Jimly: Nilai Budaya Juga Mesti Mendasari Tatanan Hukum Indonesia
Berita

Jimly: Nilai Budaya Juga Mesti Mendasari Tatanan Hukum Indonesia

Jimly mengajak kalangan akademisi atau cendikiawan untuk mengambil tanggung jawab sebagai jembatan intelektual menghubungkan kebudayaannya sendiri dengan karya-karya ilmiah untuk dijadikan rujukan bagi kebijakan umum.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Prof Jimly Asshiddiqie saat memberi orasi ilmiah berjudul “Kebudayaan Konstitusi dan Pembangunan Masyarakat Hukum Indonesia” dalam serangkaian acara Dies Natalis ke-93 FHUI di Hotel Aryaduta Jakarta, Kamis (9/11) malam. Foto: AID
Prof Jimly Asshiddiqie saat memberi orasi ilmiah berjudul “Kebudayaan Konstitusi dan Pembangunan Masyarakat Hukum Indonesia” dalam serangkaian acara Dies Natalis ke-93 FHUI di Hotel Aryaduta Jakarta, Kamis (9/11) malam. Foto: AID

Selama ini problematika hukum di Indonesia tidak diimbangi dengan nilai kebudayaan masyarakat Indonesia. Sebab, faktanya produk hukum Indonesia sendiri masih banyak mengadopsi hukum barat sebelum Indonesia merdeka hingga saat ini. Untuk itu, yang mesti menjadi perhatian bersama (nilai-nilai) kebudayaan Indonesia mesti jadi acuan dalam upaya memperbaiki dan membangun hukum di Indonesia.   

 

Pandangan ini disampaikan Prof Jimly Asshiddiqie dalam orasi ilmiah berjudul “Kebudayaan Konstitusi dan Pembangunan Masyarakat Hukum Indonesia” dalam serangkaian acara Dies Natalis ke-93 Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di Hotel Aryaduta Jakarta, Kamis (9/11) malam.   

 

Jilmy menegaskan proses pembangunan hukum dan masyarakat hukum di Indonesia harus diiringi cara pandang kebudayaan. Baginya, untuk membangun tatanan hukum di Indonesia bukan hanya terpaku pada constitutional rules dan contitusional structures, tetapi juga kebudayaan konstitusi (constitutional cultures). Untuk itu, perumusan dan penyusunan hukum dan konstitusi harus melibatkan kesadaran kebudayaan masyarakatnya.  

 

“Hukum dibangun bukan hanya aturan main dan struktur kelembagaan hukumnya, tetapi juga budaya masyarakatnya. Pada akhirnya, perumusan dan penyusunan hukum dan konstitusi harus melibatkan kesadaraan kebudayaan,” kata dia.

 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) generasi pertama ini melihat saat ini banyak pihak yang menyuarakan semangat anti korupsi, tetapi sebenarnya hanya retorika. Sebab, kelakuannya belum mencerminkan anti korupsi. Ironisnya, saat ini hukum kerap menjadi alat kekuasaan dan ekonomi. “Jika ekonomi sudah berkolaborasi dengan politik? Haduuh, hukum sudah menjadi alat kekuasaan. Maka diperlukannya budaya berkonstitusi,” tegas dia. .

 

Dia menerangkan dalam hukum tata negara modern, kebudayaan jarang sekali dijadikan sandaran berkonstitusi di belahan dunia manapun. Hingga akhir abad ke-20 pasca kolapsnya komunisme, barulah banyak orang yang membicarakan mengenai aspek-aspek kebudayaan.

 

“Membaca hukum dan konstitusi juga jangan hanya melihat bentuk formal dan formulasi tekstualnya saja. Tetapi, juga kontekstual eksternal (budaya) yang mempengaruhi perumusannya,” kata dia.

 

Karena itu, menurut Guru Besar FHUI ini idealnya perumusan teks-teks konstitusi hendaklah dilakukan dengan kesadaran kebudayaan dan membaca teks-teks konstitusi juga tidak hanya secara (grammatical reading), tetapi juga dengan pembacaan (nilai) kebudayaan (cultural reading).

 

Dia  mencontohkan konstitusi di Inggris tidak memiliki dokumen atau naskah konstitusi yang bersifat tertulis. Namun, sistem pemerintahan di Inggris menyebutnya monarki konstitusional dan negara berkonstitusi. Sama halnya di Thailand sebagai negara yang berkonstitusi.

 

“Konstitusi memang bisa dirubah setiap waktu, tetapi budaya konstitusinya tidak mengalami perubahan, seperti di Thailand. (Makanya) Di Thailand setiap tahun konstitusinya berubah,” kata dia.    

 

Tak kalah penting, bagi Jimly agar gejala importasi dan tranplantasi ide-ide dan nilai konstitusi asing masuk dalam sistem hukum Indonesia perlu ada perspektif baru mengenai hukum tata negara. Karenanya, dia membedakan tiga hal pokok yakni sistem aturan konstitusi (constitutional rules), kelembagaan konstitusi (constitutional structure) dan budaya konstitusi (constitutional culture).

 

“Jangan hanya rules dan structure-nya yang diperhatikan, tetapi persoalan budaya konstitusinya. Sebab, budayalah cermin dalam aturan main bernegara dan budaya juga sesungguhnya membentuk perilaku para individu manusia dalam mempengaruhi sistem institusi bernegaran dan pemerintahan dalam praktik kenyataan,” tegasnya.

 

Dia mengingatkan jangan sampai perguruan tinggi hanya menjadi agen ide-ide tentang kebijakan bernegara yang dituangkan dalam bentuk hukum dan konstitusi. Padahal, ide-ide itu hanya hasil importasi, imitasi, dan transplantasi dari negara lain yang tidak mengenal budaya konstitusi Indonesia sendiri.

 

“Kalangan cerdik cendikia dan para ilmuwan perguruan tinggi harus mengambil tanggung jawab sebagai jembatan intelektual menghubungkan kebudayaannya sendiri dengan karya-karya ilmiah untuk dijadikan rujukan bagi kebijakan umum,” ajaknya.

 

Karena itu, Jimly berpesan memasuki 93 tahun, FHUI dapat melakukan perubahan fundamental cara pandang keilmuan mengenai kebudayaan hukum dan kebudayaan konstitusinya. “Perubahan dalam sistem pendidikan hukum, bukan hanya kurikulumnya tetapi proses belajar mengajar dan sistem penunjangnya,” harapnya.

 

Dalam kesempatan ini, terdapat pemberian Award terhadap alumni FHUI yang telah memiliki kontribusi bagi negara. Award ini dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni award pengabdi negara, sosial-politik, dan Lifetime Achievement. Award pengabdi negara diberikan kepada Ahmad Santosa, Muhammad Yusuf, Diani Sadiawati, Yunus Hussein. Award sosial-politik diberikan kepada Arief T Surowidjojo, Surya Tjandra.

 

Sedangkan, penghargaan kategori Lifetime Achievement, diberikan kepada Prof Mardjono Reksodiputro, Prof Erman Radjagukguk, Prof Valerine Kriekhoff, Prof A. Zen Umar Purba, AB Kusuma. Mereka dinilai telah menghasilkan karya ilmiah berskala nasional atau bahkan internasional yang berdampak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tags:

Berita Terkait