Joko Tjandra Dituntut 4 Tahun
Berita

Joko Tjandra Dituntut 4 Tahun

Statusnya sebagai terpidana dan pemberi suap kepada penegak hukum tidak menjadi pertimbangan memberatkan.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Joko Soegiarto Tjandra. Foto: RES
Joko Soegiarto Tjandra. Foto: RES

Penuntut umum pada Kejaksaan Agung RI meminta Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menghukum Joko Soegiarto Tjandra dengan pidana penjara selama 4 tahun. Selain itu ia juga dikenakan pidana denda sebesar Rp100 juta subsider kurungan selama 6 bulan karena memberikan uang suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan jabatannya dan juga pemufakatan jahat.

“Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk menyatakan terdakwa Djoko Tjandra bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Menghukum terdakwa dengan pidana selama 4 tahun dengan perintah tetap ditahan di rumah tahanan serta denda Rp100 juta diganti pidana kurungan selama 6 bulan," kata jaksa penuntut umum Junaedi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Pemberian suap yang dimaksud pertama kepada Pinangki Sirna Malasari, jaksa fungsional pada Kejaksaan Agung RI berkaitan dengan pengurusan Fatwa di Mahkamah Agung sebesar AS$500 ribu yang bertujuan agar ia dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana 2 tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009.

Pinangki juga ikut menyusun "action plan" berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa MA atas putusan PK Joko Tjandra dengan mencantumkan inisial "BR" sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan dan "HA" selaku pejabat di MA. Joko Tjandra bersedia memberikan uang muka sebesar AS$500 ribu dari total AS$1 juta. Jumlah tersebut termasuk biaya legal "fee" untuk Anita Kolopaking sebesar AS$200 ribu, sedangkan sisanya digunakan Andi Irfan Jaya untuk "consultant fee". (Baca: Pemeriksaan Terdakwa Joko Tjandra Munculkan Nama Setya Novanto Hingga Wapres)

Selanjutnya pemberian kepada dua jenderal polisi Napoleon Bonaparte selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri sejumlah Sin$200 ribu dolar Singapura dan AS$370 ribu serta Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri senilai AS$100 ribu melalui Tommy Sumardi.

Tujuan pemberian uang tersebut adalah agar Napoleon dan Prasetijo membantu proses penghapusan nama Joko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan pada sistem informasi keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi. Prasetijo juga membantu membuatkan surat jalan ketika Joko Tjandra masuk ke Indonesia.

“Terdakwa Joko Tjandra menyadari uang tersebut adalah bagian dari peran-peran Napoleon dan Prasetijo, sehingga status DPO terdakwa dapat terhapus dari sistem imigrasi,” kata penuntut.

Dalam dakwaan kedua, Joko Tjandra dinilai terbukti melakukan permufakatan jahat bersama Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar AS$10 juta kepada pejabat di Kejagung dan MA agar menggagalkan eksekusi dalam kasus “cessie” Bank Bali 2009. Fatwa itu diajukan dengan argumentasi bahwa Peninjauan Kembali (PK) No. 12 tertanggal 11 Juni 2009 yang menjatuhkan hukuman kepada Djoko Tjandra selama 2 tahun penjara dalam kasus "cessie" Bank Bali tidak bisa dieksekusi, karena yang berhak melakukan PK sedangkan eksekutor dari hukuman adalah Kejagung.

“Sehingga dapat disimpulkan Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Pinangki Sirna Malasari menyadari pejabat Kejagung atau MA punya kewenangan terkait permintaan fatwa MA dan bersepakat untuk memberikan uang sebesar 10 juta dolar AS dalam proses pengurusannya,” terang penuntut.

Sebelum memberikan lamanya tuntutan, penuntut juga mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan. Untuk memberatkan perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Meskipun yang diberi suap adalah para penegak hukum, penuntut tidak mencantumkan hal tersebut sebagai pertimbangan memberatkan, begitu juga status Joko Tjandra yang juga merupakan terpidana, serta telah terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana surat palsu. Sementara hal meringankan ia berlaku sopan di persidangan.

Tuntutan diatas berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 5 ayat 1 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP. Selanjutnya dakwaan kedua dari Pasal 15 jo Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1. Sidang dilanjutkan dengan pembacaan nota pembelaan (pleidoi) pada Senin, 15 Maret 2021.

Berharap bebas

Sebelumnya, Joko Tjandra berharap jika ia dituntut bebas oleh penuntut umum. Asalannya ia merupakan korban penipuan yang dilakukan Pinangki dan Andi Irfan yang menyambanginya di Malaysia dengan menyodorkan sejumlah rencana untuk membebaskannya dari pidana kasus Cessie Bank Bali.

“Bukan dikorbankan, tapi ditipu oleh Pinangki, Andi Irfan Jaya, dan sesuai apa yang saya katakan ke JPU kemarin kalau saya ini jadi korban penipuan. Untuk itu, mereka harusnya tuntut bebas saya,” katanya.

Selain itu ia merasa perbuatannya ini bukan perkara besar karena tidak ada kerugian keuangan negara, dan proses pemberian suap dilakukan di Malaysia. Joko tidak menyinggung perihal pemberian suap kepada Napoleon dan Prasetijo melalui Tommy Sumardi.

“Santai saja, ini tidak ada suatu perbuatan yang merugikan negara, ini cuma urusan kecil, bukan suatu perbuatan jahat. Orang dateng ke Malaysia buat jualan ke luar negeri, secara undang-undang kejadiannya di luar negeri dan mestinya tidak ada hubungan di dalam negeri,” terangnya.

Tags:

Berita Terkait