Jika Haatzai Artikelen Kembali Makan Korban
Fokus

Jika Haatzai Artikelen Kembali Makan Korban

Persidangan terhadap dua aktivis yang dituduh menghina Presiden dan Wakil Presiden kembali digelar. Kali ini acara mendengarkan keterangan saksi dari pihak terdakwa. Mampukah kesaksian ketiganya melepaskan terdakwa dari pasal-pasal karet KUHP atau yang dikenal sebagai haatzai artikelen itu? Terdakwa mengaku siap menanggung resiko hukuman.

MYs/APr
Bacaan 2 Menit

 

Dalam sidang Rabu pekan lalu (18/9), misalnya, keterangan lima orang saksi dari kepolisian bisa memojokkan kedua terdakwa. Satu di antara saksi tersebut sempat mengabadikan aksi penghinaan kepala negara itu ke dalam handicamp. Satu saksi lain melihat Muzakkir dan Nanang menginjak-injak foto Megawati dan Hamzah Haz.

 

Aksi penghinaan dimaksud sebenarnya terjadi Juni lalu saat terjadi demonstrasi di depan Istana Negara. Kebetulan, Muzakkir dan Nanang mempertunjukkan happening art. Seperti peserta demo lain, mereka berteriak agar Megawati dan Hamzah turun dari jabatannya.

 

Dalam pertunjukan seni itulah, keduanya diduga sempat menginjak-injak foto kepala negara. Aparat kepolisian yang menyaksikan aksi itu langsung bertindak. Muzakkir dan Nanang diproses di Polres Jakarta Pusat.

 

Eksepsi Ditolak

 

Selain kesaksian ketiga polisi, hal yang 'memberatkan' posisi terdakwa adalah penolakan majelis hakim atas eksepsi penasehat hukum para terdakwa. Penolakan itu diucapkan majelis hakim pimpinan Sirande Palayukan dalam sidang sebelumnya (6/9).

 

Dalam eksepsinya, kuasa hukum para terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, menyatakan bahwa pasal-pasal yang dipakai jaksa adalah warisan kolonial yang sudah lapuk dan tidak layak lagi dipakai pada zaman sekarang. Fajar Lesmana, salah seorang pengacara terdakwa, menilai bahwa penggunaan haatzai artikelen itu sangat tidak layak dikenakan terhadap kliennya.

 

Di satu sisi, Fajar berargumen bahwa apa yang dilakukan kliennya adalah bentuk partisipasi publik untuk mengingat pemerintah agar kembali ke rel yang benar. Kalaupun ada aksi menginjak-injak foto presiden dan wakil presiden, itu harus dilihat dari sudut pandang happening art. "Itu nggak bisa dikategorikan sebagai penghinaan kepala negara," kata Fajar kepada hukumonline.

 

Masalahnya, pemakaian pasal-pasal itu cenderung subjektif, bergantung penafsiran polisi dan jaksa serta selera penguasa saat itu.  Namun, majelis hakim PN Jakarta Pusat berpendapat lain. Menurut majelis, secara hukum pasal 134 dan Pasal 137 KUHP hingga kini belum dicabut. Lantaran belum dicabut, itu berarti masih berlaku.

Halaman Selanjutnya:
Tags: