Jimly Serukan Masyarakat “Move On” Pasca Pilpres
Khotbah Idul Adha

Jimly Serukan Masyarakat “Move On” Pasca Pilpres

Pemimpin harus mempersempit jarak kesenjangan di tengah masyarakat.

ALI
Bacaan 2 Menit
Ketua Badan Pembina YPI Al Azhar Jimly Asshiddiqie usai bertindak sebagai khotib Idul Adha di lapangan Masjid Agung Al Azhar, Jakarta, Sabtu (4/10). Foto: Ali
Ketua Badan Pembina YPI Al Azhar Jimly Asshiddiqie usai bertindak sebagai khotib Idul Adha di lapangan Masjid Agung Al Azhar, Jakarta, Sabtu (4/10). Foto: Ali

Ketua Badan Pembina Yayasan Pesantren Islam Al Azhar Jimly Asshiddiqie, dalam khotbah Idul Adha, menyerukan kepada segenap  masyarakat untuk segera “move on” pasca pertarungan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

“Let’s move on. Maju terus. Bersatu sebagai bangsa dan ummat,” ujar pria yang menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini saat tampil sebagai khotib Solat Idul Adha di Lapangan Masjid Agung Al Azhar, Sabtu (4/10).

Jimly mengatakan kita harus bersyukur sebentar lagi Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilu 2014 akan segera mengucapkan sumpah jabatan dalam Sidang Umum MPR pada 20 Oktober 2014. “Pilpres benar-benar sudah selesai, marilah kita saling menghormati pilihan masing-masing sebagai sesama saudara sendiri,” ujarnya.

Lebih lanjut, Jimly menyatakan yang terpilih harus kita terima dan dukung dengan ikhlas sesuai dengan kesepakatan bersama. “Let’s move on untuk urusan yang lain, jangan terbenam dalam kecewa. Jangan lagi larut dalam perasaan menang. Sekarang kita kembali bersama,” lanjut Jimly lagi.

“Jangan percaya kepada bujuk rayu syaitan yang mempengaruhi hawa nafsu kita untuk perburuan kekuasaan dan kekayaan tanpa akhir secara bertentangan dengan norma hukum dan etika, ataupun dengan mengorbankan perasaan solidaritas kebersamaan sebagai satu kesatuan umat dan satu kesatuan bangsa,” ujarnya.

Dalam khotbah bertajuk “Pemimpin yang Berkeadilan”, Jimly mengatakan bahwa kita memilih pemimpin bukan karena alasan fisik pribadinya, tetapi karena keyakinan kita bahwa ia akan dapat dijadikan contoh teladan dalam menata dan memperbaiki serta menjalankan dan memastikan sistem norma hukum dan etika yang diidealkan sungguh-sungguh tegak dalam praktik bernegara.

“Para pemimpin dalam setiap tingkatan harus memastikan bahwa dirinya dapat berperilaku adil secara individual dan juga sanggup membangun keadilan secara sosial dalam kehidupan bersama. Karena itu, salah satu ciri manusia yang diidealkan dalam Islam adalah “immamum ‘aadilun”, pemimpin yang adil, sebagai salah satu dari tujuh orang yang dijamin oleh Rasululah akan masuk surga,” jelasnya. 

Jimly berpesan salah satu hal yang perlu dibenahi adalah ketimpangan di dalam struktur kehidupan masyarakat Indonesia. Yakni, antara si kaya dan si miskin, atau antara yang berkuasa dan yang tidak berkuasa. “Ini tidak boleh dibiarkan terlalu jauh dan timpang. Jangan biarkan pasar bebas di bidang ekonomi maupun politik merajalela menciptakan jarak itu,” tambahnya.

Menurutnya, bila kebebasan sebagai akibat demokrasi dibiarkan tanpa arah dan kendali, maka yang yang rugi justru masyarakat kecil. “Sudah pasti yang paling pandai menikmati dan paling banyak mendapatkan keuntungan akibat kebebasan itu adalah kaum elit, baik ekonomi ataupun politik,” ujarnya.

Jimly menyitir data dari International Labour Organization (ILO) untuk membuktikan adanya kesenjangan di kalangan masyarakat. Bila mengacu ke standar ILO, jarak penghasilan yang adil antara gaji tertinggi dan terendah haruslah di sekitar 1:7. “Jika bawahan terendah berpenghasilah Rp 1 juta, maka penghasilan atasan yang tertinggi tidak boleh lebih dari Rp 7 juta,” ujarnya.

“Di negara-negara maju, gaji pegawai toko jaraknya tidak terlalu jauh dengan gaji senator (anggota parlemen,-red),” sebutnya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di masa awal kemerdekaan dan masa Orde Lama, lanjut Jimly, jarang penghasilan terendah dan tertinggi berkisar 1 berbanding 10-an. Di masa Orde Baru, jurang ketimpangan melebar menjadi 1 berbanding 100-an. Namun, sekarang di era demokrasi yang serba bebas, jarak penghasilan terendah dan yang tertinggi itu meningkat sangat fantastis menjadi 1 berbanding ribuan.

“Tanpa harus menyebut para penganggur, sekarang masih banyak orang yang berpenghasilan hanya Rp 500 ribu per bulan, tetapi pada saat yang sama sudah sangat banyak kaum profesional yang penghasilannya lebih dari Rp 750 juta per bulan,” tuturnya.

Jimly mengatakan penghasilan-pengasilan tersebut sah secara hukum dan halal secara agama, tetapi sama sekali tidak mencerminkan keadilan. Artinya, lanjut Jimly, sesuatu yang halal dan sah secara hukum belum tentu baik dan berkeadilan. “Jika hukum tidak mencerminkan keadilan, maka yang ditegakkan oleh para penegak hukum sehari-hari bukanlah keadilan, tetapi hanya teks-teks formal norma hukum yang tidak berjiwa,” ujarnya.

“Karena itu, marilah kita tegakkan keadilan, bukan sekedar aturan-aturan tekstual dan formal. Dengan keadilan itulah kita buktikan bahwa kita benar-benar bertaqwa kepada Allah,” pungkas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.

Tags:

Berita Terkait