Jimly: Omnibus Law Pertama Semestinya RUU Pemindahan Ibukota Negara
Berita

Jimly: Omnibus Law Pertama Semestinya RUU Pemindahan Ibukota Negara

Yang pasti, rencana pemerintah ingin memindahkan ibukota negara berimplikasi akan mengubah banyak UU kelembagaan/komisi negara sebagai landasan hukum untuk memulai langkah konstitusional.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Yang pasti, kata dia, rencana pemerintah ingin memindahkan ibukota negara berimplikasi akan mengubah banyak UU kelembagaan/komisi negara sebagai landasan hukum untuk memulai langkah konstitusional. Dia menilai tanpa UU yang menentukan pemindahan ibukota negara secara bertahap berdampak terhadap penetapan anggaran belanja pembangunan setiap tahunnya melalui APBN tak dapat dilakukan.

 

“Sebab pemindahan ibukota memerlukan persetujuan bersama antara presiden dan DPR, serta memperhatikan pertimbangan dan pendapat DPD sebagai lembaga perwakilan kepentingan  daerah seluruh Indonesia,” tegasnya. (Baca juga: Jimly: Omnibus Law Mestinya untuk Penataan Regulasi Menyeluruh)

 

Sebelumnya, Jimly Assidiqie telah mengusulkan seyogyanya pembentukan omnibus law diarahkan yang lebih luas, menyeluruh, dan terpadu dalam rangka penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Sebab, selama ini seringkali antar UU dan produk hukum lain (di bawahnya) mengatur materi muatan yang serupa/sama (tumpang tindih pengaturan). Hal ini menyebabkan ketidakterpaduan yang ujungnya menyulitkan penerapan di lapangan.

 

Dia memberi contoh sejumlah UU yang memiliki keterkaitan. Seperti, UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu; UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU (UU Pilkada). Keduanya memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan banyak UU lain. Misalnya, UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik; UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK; UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN; UU No.16 Tahun 2017 tentang Ormas; dan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

 

“Sejumlah UU itu ada irisan yang dapat diatur secara terpadu melalui pendekatan omnibus law. Sejumlah UU yang saling terkait itu dapat dikodifikasi secara ‘administratif’ menjadi satu kesatuan Kitab Undang-Undang Hukum Pemilihan Umum,” saran dia saat dimintai pandangannya oleh Baleg DPR beberapa waktu lalu.

 

Dia juga menilai pembentukan RUU omnibus law dapat dilakukan tanpa harus merevisi UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurutnya, pembentukan omnibus law bisa dilakukan sepanjang materinya tetap berpedoman pada tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan kebiasaan dalam praktik. Baginya, pedoman penyusunan peraturan hanya bersifat memandu dan tak perlu dipahami secara kaku.

 

“Pedoman disusun hanya berdasarkan praktik yang dilakukan selama ini, sehingga format dan proses perancangannya mengikuti kebiasaan yang ada. Tentu pedoman ini dapat saja diterobos. Sehingga, terbentuknya konvensi dan kebiasaan ketatanegaraan baru (new constitutional convention dan constitutional habbit) sebagai dasar dalam praktik berikutnya.”

 

Namun begitu, kata Jimly, idealnya omnibus law perlu merevisi UU 15/2019 yang eksplisit termuat dalam UU Pembentukan Peraturan ini. Namun tanpa merevisi pun, pembentukan omnibus law sudah dapat dilakukan pemerintah. “Idealnya memang sebaiknya demikian (revisi, red),” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait