Jimly Usul Agar KPK Dibuat Permanen
Berita

Jimly Usul Agar KPK Dibuat Permanen

Alasannya karena korupsi masih menjadi kejahatan yang sifatnya krusial.

CR19
Bacaan 2 Menit
Jimly Asshiddiqie saat menjalani tes wawancara capim KPK. Foto: RES
Jimly Asshiddiqie saat menjalani tes wawancara capim KPK. Foto: RES

[Versi Bahasa Inggris]

Calon Pimpinan KPK Jimly Asshiddiqie yang juga Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) mengatakan, ke depan KPK perlu dibuat permanen, tidak lagi bersifat ad hoc. Alasanya, karena keadaan saat ini masih krusial terkait dengan upaya pemberantasan korupsi.

“Menurut saya ini lembaga harus dibuat permanen,” ujarnya saat menanggapi pertanyaan dari Pansel KPK, Enny Nurbaningsih di Gedung Kementerian Sekretariat negara, Selasa (25/8).

Jimly merujuk pada ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Katanya, frasa ‘badan lain’ itu bisa menjadi pintu masuk bagi KPK yang juga merupakan lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman.

Lebih lanjut, Jimly mengatakan, selama ini banyak yang keliru memahami maksud dari sifat sementara atau biasa dikenal ad hoc dari pendirian KPK. Memang, dalam konsideran UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) disebutkan bahwa, intinya pembentukan KPK adalah dalam rangka mem-backup kinerja dua institusi Kepolisian dan Kejaksaan yang dinilai rendah.

“Jadi ‘badan lain’ yang fungsinya berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang. Jadi, KPK itu harus dipahami tidak dengan pertimbangan awalnya,” ujarnya.

Hal itu pula lah yang menjadi motivasi Jimly mengenai alasannya mengikuti seleksi capim KPK. Meski begitu, masih perlu ada perbaikan terhadap KPK sebagai lembaga antikorupsi. Misalnya berkaitan dengan cara kerja KPK selama ini. “Memang harus ada yang diperbaiki cara kerjanya KPK, saya rasa itu,” imbuhnya.

Menurutnya, dalam UUD 1945 tak disebutkan secara eksplisit bahwa ‘bank sentral’ adalah Bank Indonesia (BI). Tapi akhirnya, tetap disepakati bahwa BI menjadi lembaga yang permanen. Selain KPK, lanjut Jimly, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) juga perlu dibuat permanen. Sebab, ciri-ciri konstitusi yang modern adalah fokus pada tiga hal besar, yakni HAM, lingkungan hidup, dan korupsi.

“Ini tidak boleh tidak, harus ada di Negara modern. Jangan lagi berpikir kalau KPK sementara walaupun latar belakangnya memang begitu,” ucapnya.

Pansel KPK yang lain, Meuthia Ganie Rochman meminta argumen tambahan dari Jimly terkait dengan alasan pentingya KPK masuk ke dalam konstitusi. Terkait hal ini, Jimly mengatakan, sebagai negara modern Indonesia perlu mengubah fokus atau arah pemberantasan korupsi. Sebelumnya, di dunia pemberantasan korupsi masih sebatas common concern namun saat ini korupsi sudah menjadi common need yang mengarah pada fungsi KPK, yakni fungsi pencegahan dan penindakan.

“Jadi pemberantasan, pencegahan korupsi itu adalah ciri modern negara masa kini. Maka wajar kalau lembaga penegaknya kita masukkan dalam UUD 1945. Jadi tiga isu (HAM, lingkungan hidup, dan korupsi,- red) mondial itu harus masuk di konstitusi,” katanya.

Ubah Perspektif
Dalam sesi yang sama, Jimly juga mengutarakan pendapatnya mengenai hukuman mati. Menurutnya, hukuman mati seharusnya sudah ditinggalkan dari sistem hukum pidana di Indonesia yang tak sejalan dengan Pancasila khususnya sila kedua. Ia sadar, pendapatnya ini bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang setuju dengan hukuman mati dimana dirinya masih menjadi Ketua MK.

“Kebijakan kita terkait hukuman mati sesuai dengan Pancalisa sila kedua ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, kita harus mengikuti perkembangan standar peradaban manusia. Maka seyogyanya pelan-pelan harus mengurangi, makin sedikit bukan malah ditambah,” paparnya menjawab pertanyaan dari Anggota Pansel, Harkristuti Harkrisnowo.

Misalnya, lanjut Jimly, sanksi hukuman mati dalam RKUHP masih mengatur sekitar delapan pasal terkait dengan hukuman mati. Meski pasal itu berasal dari berbagai undang-undang, tapi Jimly mengkritik jenis sanksi yang ada dalam RKUHP itu. Seharusnya, perspektifnya harus bergeser dari pidana terhadap badan menjadi pidana terhadap harta atau aset.

Khususnya bagi tindak pidana korupsi. Menurut Jimly, kasus-kasus korupsi yang mengarah pada kerugian keuangan negara tersebut seharusnya lebih menonjolkan aspek perampasan uang atau asetnya. “Perspektifnya mulai bergeser dari orang ke harta. Karena akhirnya korupsi kan merugikan keuangan negara. Maka perspektif uang atau kekayaan negara itu harus lebih ditonjolkan. Sanksinya pun semestinya perampasan dipertegas,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait