Jimly Asshiddiqie: MK Wajib Teliti Legal Standing Pemohon Uji Materi UU KPK
Berita

Jimly Asshiddiqie: MK Wajib Teliti Legal Standing Pemohon Uji Materi UU KPK

Majelis MK Diminta cermat menilai posisi legal standing para pemohon dalam empat permohonan pengujian UU Perubahan KPK itu.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: RES

Uji materi Revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah menjadi UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saat ini masih disidangkan dengan empat permohonan. Permohonan perkara tersebut diajukan oleh pemohon yang berasal dari unsur advokat, mahasiswa, dan dosen. Keempat permohonan tersebut masing-masing ada yang sudah menggelar sidang pendahuluan, sidang perbaikan permohonan, dan masih menunggu sidang pendahuluan.

 

Keempat permohonan uji materi revisi UU KPK ini mendapatkan perhatian dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie. Pertama, legal standing para pemohon agar diteliti/dicermati lebih jauh oleh hakim konstitusi.

 

Jimly mengingatkan dalam setiap uji materi harus ada penilaian tersendiri oleh MK mengenai legal standing para pemohon. Misalnya, dalam uji materi UU KPK ini banyak pemohon yang berlatar belakang advokat, mahasiswa, dan dosen. “Harus dilihat dilihat di sini motifnya, apa hanya ingin cari popularitas atau tidak. Kalau itu motifnya (mencari popularitas), MK harus menilai dengan sungguh-sungguh mengenai legal standing pemohon ini,” kata Jimly kepada Hukumonline di Jakarta, Jumat (15/11/2019).

 

Kedua, objek yang diajukan menyangkut kewenangan MK atau tidak. Ketiga, pokok perkara menyangkut konstitusionalitas pasal-pasal yang dipersoalkan. Tapi, sebelum memeriksa pokok perkara, menurut Jimly harus selesai dulu legal standing para pemohonnya. “MK harus cermat dan memaparkannya (legal standing, red) dalam putusannya nanti. Kalau tidak memenuhi syarat legal standing, putusannya harus Niet Ontvankeliijke Verklaard (NO)," kata Jimly. 

 

“Ini penting diperketat, khawatir hanya ingin tampil dan mencari popularitas dengan memanfaatkan momentum. Karena persoalan pengujian UU KPK saat ini bukan persoalan keadilan saja, tapi persoalan politik, bisa saja orang yang ingin memanfaatkan masalah nasional."

 

Hingga saat ini, ada empat permohonan yang mengajukan uji materi Perubahan UU KPK. Pertama, Perkara No. 57/PUU-XVII/2019, sekitar 18 mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia merasa dirugikan atas disahkannya Revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Mereka di antaranya adalah Mahasiswa FH Universitas Indonesia (FHUI) Muhammad Raditio Jati Utomo; Mahasiswa FH UKI Deddy Rizaldy Arwin Gommo; Mahasiswa FH Unpad Putrida Sihombing; Mahasiswa FH Universitas Tarumanegara Kexia Goutama; Dkk. (Baca Juga: Mahasiswa Uji Revisi UU KPK, Ini Saran Hakim MK)

 

Kedua, Perkara No. 59/PUU-XVII/2019. Permohonan ini diajukan 25 Advokat dan mahasiwa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah yang bernaung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), di antaranya Heru, Setiyowati, Bachtiar, Netrawati, Yossi Yusnidar Dkk. (Baca Juga: 25 Advokat Perkuat Alasan Uji UU KPK)

 

Ketiga, Perkara No. 62/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan oleh seorang pengacara bernama Gregorius Yonathan Dewikaputra. (Baca juga: Advokat Ini Turut Minta MK Batalkan Perubahan UU KPK)

 

Keempat, Perkara No. 70/PUU-XVII/2019. Mereka adalah Fathul Wahid (Rektor UII), Abdul Jamil (Dekan Fakultas Hukum UII), Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII), Ari Wibowo (Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII), dan Mahrus Ali (Dosen FH UII). (Baca juga: UII Yogyakarta Turut ‘Gugat’ Uji Perubahan UU KPK)

 

Jimly juga mengingatkan hak konstitusional para pemohon yang merasa dirugikan atas berlakunya UU KPK itu harus diuraikan secara jelas, yang sifatnya kerugian secara nyata atau potensi mengalami kerugian. Menurutnya, kerugian potensial itu belum tentu nantinya dirugikan, sehingga perlu dibuktikan secara konstitusional dalam bagian legal standing“Jangan kerugian itu hanya asumsi, tetapi harus dibuktikan." 

 

Misalnya, seperti para advokat yang mengajukan uji materi UU KPK, perlu dijelaskan para advokat itu punya hak konstitusional yang dirugikan atau tidak. "Harus dicek dulu substansi haknya, apakah hak konstitusional para advokat dirugikan saat menjalani profesinya? Apa relevansinya profesi advokat dengan berlakunya UU KPK? Harus detail letak kerugiannya dimana? Hakim Konstitusi harus detail di sini ketika memberikan pertimbangan hukum, sebelum mempertimbangkan substansi (pokok) perkara,” tegasnya.

 

"Jika seorang advokat mengajukan uji materi UU KPK harus dilihat juga sudah pengalaman berapa tahun dia membela kasus tindak pidana korupsi? Kalau daftar advokatnya banyak harus dirinci satu-satu advokat yang memiliki relevansi dan mengalami kerugian konstitusional. Misalnya, ada 60 advokat, tapi boleh jadi hanya 5 advokat yang relevan memiliki legal standing. Itu harus dipertimbangkan dalam putusannya nanti. Jadi, berperkara di MK itu tidak sembarangan, bukan perkara nyambi-nyambi mau cari top,” kata Jimly.

 

Tidak hanya advokat, mahasiswa dan dosen pun demikian. Jimly mengingatkan mahasiswa dan dosen pun harus menguraikan relevansi kerugian konstitusionalnya dengan berlakunya UU KPK yang dimohonkan. “Jika dosen, apakah dia mengalami kesulitan mengajar gara-gara UU KPK berubah, jadi pusing dia? Mahasiswa juga begitu, harus dinilai satu-satu relevansi kerugian hak konstitusionalnya apa. Jadi, jangan semua mesti diterima (legal standing-nya). Ini harus diselesaikan dalam sidang pendahuluan,” kata dia.

 

Demikian pula, kata Jimly, ketika pemohon mendalilkan dirinya sebagai pembayar pajak dengan bukti pembayaran pajak, tapi tetap harus relevan dengan kerugian konstitusional yang dialaminya secara jelas, sehingga dia mengajukan judicial review.. Menurutnya, alasan pembayar pajak itu masih sangat luas, sehingga kalau status pembayar pajak sering dijadikan alasan memberi legal standing, akan terlalu banyak orang yang mempunyai legal standing dalam setiap pengujian UU. 

 

"Untuk itu, Majelis MK harus cermat menilai posisi legal standing para pemohon dalam empat permohonan pengujian UU Perubahan KPK itu," tegasnya. 

Tags:

Berita Terkait