Joko Tjandra Divonis 4,5 Tahun
Berita

Joko Tjandra Divonis 4,5 Tahun

Pertimbangan memberatkan perbuatannya menyuap para penegak hukum.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Joko Soegianto Tjandra bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Foto: RES
Joko Soegianto Tjandra bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Foto: RES

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, menyatakan Terdakwa Joko Soegianto Tjandra bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa pemberian suap berkaitan dengan penghapusan Red Notice dirinya agar bisa masuk ke Indonesia serta pemufakatan jahat berkaitan dengan pengurusan Fatwa di Mahkamah Agung (PK).

“Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim Muhamad Damis.

Putusan itu berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 5 ayat 1 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP. Selanjutnya dakwaan kedua dari Pasal 15 jo Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1.

Pertimbangan memberatkan, perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam mencegah dan memberantas tidak pidana korupsi. Perbuatannya juga menghindari upaya eksekusi dari suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan pemberian suap diberikan kepada aparat penegak hukum dan pemberian suap terjadi di wilayah PN Jakarta Pusat yang menunjukkan terjadi peningkatan perkara korupsi. Sementara pertimbangan meringankan sopan di persidangan dan telah berusia lanjut.

Pemberian suap yang dimaksud pertama kepada Pinangki Sirna Malasari, jaksa fungsional pada Kejaksaan Agung RI berkaitan dengan pengurusan Fatwa di Mahkamah Agung sebesar AS$500 ribu yang bertujuan agar ia dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana 2 tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009. (Baca: Respons Berbeda 2 Jenderal Polisi Setelah Divonis Bersalah Terima Suap Joko Tjandra)

Pinangki juga ikut menyusun "action plan" berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa MA atas putusan PK Joko Tjandra dengan mencantumkan inisial "BR" sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan dan "HA" selaku pejabat di MA. Joko Tjandra bersedia memberikan uang muka sebesar AS$500 ribu dari total AS$1 juta. Jumlah tersebut termasuk biaya legal "fee" untuk Anita Kolopaking sebesar AS$200 ribu, sedangkan sisanya digunakan Andi Irfan Jaya untuk "consultant fee".

Selanjutnya pemberian kepada dua jenderal polisi Napoleon Bonaparte selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri sejumlah Sin$200 ribu dolar Singapura dan AS$370 ribu serta Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri senilai AS$100 ribu melalui Tommy Sumardi.

Tujuan pemberian uang tersebut adalah agar Napoleon dan Prasetijo membantu proses penghapusan nama Joko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan pada sistem informasi keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi. Prasetijo juga membantu membuatkan surat jalan ketika Joko Tjandra masuk ke Indonesia.

Penyerahan uang dilakukan dalam beberapa tahap kepada Napoleon melalui perantaraan Tommy Sumardi, yaitu pada 28 April 2020, Tommy Sumardi memberikan uang Sin$200 ribu kepada Napoleon, ditambah AS$50 ribu yang sempat ditolak Napoleon pada 27 April 2020. Lalu 29 April 2020 Tommy memberikan AS$100 ribu, 4 Mei sebesar AS$150 ribu dan 5 Mei sebesar AS$70 ribu.

Sedangkan penyerahan uang kepada Prasetijo dilakukan dalam dua kali pemberian, yaitu pada 27 April 2020 Tommy memberikan uang sebesar 50 ribu dolar AS di Gedung TNCC Polri, dan pada 7 Mei 2020 Tommy memberikan uang sebesar 50 ribu dolar AS kepada Prasetijo di sekitar Kantor Mabes Polri.

“Terdakwa terbukti memberi suap kepada Pinangki Sirna Malasari sebesar AS$500 ribu untuk pengurusan fatwa di MA melalui andi Irfan jaya, dan kedua pengurusan penghapusan Red Notice terdakwa melalui tommy sumardi telah memberikan uang suap kepada Irjen Pol Napoleon Bonaparte AS$370 ribu dan Sin$200 ribu dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo sebesar AS$100 ribu. Berdasarkan uraian diatas unsur memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara telah terbukti pada diri terdakwa,” kata hakim anggota Joko Subagyo, Senin (5/4).

Dalam dakwaan kedua, Joko Tjandra dinilai terbukti melakukan permufakatan jahat bersama Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar AS$10 juta kepada pejabat di Kejagung dan MA agar menggagalkan eksekusi dalam kasus “cessie” Bank Bali 2009. Fatwa itu diajukan dengan argumentasi bahwa Peninjauan Kembali (PK) No. 12 tertanggal 11 Juni 2009 yang menjatuhkan hukuman kepada Djoko Tjandra selama 2 tahun penjara dalam kasus "cessie" Bank Bali tidak bisa dieksekusi, karena yang berhak melakukan PK sedangkan eksekutor dari hukuman adalah Kejagung.

Dalam pembelaannya penuntut umum menganggap kliennya sama sudah menolak action plan yang diusulkan Pinangki sehingga dakwaan pemufakatan jahat seharusnya tidak terbukti. Namun majelis hakim mempunyai pendapat lain, menurut majelis meskipun Joko menolak action plan namun ia telah menyetujui rencana adanya pengurusan fatwa agar dirinya bisa kembali ke Indonesia tanpa menjalani hukuman.

“Terdakwa menyetujui usulan saksi Pinangki dan Andi Irfan bentuk persetujuan diperkuat dengan pemberian uang sebesar AS$500 ribu sehingga saksi Andi Irfan dan Pinangki mempunyai niat kepengurusan fatwa di MA meskipun pada akhirnya terdakwa tidak menyetujui action plan. Pembelaan tim PH tidak cukup dan patut dikesampingkan,” ujar hakim anggota lainnya Saifudin Zuhri.

JC ditolak

Majelis juga menolak permohonan Justice Collaborator (JC) yang diajukan Joko Tjandra. Sesuai pedoman pelaku menjadi sesuai SEMA Nomor 4 Tahun 2016, terkait pengurusan fatwa Joko mengaku ragu apakah Heriyadi Angga Kusuma menyerahkan uang AS$500 ribu, padahal sebelumnya ia telah menerima action plan yang diberikan setelah penyerahan uang.

“Terdakwa juga menyatakan ke saksi Anita Kolopaking bahwa sebagian penyerahan uang telah diberikan ke Pinangki. Dari fakta tersebut terdakwa tidak mengakui perbuatannya,” ujar hakim.

Kemudian penghapusan red notice, Joko mengaku memberikan uang Rp10 miliar ke Tommy Sumardi tetapi tidak tahu untuk siapa peruntukan uang tersebut. Padahal dalam sidang ia mengetahui jika Tommy Sumardi mempunyai hubungan dekat dengan para petinggi polisi sehingga Joko sudah sepatutnya mengetahui untuk siapa uang diberikan.

“Saksi Tommy Sumardi juga selalu melaporkan perkembangannya kepada terdakwa. Dari uraian fakta hukum diatas maka majelis berpendapat terdakwa tidak memenugi kriteria untuk ditetapkan sebagai JC sehingga permohonan terdakwa tidak dapat dikabulkan,” tutur hakim.

Atas vonis ini Joko Tjandra ajukan pikir-pikir, sama halnya dengan penuntut umum.

Ada yang menarik usai pembacaan putusan ini yaitu opsi yang diberikan hakim jika Joko Tjandra menerima putusan, ia bisa mengajukan grasi di kemudian hari. “Karena putusan ini 4 tahun atau lebih maka berdasarkan Undang-Undang Grasi saudara bisa menerima putusan ini lalu meminta pengampunan atau Grasi,” ujar Hakim Ketua Damis.

Tags:

Berita Terkait