Jimly: Ada Dua Tipe Perppu dalam Perspektif Konstitusi
Berita

Jimly: Ada Dua Tipe Perppu dalam Perspektif Konstitusi

Jimly menyarankan menghadapi ancaman bahaya pandemi Covid-19 sudah seharusnya pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden tentang Keadaan Bahaya Covid-19. Lalu, menerbitkan Perppu tentang Keadaan Bahaya sebagai penjabaran Pasal 12 UUD Tahun 1945.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Prof Jimly saat memberi Kuliah Umum berjudul 'Perkembangan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia' secara daring, Kamis (30/4). Foto: AID
Prof Jimly saat memberi Kuliah Umum berjudul 'Perkembangan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia' secara daring, Kamis (30/4). Foto: AID

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Jimly Asshiddiqie berpendapat sebenarnya terdapat dua tipe/jenis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam UUD Tahun 1945. Selama ini masyarakat umumnya termasuk para sarjana hukum menganggap hanya ada satu tipe Perppu yang diterbitkan Presiden dalam kegentingan yang memaksa.   

 

“Banyak orang yang salah mengerti mengenai hakikat Perppu dan gagal memahami perbedaan antara dua tipe Perppu dalam konstitusi. Ini perlu diketahui karena saat ini Indonesia (de facto, red) dalam keadaan darurat karena wabah pandemi Covid-19,” kata Jimly saat memberi Kuliah Umum berjudul “Perkembangan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia” secara daring yang diselenggarakan FHUI, Kamis (30/4/2020) kemarin.    

 

Dua jenis Perppu yang dimaksud Jimly. Pertama, Perppu sebagai undang-undang biasa (negara dalam keadaan normal) yang bersifat sementara karena adanya kegentingan yang memaksa dan belum mendapat persetujuan DPR berdasarkan Pasal 22 UUD Tahun 1945. Kedua, Perppu dalam kondisi negara dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya berdasarkan Pasal 12 jo Pasal 22 UUD Tahun 1945.

 

Pasal 12 UUD 1945

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 22 UUD 1945


(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.  

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

 

Perppu tipe pertama, Jimly menjelaskan terbitnya Perppu umumnya diniatkan berlaku permanen sebagai UU biasa. Perppu ini biasanya berisi kebijakan-kebijakan penting untuk segera dituangkan dalam bentuk UU. Tetapi, karena ada kegentingan yang memaksa, tidak tersedia cukup waktu untuk mengajukan, membahas, dan mendapat persetujuan bersama dengan DPR menjadi UU.

 

Perppu tipe kedua, kata Jimly, tidak dimaksudkan untuk berlaku permanen, tetapi hanya untuk sementara waktu selama keadaan darurat/bahaya. Perppu tipe kedua ini diterapkan sebagai sarana pemberlakuan negara dalam keadaan darurat sekaligus kebijakan hukum khusus untuk mengatasi dan menanggulangi masalah-masalah yang timbul dalam keadaan bahaya/darurat serta untuk memulihkan keadaan kembali normal.  

 

Jimly menerangkan pengaturan pencabutan atau berakhirnya keadaan darurat/bahaya ini disertai pengaturan segala akibat hukum setelah keadaan darurat dinyatakan berakhir dalam ketentuan peralihan atau penutup. Sebagai produk hukum sementara dalam keadaan darurat, tindakan pemerintah dapat menangguhkan atau mengesampingkan berbagai ketentuan UU lain. Bahkan, mengesampingkan pasal-pasal hak asasi manusia (HAM) dan lainnya yang dijamin UUD 1945.

 

“Berbeda dengan Perppu tipe pertama yang sama sekali tidak dapat mengesampingkan atau menangguhkan berlakunya UU lain atau ketentuan UUD 1945 karena hakikatnya Perppu tipe pertama adalah UU biasa yang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya. (Baca Juga: Pandangan Jimly Terkait Perppu Penanganan Covid-19)

 

Menurutnya, berkembangnya kedua tipe Perppu ini sesuai kebutuhan di masing-masing negara. Praktik di Amerika Serikat pun demikian yang mengenal ada dua tipe Perppu semacam ini. “Sampai sekarang diakui ada dua macam Perppu, yang satu dalam keadaan darurat dan yang lain bukan dalam keadaan darurat, tapi cara pembentukannya berdasarkan kegentingan yang memaksa seperti praktik di Indonesia,” terangnya.

 

Dalam praktik Perppu tipe kedua, pemberlakukan keadaan darurat dengan kebijakan khusus ini harus lebih dulu dideklarasikan Presiden bahwa negara dalam keadaan darurat atau bahaya sesuai Pasal 12 UUD Tahun 1945. Karena itu, penerapan Perppu tipe kedua ini dilakukan dengan didahului atau bersamaan dengan Keputusan Presiden tentang perubahan dari keadaan normal ke keadaan darurat sesuai (Perppu) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dan Pasal 12 UUD Tahun 1945.  

 

“Selain Keppres dan Perppu, bisa dengan Instruksi Presiden (Inpres) yang lebih operasioal memandu pelaksanaan lembaga-lembaga pelaksana di lapangan,” ujar mantan Ketua MK ini.   

 

Dengan demikian, ada tiga jenis produk hukum yang ditetapkan sekaligus saat bersamaan atau hampir bersamaan. Pertama, Keppres deklarasi keadaan darurat. Kedua, Perppu berisi kebijakan sementara yang dapat menangguhkan berlakunya berbagai UU dan UUD Tahun 1945. Ketiga, Inpres memandu operasional arahan teknis bagi lembaga atau instansi pelaksana baik tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota seluruh Indonesia.

 

Untuk itu, Jimly menyarankan menghadapi ancaman bahaya pandemi Covid-19 sudah seharusnya pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden tentang Keadaan Bahaya Covid-19. Lalu, menerbitkan Perppu tentang Keadaan Bahaya sebagai penjabaran Pasal 12 UUD Tahun 1945 yang nantinya dimaksudkan mengubah atau menggantikan Perppu No. 23 Tahun 1959.  

 

Selanjutnya, menerbitkan Perppu tentang Penanggulangan Bahaya Covid-19 Tahun 2020 yang berisi kebijakan-kebijakan khusus yang bersifat sementara dan bisa menyimpangi berbagai ketentuan UU yang berlaku untuk mengatasi keadaan darurat hingga keadaan kembali normal.

 

“Bisa ditambah dengan Inpres tentang Upaya Penanggulangan Bahaya Covid-19 yang berisi kebijakan dan langkah teknis operasional penanggulangan keadaan bahaya Covid-19 oleh seluruh jajaran organ pemerintahan pusat dan daerah di seluruh Indonesia.”

Tags:

Berita Terkait