Jimly Sarankan LPSK Lebih Progresif
Berita

Jimly Sarankan LPSK Lebih Progresif

Jangan mengeluh dengan aturan yang ada.

ALI
Bacaan 2 Menit
Eks Ketua MK, Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: SGP
Eks Ketua MK, Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: SGP

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) baru saja merayakan ulang tahunnya yang kelima. Masa bakti ketua dan anggota LPSK generasi pertama akan berakhir, dan segera digantikan oleh anggota yang akan diseleksi DPR. Lalu, apa saran dan komentar untuk lembaga ini ke depan?

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqqie menyarankan LPSK tak kaku ‘membaca’ undang-undang sehingga lembaga ini bisa lebih berperan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Jimly membagi pengalamannya ketika memimpin Mahkamah Konstitusi (MK) di era perdana. Ia mengatakan bila dia mengikuti ketentuan undang-undang secara kaku, maka MK tak mungkin menjadi sebesar sekarang.

“Kita harus pandai-pandai memanfaatkan ketentuan undang-undang yang ada,” ujarnya ketika menjadi keynote speaker di acara ultah LPSK di Jakarta, Senin (2/9).

Dalam pidatonya, Jimly seakan menyindir pimpinan LPSK yang kerap meminta penguatan kelembagaan melalui revisi UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ia mengatakan sebagai lembaga baru, seharusnya LPSK tak langsung meminta perubahan undang-undang.

“Ketika kita pertama kali menjabat, tak perlu langsung meminta perubahan undang-undang. Nanti dikira kita ini menginginkan kekuasaan. Kita jalankan saja yang sudah ada dengan sebaik-baiknya,” tuturnya.

Jimly meminta agar anggota LPSK tak membaca undang-undang hanya secara gramatikal. Ia mengatakan undang-undang itu sebenarnya ‘hidup’ di masyarakat, karenanya membacanya pun harus melihat kondisi yang ada di masyarakat. “Bila ketika kita menjalankan kewenangan ada konflik, ya tak apa. Itu bagian dari perbedaan pendapat,” ujarnya.

Ditemui usai acara, Jimly enggan menyebut secara spesifik bagian mana yang perlu dijalankan oleh LPSK secara progresif. Namun, ia menjelaskan dalam membaca undang-undang, para pelaksana bisa menggunakan dua cara, yakni ‘grammatical reading’ dan ‘moral reading of the law’.

“Bila kita membaca undang-undang dengan pililhan moral, maka ada spirit yang kita baca. Jadi, kita tak kaku,” tuturnya.

Jimly menjelaskan dalam sistem peradilan dikenal istilah judicial activism dan judicial restraint. Bila dalam judicial activism digunakan secara progresif, maka judicial restraint dapat diartikan sebagai ‘menahan diri’. “Dua-duanya harus seimbang, tapi tatkala keadaaan membutuhkan apalagi untuk negara yang sedang bergerak ini, judicial activism yang diperlukan,” tuturnya.

“Untuk lembaga yang baru diperlukan spirit yang lebih progresif. Nanti, bila sudah tertib, maka akan cenderung konservatif,” tambahnya.

Jimly mengatakan penafsiran undang-undang secara moral ini sangat diperlukan lembaga negara karena ketika legislator membuat undang-undang, mereka tak pernah membayangkan bagaimana implementasinya nanti. “Kita harus memiliki kreativitas dan mental seperti ini harus ada di kepemimpinan setiap lembaga,” ujarnya. 

Sebelumnya, dalam acara pembukaan, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengutarakan beberapa titipan kepada para calon anggota LPSK periode selanjutnya yang akan segera diseleksi oleh DPR. Pertama, mengawal terus revisi UU LPSK. “Kami belum tahu kapan akan selesai,” ujarnya.

Kedua, anggota LPSK selanjutnya harus fokus melaksanakan pembangunan gedung LPSK yang biayanya sudah dianggarkan oleh DPR dan Pemerintah. “Kita bisa mencontoh gedung MK yang megah dengan sembilan pilarnya,” ujar Semendawai.

Selanjutnya, ketiga, Semendawai berharap ke depan harus segera dipikirkan pembentukan perwakilan-perwakilan LPSK di daerah. “Penguatan lembaga LPSK di tingkat pusat sudah selesai pada LPSK periode pertama ini,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait