Jimly: Hukum itu Panglima, Tetapi Bukan Segalanya
Berita

Jimly: Hukum itu Panglima, Tetapi Bukan Segalanya

Saatnya beralih ke sistem etika.

ALI
Bacaan 2 Menit
Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: SGP
Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: SGP

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie mengkritik kebanyakan sarjana hukum yang hanya terpaku dengan hukum sehingga kerap menimbulkan masalah di masyarakat.

“Banyak yang hanya terpaku pada hukum. Hukum itu panglima, iya. Tapi, zaman sudah banyak sekali berubah. Hukum harus dievaluasi. Tak semua masalah hidup ini diselesaikan dengan hukum, tok,” ujarnya ketika memberi sambutan ulang tahun LPSK yang kelima di Jakarta, Senin (2/9).

Jimly mencontohkan semakin banyak orang yang mengandalkan sanksi pidana justru menimbulkan masalah besar. “Ternyata sanksi penjara itu membebani. Hampir semua penjara di seluruh dunia penuh. Kita (Indonesia,-red) kebangetan penuh,” tuturnya.

Di lembaga pemasyarakatan Indonesia, lanjut Jimly, ada narapidana yang harus bergantian tidur karena tak cukupnya ruangan bagi para napi. Satu rombongan narapidana tak bisa tidur siang, hanya tidur malam, sedangkan rombongan narapidana lainnya sebaliknya.

Jimly menuturkan bahwa sudah banyak penelitian yang menyatakan hukum semakin tumpul menyelesaikan permasalahan di masyarakat. “Banyak penelitian yang menyebut penjara sebagai school of criminals. Tempat para kriminal belajar motif baru ke penjahat yang lebih senior,” jelasnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, Indonesia memang masih terus menghadapi masalah over kapasitas narapidana di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Baru-baru ini, jajaran Dirjen Pemasyarakatan (Ditjenpas) dan sekira 60 Kepala Lapas ‘mencurahkan hati’ mereka ke Komisi III DPR. Mereka mengeluhkan mulai dari minimnya anggaran, hingga sedikitnya personel yang bertugas menjaga napi.

Kala itu, Pelaksana Harian Dirjen Lapas Bambang Krisbanu menilai persoalan-persoalan di atas yang menjadi sebab terjadinya semakin maraknya kerusuhan-kerusuhan narapidana di lapas.

Lebih lanjut, Jimly menjelaskan bahwa alih-alih selalu mengandalkan hukum, Indonesia harus mulai mengembangkan sistem etika untuk menyelesaikan masalah. “Dimana-mana sudah mulai berkembang praktik baru, yakni sistem etika,” ujarnya.

Sebenarnya, lanjut Jimly, negara ini sudah mulai mengembangkan sistem etika dengan membentuk banyak badan penegak etika. Misalnya, Badan Kehormatan DPR hingga Komisi Yudisial yang posisinya ditegaskan dalam konstitusi. Sayangnya, badan-badan ini kurang dimanfaatkan untuk permasalahan yang ada di masyarakat.

“Jawabannya jelas. Kita dihadapkan pada kenyataan, bahwa hukum itu memang penting, tapi bukan segala-galanya. Kalau hukum hanya prosedural, maka niscaya kurang bermutulah kita,” tuturnya.

Jimly mengatakan di banyak negara sistem rule of law dilengkapi dengan rule of ethics. Bahkan, lanjutnya, TAP MPR yang mengatur Etika Kehidupan Berbangsa masih berlaku hingga saat ini, sayangnya hal tersebut kerap dilupakan.

Karenanya, Jimly yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengaku sedang mempelopori pengadilan etika. “Dimana-mana penegak etika itu belum dikonstruksikan sebagai pengadilan. Ini yang pertama,” ujarnya.

Jimly tak berkecil hati bila pengadilan etika ini belum dianut oleh negara-negara lain. “Ya, tidak apa-apa. Mereka harus tiru kita. Sistem etika kan sekarang jadi perbincangan dimana-mana. Ini adalah zamannya dimana kita perlakukan sistem etika ditopang dengan infrastruktur yang menegakan,” tuturnya.

Tags: