Jika Haatzai Artikelen Kembali Makan Korban
Fokus

Jika Haatzai Artikelen Kembali Makan Korban

Persidangan terhadap dua aktivis yang dituduh menghina Presiden dan Wakil Presiden kembali digelar. Kali ini acara mendengarkan keterangan saksi dari pihak terdakwa. Mampukah kesaksian ketiganya melepaskan terdakwa dari pasal-pasal karet KUHP atau yang dikenal sebagai haatzai artikelen itu? Terdakwa mengaku siap menanggung resiko hukuman.

MYs/APr
Bacaan 2 Menit

 

Jaksa Luhut Sianturi pun mengamini pandangan majelis. Menurut Luhut, apa yang dilakukan Muzakkir dan Nanang sudah bisa dikategorikan sebagai penghinaan. Tindak pidana penghinaan semacam itu justru bisa dijerat dengan pasal 134 dan pasal 154 KUHP. Kalaupun dianggap sudah usang bukan berarti tidak berlaku lagi. "Hingga sekarang pasal-pasal itu kan belum dicabut," tegas Luhut.

 

Mengandung cacat yuridis?

 

Di samping masalah haatzai artikelen, keberatan lain penasehat hukum terdakwa juga sama-sama ditolak. Fajar mempersoalkan para terdakwa saat diperiksa yang tidak didampingi pengacara. Padahal ancaman hukuman terhadap mereka di atas lima tahun.

 

Sesuai Pasal 56 KUHAP, mestinya para terdakwa didampingi oleh pengacara. Toh, argumen ini pun dibantah majelis. Majelis lebih percaya pada keterangan polisi bahwa pada waktu diperiksa pertama kali para terdakwa sendiri yang menolak didampingi pengacara.

 

Celakanya, berdasarkan penelusuran hukumonline, kedua terdakwa ditangkap polisi tidak pada saat menginjak-injak foto. Artinya, bukan pada saat tindak pidana dilakukan. Aksi berlangsung pada 24 Juni. Tetapi Muzakkir baru dijemput ke rumahnya pada 29 Juni, menyusul Nanang Samija sehari kemudian. Kabarnya, polisi baru bergerak menangkap kedua terdakwa setelah Megawati mengungkapkan kemarahannya atas aksi menginjak-injak foto tersebut.

 

Menurut penjelasan Fajar Lesmana, pada saat menjemput kedua terdakwa, polisi sama sekali tak membawa surat perintah penangkapan. Surat itu baru muncul beberapa hari kemudian. "Itu pun setelah kami mengambilnya ke kantor polisi," kata Fajar. Itu sebabnya, ia menilai kasus ini penuh cacat yuridis sejak awal.

 

Menanggapi tudingan Fajar, jaksa Luhut Sianturi langsung membela diri. Menurut Luhut, pihaknya merasa sudah memenuhi unsur yang dipersyaratkan Undang-Undang, sehingga layak membawa terdakwa ke persidangan. Sedangkan salah tidaknya terdakwa bukanlah wewenang jaksa atau penasehat hukum. "Untuk menentukan cacat yuridis atau tidak, bersalah atau tidak, adalah wewenang majelis hakim. Kita lihat saja nanti putusan majelis," cetusnya. 

 

Pasal-pasal haatzai artikelen nyatanya sudah menjerat banyak orang. Mulai dari politisi, buruh dan mahasiswa. Pada masa Orde Baru, jerat itu sangat banyak digunakan dan terkesan elastis. Sebut misalnya akademisi Sri Bintang Pamungkas, aktivis PIJAR Tri Agus S. dan politisi Aberson Marle Sihaloho.

Tags: