Job Disruption dan Profesi In-House Lawyer (Seri I)
Kolom

Job Disruption dan Profesi In-House Lawyer (Seri I)

​​​​​​​Perjalanan evolusi suatu profesi untuk beradaptasi agar tetap relevan.

Bacaan 8 Menit
Reza Topobroto. Foto: Istimewa
Reza Topobroto. Foto: Istimewa

Satu dekade terakhir ini, disrupsi pekerjaan (job disruption) telah menjadi topik penting bagi para profesional di berbagai sektor usaha. Termasuk profesional di bidang hukum, baik advokat maupun penasihat hukum internal perusahaan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan in-house lawyer, in-house counsel atau juga dengan corporate counsel. Tulisan ini akan membahas secara berseri permasalahan ini.  Sebagai seri pertama, disini akan diulas latar belakang terjadinya disrupsi profesi in-house lawyer. 

Job disruption sebenarnya bukanlah isu baru dalam sejarah profesi ataupun dalam dunia usaha. Hal ini adalah suatu konsekuensi dari terjadinya inovasi. Inovasi adalah suatu kelumrahan dalam siklus kehidupan manusia, yang secara alamiah selalu berusaha berinovasi mencari solusi dari permasalahan yang ada di masyarakat, bisnis, pendidikan, pemerintahan dan lain sebagainya.

Salah satu contohnya adalah ketika mobil pertama kali ditemukan pada tahun 1896 oleh Henry Ford (banyak yang yakin Karl Benz lebih dulu melakukannya di tahun 1886).  Teknologi mobil lahir di saat hampir separuh dunia masih mengandalkan hewan, khususnya kuda sebagai penunjang transportasi darat. Baik Ford maupun Benz tidak pernah menyangka bahwa penemuan mereka akan melahirkan industri permobilan yang mengubah kehidupan umat manusia secara signifikan.

Hukumonline.com

Hanya dalam hitungan waktu, setelah teknologi permobilan menjadi semakin matang, preferensi penggunaan kuda sebagai transportasi darat beralih kepada mobil, dan satu persatu profesi yang terkait dengan pemberdayaan kuda terdisrupsi. Permintaan pasar akan kuda dari peternakan, otomatis menurun drastis dan ini berdampak pada fungsi pekerjaan di sektor ini. Hal yang sama terjadi pada industri manufaktur tapal kuda, pakan kuda, sadel dan pelana kuda serta berbagai jenis asesoris yang dibutukan dalam penggunaan kuda. 

Apakah ini artinya inovasi yang dibuat oleh Ford dan Benz telah menjadikan banyak orang kehilangan pekerjaan? Ternyata ini bukanlah suatu rumus matematika yang otomatis seperti 1 + 1 = 2. Karena yang timbul dari inovasi bukanlah hilangnya pekerjaan (job elimination), tapi adalah job disruption. Menurut Oxford English Dictionary, "disruption” sendiri adalah: situation in which it is difficult for something to continue in the normal way; the act of stopping something from continuing in the normal way. Dikaitkan dengan konteks inovasi, maka “disruption” adalah: an innovation that creates a new market by providing a different set of values, which ultimately (and unexpectedly) overtakes an existing market (Clayton M. Christensen, The Innovators Dillema, 1997).

Dari definisi dan teori tersebut, maka saya meyakini bahwa job disruption adalah perubahan atau berakhirnya beberapa proses dalam pelaksanaan suatu profesi/pekerjaan dan memunculkan proses baru dalam profesi/pekerjaan tersebut, yang terjadi akibat lahirnya inovasi, sehingga pelaksanaan pekerjaan itu menjadi lebih efisien dan ringkas dengan memberikan hasil yang berdampak tinggi bagi dunia usaha.  Sekarang mari kita bahas job disruption untuk profesi in-house counsel.

Tidak ada yang kebal dari Job Disruption

Tidak akan ada satu profesi atau pekerjaan yang kebal (immune) dari disrupsi. Sejarah telah mencatat begitu banyak pekerjaan yang ter-disrupsi oleh inovasi, di luar inovasi mobil sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada tulisan. Ambil saja tiga contoh yang paling mudah, yaitu: 

  1. Personal computer (PC) dan juru ketik. 

Sampai dengan tahun 1980an setiap perusahaan besar mempekerjakan puluhan bahkan ratusan juru ketik untuk mengetik dokumen tanpa harus memahami isinya. Sekarang semua orang di kantor dapat melakukannya sendiri dengan PC. 

  1. Pengemasan Produk di sektor manufaktur. 

Mesin pengemasan produk secara otomatis di pabrik, membuat perusahaan tidak perlu lagi mempekerjakan tenaga kerja secara masif untuk melakukan pengemasan manual.  Akibatnya perusahaan dituntut untuk melatih tenaga kerjanya mengoperasikan dan mengawasi bekerjanya mesin tersebut secara otomatis.  Lahirlah role baru dalam tahap pengemasan produk di pabrik, yaitu machine operator atau packaging supervisor

  1. Artificial Inteligence dan customer service. 

Ini sudah terlihat di jasa perbankan, kesehatan dan telekomunikasi.  Bahkan lembaga pemerintahan di beberapa negara sudah menerapkan chatbot dalam skala terbatas untuk pelayanan masyarakat.

Hukumonline.com

Job Disruption pada Profesi In-House Counsel

Lawyer adalah salah satu profesi tertua di dunia. Diyakini profesi ini telah lahir semenjak masa Romawi Kuno di tahun 204 SM ketika Kaisar Claudius menerbitkan peraturan tentang profesi advokat (https://westcolumbialawyer.com/the-history-of-lawyers). Sedangkan profesi in-house counsel secara modern mulai bangkit di Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-18 ketika korporasi raksasa bermunculan menggairahkan perekonomian (Lawrence Friedman). Setelah itu inovasi datang silih berganti, dan selama itu pula profesi in-house lawyer beradaptasi dan tanpa kita sadari sebenarnya itu adalah proses evolusi in-house lawyer dalam menghadapi job disruption.

Banyak yang mengira bahwa job disruption hanya semata-mata terjadi karena teknologi.  Ini tidak tepat, karena inovasi bisa muncul dalam bentuk apapun. Di dalam sejarah modern, disrupsi atas profesi in-house lawyer telah terjadi dalam empat gelombang.

  • First Wave – Compliance Trend

Gelombang pertama terjadi diawal 1980an setelah inovasi legislasi di Amerika Serikat dengan terbitnya Foreign Corruption Practice Act (FCPA) pada 1977, yang menuntut korporasi dunia berbasis di atau berbisnis di negeri Paman Sam untuk memiliki divisi hukum yang tangguh dalam hal kepatuhan anti korupsi. Otomatis ini berdampak bagi semua anak perusahaan dari korporasi global tersebut. Secara bertahap, dunia usaha memperluas peran in-house counsel, yang sebelumnya hanya fokus pada commercial, corporate legal dan dispute management (conventional in-house counsel roles) untuk juga mengurusi compliance, yang mencakup policy making, training & education, compliance monitoring/review/approval, dan juga internal investigation.

Secara langsung maupun tidak langsung ini membuat beberapa kursi dari peran conventional in-house counsel roles menjadi hilang berdasarkan dua pertimbangan.  Pertama karena disrupsi ini tidak dibarengi oleh penambahan budget untuk headcount dan kedua perusahaan lebih cenderung mengalihkan pekerjaan konvensional tersebut kepada law firm, karena nature pekerjaannya bersifat standard (berulang terus menerus secara sama) dan kadangkala hanya terjadi secara seasonal / insidentil (seperti M&A, spin-off dan sebagainya).

  • Second Wave – Advising Internal & Influencing External

Gelombang disrupsi kedua adalah konsekuensi dari globalisasi yang ditandai dengan lahirnya World Trade Organization (WTO) pada 1995 yang menuntut seluruh anggotanya untuk meratifikasi berbagai ketentuan WTO di bidang perdagangang. Trend dari globalisasi juga adalah meningkatnya tuntutan bagi dunia usaha untuk mematuhi perlindungan lingkungan hidup, standardisasi produk dan jasa, perlindungan buruh, persaingan usaha dan lain sebagainya. Akibatnya munculah kebutuhan akan peran government affairs atau public policy affairs di perusahaan untuk memonitor proses legislasi, memberikan saran dan masukan kepada regulator untuk memastikan kebijakan dan ketentuan hukum tidak menghambat perkembangan usaha.

Kecenderungan di perusahaan global adalah menempatkan government affairs ini di bawah divisi hukum. Bahkan terjadi di beberapa korporasi, fungsi CSR (corporate social responsibility) atau citizenship/sustainability, juga dimasukkan ke dalam divisi hukum, karena diyakini fungsi ini cukup efektif untuk merekatkan hubungan dan tingkat kepercayaan antara pemerintah dan pelaku usaha. Sehingga di awal abad 21, kita melihat dibanyak perusahaan besar, wewenang General Counsel, Chief Legal atau Legal Director menjadi lebih powerful di level senior management dengan akses langsung kepada C-level atau langsung kepada CEO.

  • Third Wave – Being A Trusted Advisor

Kita tentunya masih ingat dengan krisis ekonomi global pada tahun 2008. Diawali dengan ambruknya lembaga peminjaman di Amerika Serikat secara dramatis yang secara beruntun merontokkan berbagai sektor ekonomi di negara itu sehingga lebih dari 7,3 juta pekerjaan hilang dari bulan Januari 2008 sampai Februari 2010 (ABC News)

Krisis ini dengan cepat merembet kepada hampir seluruh negara lainnya dunia, termasuk Indonesia yang mengalami penurunan pertumbungan ekonomi dari 6.01% di tahun 2008 menjadi 4.63% di tahun 2009 (ABC News). Sebagaimana pada umumnya, krisis selalu berdampak pada pengetatan budget dan sasaran utama pastilah divisi yang sifatnya supporting, dan bukan revenue generator. Legal adalah satu di antaranya.  Kejadian dicatat menjadi titik tolak munculnya tekanan bagi in-house lawyer untuk berinovasi dan mendefinisikan ulang fungsi dan perannya bagi perusahaan. Tahun 2008 menjadi masa terjadinya transformasi in-house lawyer dari peran tradisional dari fire fighters menjadi risk mitigation, dari stamp chopper menjadi creative solution provider, dari legal counsel menjadi trusted advisor.  

Dipangkasnya budget, mengakibatkan pengurangan personil dan juga anggaran untuk law firm. Terjepit dengan situasi ini in-house counsel harus lebih fokus pada pekerjaan yang dapat memberikan impact bagi bisnis, baik kepada revenue maupun terhadap corporate performance. Di masa ini, in-house lawyer cenderung melimpahkan kepada law firm pekerjaan dalam bentuk paper works (review & drafting), analisa dan research. In-house pun menjadi kreatif dengan membangun sistem standardisasi dokumen dan proses kerja secara otomatis.

Semua dokumen distandarisasikan dalam format (template) dan semua proses persetujuan kontrak dan lain sebagainya dibakukan secara otomatis dalam sistim online. Dengan metode ini, jumlah personil divisi legal dapat dirampingkan hanya pada level senior dengan peran utama mengolah reative solution untuk mendorong bisnis mencapai tujuan meningkatkan pendapatan dengan tetap berkomitmen pada kepatuhan dan integritas. Pada gelombang ketiga ini sebetulnya sudah terbaca tanda-tanda akan muncul gelombang baru yang sarat dengan elemen teknologi. 

  • Fourth Wave – Legal Technology

Legal Technology, yang lebih sering disebut LegalTech adalah piranti lunak dan teknologi yang digunakan oleh law firm atau in-house legal team untuk memfasilitasi pekerjaan dan meningkatkan efektifitas. LegalTech juga disebut sebagai pendorong dalam industri hukum untuk mensukseskan transformasi digital. Tujuan dari LegalTech adalah untuk menyederhanakan operasional, mengoptimalkan alur kerja dan memperbaiki pengelolaan data dan informasi baik di law firm maupun di perusahaan.

Kebangkitan teknologi software and internet di akhir 1990an telah mendorong abad ke-21 otomatis menjadi ajang kompetisi inovasi bidang ini, termasuk LegalTech. Pengembangan bisnis dengan metode startup yang mengandalkan investasi venture capital, semakin menggairahkan inovasi. Dalam dua dekade terakhir bermunculan startup yang dengan berani memfokuskan diri pada LegalTech. Keberanian ini tidak mengherankan, jika melihat data bahwa dunia usaha di level global menghabiskan sekitar USD 300 milyar tiap tahunnya untuk jasa hukum dan sekitar USD 9-12 milyar untuk software jasa hukum. Peluang bisnis yang besar ini akan menjadi daya tarik bagi para inovator, startup dan venture capital untuk terus berkompetisi di LegalTech.   

Sama halnya dengan prinsip inovasi secara umum, maka LegalTech tidak dibuat untuk menghapus profesi lawyer ataupun in-house counsel. Namun untuk membantu profesi ini menjadi lebih efektif dan cepat dalam menghasilkan pekerjaan yang akurat dan mampu memberikan dampak bisnis bagi klien.   Sejarah membuktikan bahwa, yang mampu bertahan atau paling tidak tetap relevan dalam menghadapi arus inovasi dan transformasi, adalah mereka yang mampu beradaptasi, dengan cara merangkul inovasi tersebut dan memanfaatkannya secara positif dan optimal.

Gelombang keempat ini adalah yang kita hadapi saat ini sehingga memiliki urgensi yang tinggi untuk dicermati dan disikapi agar kita sebagai in-house lawyer dapat memahami langkah tepat dan cepat untuk melakukan antisipasi dan adaptasi. Pekerjaan apa saja dari in-house lawyer yang akan terdisrupsi? Apakah nanti akan muncul fungsi baru dari in-house counsel seiring dengan gencarnya LegalTech? Apa dampak dari lahirnya Transformasi Digital baik gelombang keempat ni? Apakah munculnya inovasi artificial inteligence akan diakomodasi oleh LegalTech?  Apakah ini tantangan atau kesempatan bagi in-house lawyer? Apa peluang yang bisa dimanfaatkan? Nantikan pembahasan secara mendalam mengenai gelombang ke-empat dalam Seri Kedua – Job Disruption dan Profesi In-House Lawyer.

*)Reza P. Topobroto, SH., LLM., Secretary General of Asia Pacific Corporate Counsel Alliance

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait