Jimly Serukan Masyarakat “Move On” Pasca Pilpres
Khotbah Idul Adha

Jimly Serukan Masyarakat “Move On” Pasca Pilpres

Pemimpin harus mempersempit jarak kesenjangan di tengah masyarakat.

ALI
Bacaan 2 Menit

Jimly berpesan salah satu hal yang perlu dibenahi adalah ketimpangan di dalam struktur kehidupan masyarakat Indonesia. Yakni, antara si kaya dan si miskin, atau antara yang berkuasa dan yang tidak berkuasa. “Ini tidak boleh dibiarkan terlalu jauh dan timpang. Jangan biarkan pasar bebas di bidang ekonomi maupun politik merajalela menciptakan jarak itu,” tambahnya.

Menurutnya, bila kebebasan sebagai akibat demokrasi dibiarkan tanpa arah dan kendali, maka yang yang rugi justru masyarakat kecil. “Sudah pasti yang paling pandai menikmati dan paling banyak mendapatkan keuntungan akibat kebebasan itu adalah kaum elit, baik ekonomi ataupun politik,” ujarnya.

Jimly menyitir data dari International Labour Organization (ILO) untuk membuktikan adanya kesenjangan di kalangan masyarakat. Bila mengacu ke standar ILO, jarak penghasilan yang adil antara gaji tertinggi dan terendah haruslah di sekitar 1:7. “Jika bawahan terendah berpenghasilah Rp 1 juta, maka penghasilan atasan yang tertinggi tidak boleh lebih dari Rp 7 juta,” ujarnya.

“Di negara-negara maju, gaji pegawai toko jaraknya tidak terlalu jauh dengan gaji senator (anggota parlemen,-red),” sebutnya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di masa awal kemerdekaan dan masa Orde Lama, lanjut Jimly, jarang penghasilan terendah dan tertinggi berkisar 1 berbanding 10-an. Di masa Orde Baru, jurang ketimpangan melebar menjadi 1 berbanding 100-an. Namun, sekarang di era demokrasi yang serba bebas, jarak penghasilan terendah dan yang tertinggi itu meningkat sangat fantastis menjadi 1 berbanding ribuan.

“Tanpa harus menyebut para penganggur, sekarang masih banyak orang yang berpenghasilan hanya Rp 500 ribu per bulan, tetapi pada saat yang sama sudah sangat banyak kaum profesional yang penghasilannya lebih dari Rp 750 juta per bulan,” tuturnya.

Jimly mengatakan penghasilan-pengasilan tersebut sah secara hukum dan halal secara agama, tetapi sama sekali tidak mencerminkan keadilan. Artinya, lanjut Jimly, sesuatu yang halal dan sah secara hukum belum tentu baik dan berkeadilan. “Jika hukum tidak mencerminkan keadilan, maka yang ditegakkan oleh para penegak hukum sehari-hari bukanlah keadilan, tetapi hanya teks-teks formal norma hukum yang tidak berjiwa,” ujarnya.

“Karena itu, marilah kita tegakkan keadilan, bukan sekedar aturan-aturan tekstual dan formal. Dengan keadilan itulah kita buktikan bahwa kita benar-benar bertaqwa kepada Allah,” pungkas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.

Tags:

Berita Terkait