Jimly: Penegakan Etik Lemah, Kriminalisasi Profesi Marak
Berita

Jimly: Penegakan Etik Lemah, Kriminalisasi Profesi Marak

Diwacanakan pembentukan UU Etika Profesi dan Bernegara.

ALI/RZK
Bacaan 2 Menit
Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Ribuan dokter di Indonesia meradang. Mereka protes terhadap jerat hukum yang dijatuhkan ke rekan seprofesi mereka, dokter Ayu dkk yang diduga melakukan malpraktik. Salah satu bentuk protesnya adalah dengan mogok kerja. Entah berhubungan atau tidak, akhirnya majelis peninjauan kembali (PK) MA memvonis bebas dokter Ayu dkk.

Itu adalah satu dari sekian banyak contoh kriminalisasi terhadap suatu profesi. Lalu, apa penyebab hal tersebut?

Guru Besar Hukum Tata Negara UI Jimly Asshiddiqie mengatakan banyaknya kriminalisasi profesi tertentu disebabkan penegakan kode etik di profesi itu yang belum berjalan efektif.

“Malpraktik kedokteran itu banyak sekali, tapi tak satu pun yang dihukum (oleh majelis etik profesi,-red). Makanya, muncul kriminalisasi profesi,” jelas pria yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini di Jakarta, Kamis (20/3).

Jimly yang kini aktif mendorong peradilan etik di Indonesia mengatakan semua undang-undang yang mengatur profesi tertentu kini mempunyai kecenderungan yang sama, yakni memberi ancaman sanksi pidana. “Kenapa banyak muncul seperti itu? Karena konsumen tak terlindungi. Seandainya penegakan etika berjalan, tak perlu ada kriminalisasi,” jelasnya.

“Konsumen itu butuh perlindungan,” tambahnya lagi.

Jimly menuturkan tak hanya para dokter yang takut dikriminalisasi, para notaris juga berpandangan sama. “Notaris itu juga sering protes ke saya karena ada aturan kriminalisasi di undang-undang mereka,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Jimly menyatakan bahwa penegakan hukum saja semakin terasa tidak efektif untuk mengkontrol dan membimbing manusia. “Biarpun ada sanksinya. Yang terberat itu mati. Tapi, kini semua mempermasalahkan. Semua negara punya masalah over capacity penjara. Di Indonesia juga,” tambahnya.

“Lalu, orang setelah masuk penjara apakah tobat? Rata-rata mereka keluar dengan dendam. Tujuan pemidanaan tak tercapai,” ujarnya.

Jimly menegaskan bahwa hukum tak hanya harus diperbaiki dengan spirit keadilan, tetapi juga harus ditunjang dengan penegakan etika. Ia mengatakan perlunya membangun sistem etika bernegara. “UUD 1945 itu bukan hanya bicara hukum, tetapi juga etika,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Lebih lanjut, Jimly menilai bahwa hukum dan etika bisa sama-sama saling melengkapi. Ia mencontohkan dalam kasus Andi Mallarangeng yang menjadi terdakwa korupsi. “Kalau dia tak mengundurkan diri sebagai Menpora, bisa dibayangkan institusi itu seperti apa? Kalau dari segi hukum memang ada praduga tak bersalah,” tambahnya. 

Karenanya, ia mengaku sudah menyampaikan konsep ini di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa waktu lalu. Salah satu usulan konkretnya adalah Rancangan Undang-Undang tentang Etika Profesi dan Bernegara. “RUU itu sudah masuk di Baleg,” pungkasnya.

Dua Hal Berbeda
Pengajar mata kuliah Tanggung Jawab Profesi FHUI, Junaedi berpendapat penegakan hukum pidana dan penegakan etik adalah dua hal yang berbeda. Seseorang yang lakukan tindak pidana ketika menjalankan profesinya, menurut dia, tetap dapat dihukum oleh peradilan profesi sekaligus peradilan profesi, jika memang terbukti bersalah.

Sebagai contoh, Junaedi mengilustrasikan sebuah insiden kapal laut tenggelam yang mengakibatkan penumpangnya meninggal dunia. Kasus seperti ini dapat diadili di Mahkamah Pelayaran sekaligus peradilan pidana. “Hal sama juga berlaku untuk profesi lain seperti hakim, polisi, atau dokter, tetapi peradilan profesi bukan sebagai langkah melindungi korps.”

Junaedi sendiri mengaku tidak setuju dengan pemakaian kata kriminalisasi. Menurut dia, kriminalisasi harusnya dimaknai “menjadi suatu perbuatan yang awalnya tidak dikualifikasi sebagai tindak pidana menjadi tindak pidana”. Selama ini, ada kesan pemakaian kata “kriminalisasi” bertujuan mengaburkan proses etik dengan proses pidana.

Mengomentari wacana yang dilontarkan Jimly tentang pembentukan UU tentang Etika Profesi dan Bernegara, Junaedi tegas menyatakan tidak setuju. Dia berpendapat aturan etika profesi seharusnya diurus secara internal oleh profesi itu sendiri, tidak perlu ada campur tangan negara. 
Tags: