Jimly: Perlu Ada Aturan Etika Penyelenggara Negara
Berita

Jimly: Perlu Ada Aturan Etika Penyelenggara Negara

Salah satu yang diatur adanya klausul mengenai larangan konflik kepentingan.

ANT
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai, perlu ada pengaturan etika profesi bagi pejabat dan penyelenggara negara di Indonesia. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi lagi seperti kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden.

"Jangan dibiarkan masalah etika ini diselesaikan dengan rumit menggunakan logika hukum. Dia lebih cepat, lebih sederhana sehingga tidak merusak citra institusinya," kata Jimly usai pembukaan Election Visit Program for Head of Regional Election 2015 di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (8/12).

Ia menilai wajar kemarahan Presiden Joko Widodo dalam persoalan pencatutan yang terbongkar dari rekaman percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha M Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Menurutnya, persoalan itu sangat serius karena mempertaruhkan nama baik dan integritas bangsa.

"Ke depan harus dipikirkan adanya larangan konflik kepentingan," kata Jimly yang saat ini menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Dia juga menilai kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan warning untuk Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam menangani kasus ini. Walaupun ia sadar, MKD memiliki kemandirian sendiri untuk keputusannya. Jika persoalan ini berlarut-larut, maka berpotensi mengganggu hubungan antara eksekutif dan legislatif.

"Sebagai pribadi, presiden dan wapres tentu tersinggung. Mungkin ini akan mengganggu personal eksekutif dan legislatif seterusnya. Tapi kebiasaan mundur kita kan tidak ada," katanya.

Jimly meminta masyarakat Indonesia untuk menunggu keputusan MKD terkait persoalan ini. Sedangkan untuk persidangan MKD yang dilaksanakan tertutup saat menghadirkan ketua DPR Setya Novanto sebagai terlapor kemarin, menurutnya, tidak perlu dipersoalkan.

"Bisa saja sidangnya tertutup atau terbuka karena memang dasarnya sidangnya tertutup tapi untuk beberapa hal dibuat terbuka. Mungkin mereka memiliki pertimbangan," tambahnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengeluarkan seluruh uneg-uneg-nya di hadapan wartawan. Intinya, Jokowi tidak akan mempermasalahkan jika disebut sebagai presiden gila, presiden saraf, hingga presiden keras kepala. "Saya enggak apa-apa dikatain presiden gila, presiden sarap, presiden koppig. Enggak apa-apa," katanya.

Namun, jika dicatut namanya, Jokowi menilai hal itu sudah menginjak-injak harkat dan martabatnya sebagai presiden.Dengan nada suara bergetar dan tangan gemetar menahan amarah, hal itu diutarakan Jokowi saat jumpa pers mendadak terkait Pilkada Serentak.

"Tapi kalau sudah menyangkut wibawa mencatut meminta saham 11 persen itu saya enggak mau! Enggak bisa!" katanya.

Jokowi sendiri menghormati proses yang sedang berjalan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Atas dasar itu, pihak-pihak lain juga wajib menghormati lembaga negara, apalagi lembaga kepresidenan."Tapi, tapi tidak boleh yang namanya lembaga negara itu dipermainkan. Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga negara lain," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait