Jika Tetap Berlanjut, Pelaksanaan Pilkada Potensi Langgar Tiga Hak Ini!
Utama

Jika Tetap Berlanjut, Pelaksanaan Pilkada Potensi Langgar Tiga Hak Ini!

Hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak rasa aman yang dijamin UUD 1945, UU HAM, dan UU Kesehatan. Komnas HAM dan ELSAM meminta agar pelaksanaan tahapan pilkada ditunda.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta KPU, Pemerintah dan DPR untuk melakukan penundaan tahapan Pilkada Serentak 2020 sampai situasi kondisi penyebaran Covid-19 berakhir. Atau minimal mampu dikendalikan berdasarkan data epidemologi yang dipercaya. Hal ini mengingat semakin meningkatnya kasus positif Covid-19 yang sudah mengkhawatirkan di Tanah Air.      

“Seluruh proses/tahapan pilkada yang telah berjalan tetap dinyatakan sah dan berlaku untuk memberi jaminan kepastian hukum bagi para peserta pilkada,” ujar Komisioner Komnas HAM Hairansyah dalam keterangannya, Senin (14/9/2020). (Baca Juga: Diingatkan! Potensi Klaster Baru Covid-19 dalam Pendaftaran Pilkada)

Seperti diketahui, Pilkada Serentak Tahun 2020 diikuti oleh 270 daerah yang rinciannya untuk 9 provinsi, 224 tingkat kabupaten, dan 37 tingkat kota di Indonesia. Tahapan demi tahapan pemilu telah dilaksanakan dan saat ini telah memasuki tahap pendaftaran dan verifikasi pasangan calon.

Selanjutnya tahapan yang paling krusial yaitu penetapan calon yang diikuti deklarasi calon pilkada damai; masa kampanye; pemungutan dan penghitungan suara; dan penetapan calon terpilih yang potensi melibatkan banyak massa. Sisi lain kondisi penyebaran Covid-19 belum dapat dikendalikan dan mengalami trend terus meningkat terutama di hampir semua wilayah penyelenggaraan pilkada.

Hairansyah mengatakan mengutip data Rekap Pendaftaran Pasangan Calon pada 4-6 September 2020 yang dikeluarkan KPU RI, terdapat 728 Bakal Pasangan Calon (Bapaslon) sudah terdaftar dan telah diterima. Sebanyak 60 bapaslon diantaranya terkonfirmasi positif Covid-19. Demikian pula halnya jumlah penyelenggara yang terkonfirmasi positif terus meningkat.

Diantaranya Anggota KPU RI, para petugas KPU, dan Bawaslu yang bertugas di lapangan. Bahkan Bawaslu menjadi klaster di Boyolali, karena 70 Pengawas Pemilu Positif Covid-19. Begitupun dengan petugas RT/RW yang membantu PPS dalam pemuktahiran data pemilih (PPDP) saat melakukan tes rapid, hasilnya reaktif. Hal ini sangat berpengaruh dalam pelaksanaan pilkada karena kesehatan dan keselamatan penyelenggara, paslon, dan pemilih dipertaruhkan.

Menurutnya, hal ini menunjukkan klaster baru dalam pilkada benar adanya. Hal ini disebabkan pelaksanaan protokol kesehatan yang diwajibkan dalam setiap tahapan belum diterapkan secara maksimal dan banyak terjadi pelanggaran. Hingga saat ini, Bawaslu mencatat 243 dugaan pelanggaran protokol kesehatan dalam proses pendaftaran bapaslon kepala daerah.

Dalam Pasal 201 A Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Pilkada mengatur Penundaan Pemungutan Suara. Misalnya, Pasal 201 ayat (6) menyatakan “Pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud ditunda karena terjadi bencana nonalam (Keppres No. 11 Tahun 2020) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1).” Pasal 201 ayat (3) menyatakan “dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 A.

Pasal 120 (1) berbunyi: Dalam hal pada sebagian wilayah Pemilihan, seluruh wilayah Pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan.

“Dengan belum terkendalinya penyebaran Covid-19, bahkan jauh dari kata berakhir, maka penundaan tahapan pilkada memiliki landasan yuridis yang kuat,” lanjutnya.  

Bila tetap melaksanakan tahapan selanjutnya, dikhawatirkan semakin tidak terkendalinya penyebaran Covid-19 yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Pertama, hak untuk hidup (right to life), apabila tetap dilaksanakan Pilkada Serentak 2020 untuk menjamin hak memilih dan dipilih, justru akan menjadi ancaman terhadap HAM yang bersifat absolut yakni terutama hak untuk hidup.

“Hak untuk hidup ini sebagai hak yang tidak dapat dicabut (nonderogable right) yang dijamin Pasal 28A UUD 1945, Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menegaskan keabsolutannya untuk tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk kondisi darurat,” dalihnya.  

Kedua, hak atas kesehatan, yang merupakan salah satu fundamental right yang mempengaruhi kualitas kehidupan dan perkembangan peradaban bangsa, sehingga tidak dapat diremehkan perlindungan dan pemenuhannya. Pengaturan jaminan hak atas kesehatan ditetapkan Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 12 ayat (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005), dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Secara umum regulasi tersebut mengamanatkan kepada negara melalui pemerintah untuk mengakui dan menjamin hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental.”

Ketiga, hak atas rasa aman, menekankan kewajiban kepada pemerintah untuk memberi jaminan atas perlindungan diri, kehormatan, martabat dan hak miliknya, serta perlindungan dari ancaman terhadap ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 dan Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Karena itu, negara melalui pemerintah dituntut melindungi hak atas rasa aman warga negara terutama untuk wilayah yang menyelenggarakan pilkada. Penundaan ini juga seiring dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh UN tentang Policy Brief on Election Covid-19 bahwa pemilu secara periodik bebas dan adil tetap menjadi suatu hal yang penting. Namun harus lebih memperhatikan kesehatan dan keamanan publik (human security) dengan menimbang pada keadaan darurat yang terjadi saat ini.

Tidak dilarang

Senada, disuarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah penanganan pandemi Covid-19 yang belum maksimal diperkirakan meningkatkan angka penambahan kasus baru di berbagai wilayah Indonesia yang semakin mengancam kesehatan dan keselamatan publik. “Tetap dilaksanakannya Pilkada 2020 juga berpotensi besar mengabaikan dan melanggar hak-hak masyarakat atas kesehatan, hak atas rasa aman, dan hak hidup yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah RI,” ujar Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar, Senin (14/9/2020).

Menurutnya, penundaan pelaksanaan Pilkada 2020 bukan sesuatu yang tidak mungkin dan dilarang. Pasal 120 ayat (1) UU No. 6 tahun 2020 tentang Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang telah memberikan jaminan atas kemungkinan ditundanya pelaksanaan Pilkada 2020.

Untuk itu, ELSAM meminta Presiden bersama-sama dengan DPR RI, dan Komisi Pemilu Umum (KPU) menunda pelaksanaan tahapan Pilkada 2020 hingga situasi penyebaran Covid-19 ini berakhir atau dapat dikendalikan secara signifikan. Presiden memerintahkan kementerian, lembaga-lembaga terkait, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk lebih fokus mengendalikan penyebaran Covid-19 agar memberi rasa aman serta memberikan jaminan hak atas kesehatan bagi warga negara, termasuk menyiapkan dan menyediakan jaminan perlindungan yang layak bagi tenaga kesehatan;

“Komisi Pemilihan dan Badan Pengawas Pemilu merancang strategi terbaik untuk pelaksanaan pilkada yang aman dan menjamin kesehatan dan keselamatan bagi peserta dan penyelenggara pilkada yang ditunda ini,” sarannya.

Sebagai informasi, merujuk data per 13 September 2020 yang dirilis melalui www.covid19.go.id  menyebutkan jumlah warga yang terpapar Covid-19 di Indonesia mencapai 3.636 kasus, sehingga total keseluruhan mencapai 218.382 kasus. Kasus tersebut tersebar di 34 provinsi dan 490 kabupaten/kota. Hal mengkhawatirkan adalah catatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang menyebutkan ada 45 kabupaten/kota yang masuk ke dalam zona merah.

Tags:

Berita Terkait