Jimly: Pakta Integritas Pemilu Siap Menang-Kalah, Itu Bohong
Berita

Jimly: Pakta Integritas Pemilu Siap Menang-Kalah, Itu Bohong

Banyak laporan ‘asal-asalan’.

ALI
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dalam Seminar IKAHI. Foto: RES
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dalam Seminar IKAHI. Foto: RES
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa banyaknya laporan ‘asal-asalan’ ke DKPP membuat dirinya meragukan pakta integritas yang ditandatangani menjelang pemilu (dan pemilukada).

“Banyak yang asal lapor setelah mereka kalah. Ini bukti budaya kita. Jadi, pakta integritas siap menang-kalah oleh para peserta pemilukada, bohong semua itu,” ujar mantan Ketua MK ini di seminar Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) di Jakarta, Kamis (20/3).

Lebih lanjut, Jimly mengutarakan banyak cara yang bisa dilakukan peserta pemilukada yang tak siap dengan kekalahan. Yakni, menggunakan langkah hukum yang ada, seperti mengajukan sengketa ke MK atau melaporkan penyelenggara pemilu ke DKPP.

Ia menjelaskan dalam 20 bulan ini, ada 350 laporan yang tak berdasar. Akibatnya, DKPP harus merehabilitasi para terlapor dalam laporan-laporan itu. “Itu karena mereka nggak siap kalah. Lalu, melaporkan (menyalahkan) penyelenggara pemilu. Jangankan kalah, menang saja mereka nggak siap,” tambahnya.

Jumlah itu lebih banyak dari laporan yang dikabulkan oleh DKPP. Jimly menjelaskan ada 125 penyelenggara pemilu yang diberhentikan dan ada 120 yang diberi peringatan.

Pada sesi yang berbeda, Pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Refly Harun mengatakan mentalias hanya siap menang tetapi tidak siap kalah, kecurangan dan pelanggaran masih mewarnai pemilu-pemilu di Indonesia. “Itulah sebabnya dibutuhkan suatu sistem penanganan masalah-masalah pemilu yang solid, termasuk penangangan perselisihan hasil pemilu,” jelasnya.

Melonjaknya perkara di MK bisa menjadi contoh bahwa masih banyak peserta pemilu yang tak siap kalah. Pada Pemilu 2004, lanjut Refly, MK telah menerima 273 perkara perselisihan hasil pemilu baik dari parpol (252 kasus) maupun dari perseorangan calon anggota DPD (21 kasus).

“Semuanya di sidang ke dalam 44 permohonan (23 permohonan parpol dan 21 permohonan calon anggota DPD. Satu-satunya parpol yang tidak mengajukan perkara hanyalah Partai Nahdlatul Ummah Indonesia (PNUI),” ujarnya.

Jumlah tersebut bukannya berkurang, tetapi malah melonjak ketika MK menangani perkara perselisihan hasil pemilu 2009, menjadi 627 kasus yang dibundel ke dalam 42 permohonan. Ia menilai melonjaknya jumlah perkara ini karena sebagian disebabkan perubahan cara penetapan calon terpilih, dari persyaratan memenuhi 100 persen Bilangan Pembagi Pemilih atau kuota untuk mendapatkan kursi di suatu daerah pemilihan menjadi sistem suara terbanyak.

“Di masa depan bila penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak tetap diterapkan, potensi perselisihan hasil pemilu di MK akan tetap banyak karena satu suara saja berbeda maka seorang calon anggota legislatif akan kehilangan kursi,” jelasnya.

Karenanya, Refly merekomendasikan agar makna “hasil pemilu” diperluas untuk memberikan keadilan baik bagi peserta pemilu (parpol dan perseorangan anggota DPD) maupun para calon anggota legislatif. 
Tags:

Berita Terkait