Jika Mentok, Jalur Berikutnya Lewat Perdata
Soeharto Terkorup

Jika Mentok, Jalur Berikutnya Lewat Perdata

Sebutan koruptor rangking pertama sedunia untuk Soeharto, merupakan cerminan gagalnya pemberantasan korupsi. Meski ada program StAR, efektifitasnya masih dipertanyakan. Para pakar pun mendesak agar menuntaskan lewat jalur perdata.

Mon
Bacaan 2 Menit
Jika Mentok, Jalur Berikutnya Lewat Perdata
Hukumonline

Setelah bernafas legas atas kemenangan melawan Times, mantan Presiden Soeharto kembali harus menelan pil pahit. Mantan penguasa orde baru itu ditetapkan sebagai koruptor nomor wahid sedunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kekayaan yang dicuri Soeharto mencapai AS$15 miliar hingga AS$ 35 miliar. Pernyataan PBB itu mencuat saat peluncuran Stolen Asset Rocovery Inisiative (StAR)

Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita menyatakan hal itu merupakan pukulan bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. "Ini peringatan dari dunia internasional," tegasnya saat dihubungi melalui telfon genggamnya, Kamis (20/9). Hal itu menunjukan bahwa pemerintah belum serius.

Romli menilai program StAR (Stolen Asset Recovery Initiative/ Inisiatif Pengemablian Aset yang Dicuri), kerjasama United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan Bank Dunia (World Bank) ini menjadi tekanan dari dunia internasional agar pemerintah Indonesia lebih serius dalam menegakkan hukum.

Guru besar Universitas Padjdjaran itu mendesak agar kejaksaan harus menyelesaikan proses hukum Soeharto di Indonesia. Kalau proses hukum pidana sudah mentok, kejaksaan harus serius menangani proses hukum perdata hingga tuntas. "Jangan seperti menangani kasus perdata biasa", tegasnya.

Pasalnya, menurut Romli jika kejaksaan tidak berhasil memenangkan kasus perdata, Indonesia kesulitan untuk meminta bantuan dari negara-negara lain untuk menarik aset-aset Suharto. "Menarik aset itu kan harus ditunjukkan dengan bukti hukum," tandasnya. Bukti hukum itu lebih dikuatkan dengan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Romli juga menyayangkan pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang sepertinya kurang tertarik dengan program ini. Menurut Ketua Tim Perumus RUU Pengadilan Tipikor itu, pernyataan itu justru merendahkan komitmen Indonesia dalam memberantas korupsi di mata dunia internasional.

Program Pengembalian Aset

Menanggapi program StAR, Romli menerangkan program itu kerjasama ini bertujuan agar semua negara bisa membantu mengembalikan aset, terlebih setelah UN Convention Againtst Corruption (UNCAC) sudah diratifikasi. "Program ini bukan saja memaksa negara berkembang tetapi juga negara maju untuk membantu," terangnya.

Program ini muncul mengingat biaya untuk menarik aset korupsi itu ternyata jauh lebih besar daripada hasil yang diperoleh. Begitu pula jika dibandingkan dengan ongkos untuk mengusut korupsi. "Aset yang dicuri jauh lebih besar daripada aset yang bisa dikembalikan negara. Jadi, program ini sangat membantu dan supaya tidak ada negara yang menghalang-halangi," tegas Romli.

Namun demikian, lanjutnya, yang terpenting adalah persiapan di dalam negeri. Apakah di dalam negeri sudah siap dengan perangkat-perangkat hukumnya. Misalnya meskipun kita sudah meratifikasi UNCAC tetapi ternyata UNCAC belum diundangkan. Berkaitan dengan Soeharto, karena sudah disebut pemimpin paling korup yang menduduki peringkat pertama, kejaksaan harus menyelesaikan proses hukum Soeharto di Indonesia.

Terpisah, Koordinator ICW Teten Masduki menyambut baik program StAR. Menurut anggota pansel LPSK ini, dengan jaringannya PBB bisa membantu untuk melacak transaksi yang dicurigai sebagai tindak pidana pencucian uang. Dia mendesak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengambil langkah-langkah meminta bantuan kerja sama dengan PBB dan bank dunia untuk pengembalian aset. "Sudah ada kerangka hukum, seperti peraturan perundangan dan ratifikasi UNCAC," paparnya saat ditemui di gedung Depkumham, Kamis (20/9).

Implementasinya Sulit

Meski menyambut baik, Romli menyatakan program StAR sulit untuk diimplementasikan dalam kasus Soeharto. Pasalnya berbenturan dengan Mutual Legal Assistance (MLA). Sampai saat ini, MLA masih menjadi sebagai sarana untuk mengembalikan aset di tingkat ASEAN. Sayangnya dalam salah satu klausulnya ada klausul non retroaktif. Masalahnya MLA ditandatangani pada tahun 2004, sementara kasus Soeharto terjadi sebelum 2004. "Ini akan menjadi ganjalan," tandasnya.

Lagipula, lanjutnya, jika Indonesia tetap ingin mengejar aset Soeharto ke negara-negara, maka itu akan menjadi preseden buruk bagi negara-negara lain jika ingin membuat perjanjian MLA dengan Indonesia.

Bukan Aset Soeharto

Sementara itu, ditemui di gedung Depkumham, Kamis (20/9), pengacara Soeharto Indriyanto Seno Adji, menjamin aset-aset yang dinyatakan PBB bukan aset Soeharto. "Data PBB baru data sekunder, bukan bukti hukum," tegas pria yang juga anggota pansel LPSK ini.

Guru Besar Universitas Indonesia itu menyatakan kliennya terbuka kepada pihak manapun untuk menelusuri aset-aset yang dicurigai dari hasil korupsi, termasuk melalui program StAR. Tetapi dia menjamin, rencana itu akan sia-sia. Indriyanto mengatakan, "Kalau memang ada, silakan sita saja. Kalau dapat, Pak Harto rela untuk dibagikan pada rakyat. Tapi saya jamin ngga ada." Tegasnya.

Dia menambahkan, jika nanti ditemui, maka masalah pemilikan harus dibuktikan secara hukum lebih dulu. "Jika tidak ada relasinya, buat apa disita," urainya.

Saat ditanya apakah akan melakukan konfirmasi khusus, Indriyanto menyatakan belum ada keputusan soal itu. "Saya belum bertemu Pa Harto. Mungkin minggu-minggu ini," terangnya.

Tags: