Jika Peserta Dominan Perokok, BPJS Kesehatan Bisa Bangkrut
Utama

Jika Peserta Dominan Perokok, BPJS Kesehatan Bisa Bangkrut

Salah satu kebijakan yang perlu ditempuh Pemerintah adalah meratifikasi FCTC.

ADY THEA D.A
Bacaan 2 Menit
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Minimnya kebijakan pemerintah untuk mengendalikan produksi dan peredaran tembakau dinilai dapat mengancam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan lewat BPJS. Menurut peneliti lembaga demografi FEUI, Abdillah Ahsan, konsumsi rokok di Indonesia setiap tahun meningkat. Jika tren konsumsi rokok itu terus naik maka tingkat kesehatan di Indonesia memburuk.

Abdillah mencatat presentase perokok di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Begitu juga dengan lokasi yang dijadikan sebagai tempat untuk merokok yakni di rumah. Ironisnya, hasil survei 2003-2010 terhadap keluarga miskin menunjukkan kebutuhan terhadap rokok menempati urutan kedua setelah beras.

Melihat kondisi itu Abdillah khawatir bantuan yang dikucurkan pemerintah untuk keluarga miskin tidak tepat sasaran. Bantuan uang bisa dialihkan kepala keluarga untuk membeli rokok. Padahal konsumsi rokok mengarah pada perangkap kemiskinan. Selain mengorbankan pemenuhan barang kebutuhan dasar, kebiasaan merokok juga menurunkan kualitas kesehatan. Ujungnya, biaya kesehatan bagi perokok tinggi, dan produktivitas menurun karena perokok sering sakit-sakitan.

Meningkatnya konsumsi rokok berbanding terbalik dengan indikator kesehatan di Indonesia. Abdillah melihat hampir semua indikator kesehatan di Indonesia semakin buruk karena semakin banyak masyarakat yang terjangkit berbagai penyakit, terutama yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok, seperti hipertensi dan stroke.

Meskipun orang yang terkena penyakit menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau Kartu Indonesia Sehat (KIS) tetap saja biaya kesehatan yang dibutuhkan untuk berobat tergolong tinggi. Abdillah yakin sistem SJSN terutama BPJS Kesehatan bisa bankrut jika pesertanya didominasi oleh orang yang sudah terkena resiko (sakit).

Karena itu ia berharap pemerintah tidak terlalu terpaku pada kebijakan yang sifatnya kuratif (mengobati). Kebijakan preventif justru harus diutamakan. “Kalau tidak dibarengi dengan upaya promosi kesehatan maka SJSN bisa jebol,” kata Abdillah dalam diskusi di kantor IDI di Jakarta, Selasa (11/10).

Guna membenahi hal tersebut, Abdillah berpendapat pemerintah bisa memulainya dengan meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Kemudian peningkatan cukai dan harga serta larangan iklan rokok. Dengan begitu diharapkan dapat mengerem laju konsumsi rokok di Indonesia sekaligus menjaga agar SJSN dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.

Anggota Komnas Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, mengapresiasi kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat lewat kartu keluarga sejahtera (KKS), KIP dan KIS. Namun, ia menyayangkan kebijakan itu sifatnya masih kuratif bukan preventif. Padahal, yang sangat dibutuhkan saat ini adalah kebijakan preventif.

Tulus yakin kebijakan kuratif tidak dapat mengatasi persoalan yang ada, malah berpotensi menghamburkan uang negara. KIS misalnya, diperkenalkan padahal sudah ada BPJS Kesehatan. Mestinya, Tulus melanjutkan, pemerintah fokus membenahi program JKN yang digelar BPJS Kesehatan. Tinggal memperbaiki sana sini karena regulasinya sudah ada.

Jika tidak membenahi masalah yang ada di sektor hulu, Tulus yakin kebijakan yang diterbitkan pemerintah tidak akan memberi dampak signifikan. Pemerintah harus mampu mendorong agar masyarakat berperilaku hidup sehat. “Merokok itu bukan saja menyebabkan rakyat jadi tidak sehat, tapi juga tidak sejahtera,” ujarnya.

Untuk itu pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang mendukung pengendalian tembakau. Diantaranya meratifikasi FCTC. Abdillah mencatat hanya ada 9 negara yang belum meratifikasi FCTC, salah satunya Indonesia. Dengan meratifikasi dan menjalankan FCTC diharapkan presentase  merokok di Indonesia turun.
Tags:

Berita Terkait