oleh Biro Hukum atau Bagian Hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian hukum.

 

Belum lagi, regulasi pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, seperti Peraturan Menteri, Lembaga-Lembaga Negara yang memiliki aturan yang mengikat keluar, Peraturan LPNK atau Lembaga Nonstruktural sama sekali tidak ada ruang harmonisasi secara ekternal. “Jadi lembaga itu membuat regulasi dari perencanaan hingga selesai dan Pemerintah melalui Menkumham hanya mengundangkan saja. Tentunya, peraturan-peraturan seringkali bermasalah, karena tidak ada kontrol pemerintah,” jelas Jimmy.

 

Persoalan regulasi yang ketiga, masih kuatnya ego sektoral dalam pembentukan perundang-undangan. Dengan adanya institusi yang berbeda-beda dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menimbulkan konflik kepentingan antar instansi sehingga menghambat proses penyusunan aturan.

 

“Fenomena desain permasalahan regulasi ini, tidak mungkin bisa dijawab oleh Omnibus Law. Sebab omnibus law secara hakiki hanya sebagai kompilasi atau kodifikasi peraturan, sebagaimana telah dilakukan selama ini, seperti dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah ataupun Undang-Undang yang mencabut beberapa undang-undang dan ketentuan dalam beberapa undang-undang,” terang Jimmy.

 

Persoalan keempat yaitu belum berjalannya UU 15/2019 tentang Perubahan UU 12/2011. Padahal UU tersebut telah memberikan solusi dalam menyelesaikan persoalan regulasi di Indonesia. Dengan membentuk Kementerian khusus perundang-undangan atau lembaga yang memiliki fungsi pembentukan perundang-undangan. Sehingga, Jimmy mengkhawatirkan terobosan baru Presiden Jokowi dengan memunculkan Omnibus Law tanpa adanya lembaga khusus menangani regulasi malah menyandera sendiri kebijakan negara untuk menuntaskan persoalan regulasi yang menghambat investasi di Indonesia.

 

Sebelumnya, Jokowi dalam pidato pelantikannya mengatakan tumpang tindih aturan dan ketidakjelasan hukum dalam berbagai UU menjadi persoalan yang menghambat investasi selama ini. Sehingga, UU Omnibus dinilai menjadi jalan keluar menyelesaikan persoalan tersebut.

 

“Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Yang pertama, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Yang kedua, Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, bahkan puluhan undang-undang,” jelas Jokowi.

 

“Puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan undang-undang yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi sekaligus,” katanya.

 

“Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, bahkan puluhan undang-undang. Puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan undang-undang yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi sekaligus,” sambung Jokowi.

 

Selain UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM, pemerintah juga sedang merencanakan Omnibus Law pada sektor pasar modal. Nantinya, UU baru tersebut akan merevisi beberapa peraturan seperti UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.

 

“Ini usulan pemerintah. Yang saya pahami ada beberapa pasal dalam UU Pasar Modal, UU OJK dan UU lainnya perubahannya dikumpulin dalam satu UU,” jelas Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen, Rabu (23/10).

 

Tags:

Berita Terkait