Jika Suami Lalai Membayar Nafkah Istri dan Anak
Hukum Perkawinan Kontemporer

Jika Suami Lalai Membayar Nafkah Istri dan Anak

Sebelum ada UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, penuntut umum pernah menggunakan Pasal 304 KUHP untuk menjerat suami yang tak beri nafkah.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan perkawinan putus karena kematian, perceraian; atau atas putusan pengadilan. Putusnya perkawinan mengakibatkan beberapa hal. Pertama, ibu dan ayah tetap punya kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak berdasarkan kepentingan anak. Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusan. Kedua, ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Jika ayah tidak dapat memenuhi kewajiban itu, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Ketiga, pengadilan dapat mewajibkan kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.

 

Meskipun ada akibat hukumnya, perceraian tetap menjadi pilihan jika suami istri tak bisa disatukan lagi dalam rumah tangga. Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2017 memperlihatkan perceraian masih mendominasi perkara di lingkungan perdata khusus.

 

Dalam hal terjadi perceraian akibat talak, umumnya suami dibebani kewajiban membayar nafkah istri dan anak-anaknya. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan beberapa kewajiban suami jika terjadi perceraian akibat talak. Pertama, memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul (suami istri belum pernah melakukan hubungan suami istri). Kedua, memberi nafkah, maskan atau kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Ketiga, melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya atau separuh jika qolba al dukhul. Keempat, memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai usia 21 tahun.

 

(Baca juga: Bisakah Menuntut Ayah karena Tidak Memberi Nafkah?)

 

Pertanyaannya, bagaimana kalau suami tak membayar biaya atau tidak menjalankan kewajibannya? Secara normatif, ada dua jalur hukum yang bisa ditempuh. Jalur pertama adalah mengajukan gugatan perdata. Pilihan ini dapat dibaca dari rumusan Pasal 34 UU Perkawinan, yang menyebutkan suami melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sebaliknya, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, jika dicermati, pasal ini sebenarnya mengatur upaya hukum yang bisa ditempuh saat suami isteri masih dalam ikatan rumah tangga.

 

Opsi kedua adalah menempuh upaya hukum pidana, melaporkan mantan suami yang tak membayar kewajiban ke polisi. Jika suami tak membayar nafkah, dan itu menyebabkan perceraian, suami bisa melaporkan suaminya kepada aparat penegak hukum. Sejak kehadiran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), semakin mudah bagi penegak hukum untuk menghukum suami yang tak memenuhi kewajibannya dalam lingkup rumah tangga. Dalam banyak kasus yang sampai ke pengadilan, penuntut umum menggunakan klausula ‘menelantarkan orang lain’ yang disebut dalam Pasal 49 juncto Pasal 9 UU PKDRT untuk menjerat pelaku. Banyak putusan hakim yang menghukum pelaku dengan pasal itu.

 

Berdasarkan aturan di atas, dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak 15 juta rupiah setiap orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1); atau menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) UU PKDRT. Pasal 9 ayat (1) menjelaskan setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Ayat (2) menambahkan penelantaran dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

 

Putusan Mahkamah Agung No. 398 K/Pid.Sus/2015, misalnya, menyatakan terdakwa (S) terbukti bersalah melakukan penelantaran orang lain dalam lingkup rumah tangganya karena meninggalkan istri dan dua anaknya. Pengadilan menetapkan hukuman 4 bulan penjara dengan ketentuan pidana tersebut tak perlu dijalani kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain berdasarkan putusan hakim oleh karena terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dipidana sebelum lewat waktu 8 bulan. Upaya jaksa mengajukan banding dan kasasi tak membuahkan hasil meskipun jaksa mendalilkan hukuman 4 bulan itu tak sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Bagi majelis, kondisi terdakwa memungkinkan ia dibebaskan dari dakwaan.

Tags:

Berita Terkait