Jerat Hukum Menjarah Makanan di Minimarket dalam Kondisi Bencana
Utama

Jerat Hukum Menjarah Makanan di Minimarket dalam Kondisi Bencana

Dalam kondisi apapun mengambil barang milik orang lain adalah tindak pidana, terlebih dalam keadaan bahaya justru hukumannya bisa ditingkatkan.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Pasca gempa, penjarahan terjadi di Kota Palu. Foto: youtube
Pasca gempa, penjarahan terjadi di Kota Palu. Foto: youtube

Gempa berkekuatan 7,4 skala richter yang berpusat di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, disusul Tsunami pada Jum’at (28/9) telah menelan korban meninggal hingga mencapai 844 orang. Hingga saat ini Infrastruktur yang hancur, persoalan kesehatan, hingga kelaparan menjangkiti 16.732 pengungsi yang selamat dari bencana tersebut. Kegaduhan mulai menyeruak saat tersebar berita pemerintah membolehkan masyarakat ‘bebas’ mengambil makanan di minimarket.

 

Isu legalisasi penjarahan minimarket itupun ditepis oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Mendagri yang kebetulan saat itu tengah berada di lokasi tempat yang disebut-sebut terjadi penjarahan menjelaskan, saat itu kondisi listrik mati, bandara pun runtuh. Halaman di sana jadi tempat pengungsi, dan ada toko yang ikut roboh, makanan dan minumannya berhamburan. “Kemudian diambil masyarakat. Jadi bukan penjarahan,” kata Tjahjo dalam siaran persnya di Jakarta, Minggu (30/9).

 

Menurut Mendagri, saat dirinya meninjau masyarakat korban bencana yang dirawat di rumah sakit, dia melihat mereka perlu bantuan segera. Sedangkan, toko-toko tutup. Listrik pun padam. Untuk itulah, Mendagri dalam rapat koordinasi telah meminta pemda memfasilitasi makanan dan minuman untuk korban gempa. “Beli minuman makanan di toko yang dijual, berikan dulu kepada pengungsi dan yang dirawat di rumah sakit,” tegas Mendagri.

 

Mendagri meminta agar pemda langsung mencari siapa pemilik toko. Lalu, membeli makanan tersebut. Ini adalah kondisi darurat, dan listrik mati, serta bantuan baru akan masuk pada malam hari dari daerah tetangga.

 

Lantas bagaimana hukumnya mengambil barang milik orang lain tanpa izin dalam kondisi bencana alam? Apakah pelaku dapat dikenakan jerat pidana? Apakah ancaman pidananya disamakan dengan pidana biasa atau diancam pidana dengan pemberatan?

 

Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, mengatakan mengambil barang orang lain termasuk makanan tanpa izin masuk kategori pencurian. Terlebih jika dilakukan dalam kondisi bencana maka pelaku bisa dikenakan ancaman pidana dengan pemberatan.

 

“Sanksi pidana pemberatan itu bisa penjara sampai 7 tahun, kalau dilakukan di malam hari bisa sampai ancaman 9 tahun penjara,” kata Chairul kepada hukumonline, Senin (1/10).

 

Sepakat dengan Chairul Huda, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Mudzakir, berpendapat dalam kondisi apapun mengambil barang milik orang lain adalah pidana. Terlebih dalam keadaan bahaya justru hukumannya akan ditingkatkan atau diperberat. Hanya saja, dalam kondisi betul-betul terpaksa karena mengancam jiwa diperbolehkan mengambil makanan hingga kenyang, namun tak boleh dengan iktikad untuk menumpuk makanan.

 

“Kesimpulannya, tidak boleh dalam keadaan apapun mengambil barang milik orang lain, kalaupun terpaksa dia betul-betul kelaparan kalau tidak makan dia bisa mati, maka hanya boleh ambil sampai kenyang selesai, itupun kalau ada pemilik makanan harus izin dan tak boleh mengambil dengan niat menumpuk makanan. Kalau menumpuk itu sudah masuk kategori penjarahan namanya,” kata Mudzakir.

 

(Baca Juga: Hukuman Pidana Bagi yang Mencuri Pada Saat Gempa Bumi)

 

Sebagai informasi, untuk pidana dengan kategori ‘pemberatan’ berdasarkan Pasal 363 KUHP diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun hingga 9 (sembilan) tahun untuk pencurian yang dilakukan di malam hari melalui kerjasama dengan orang lain atau dengan merusak tempat penyimpanan (akses menuju tempat penyimpanan barang) menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Cukup berbeda jauh dengan pidana pencurian biasa tanpa pemberatan yang berdasarkan Pasal 362 KUHP diancam pidana penjara paling lama 5 tahun.

 

KUHP

Pasal 363:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. pencurian hewan;

2. pencurian "pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;

3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

5. pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

 

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

 

Dalam kondisi apapun, kata Mudzakir, hukum harus tetap tegak demi ketertiban. Tak boleh ada alasan pembenar atas setiap bentuk pelanggaran hukum. Hukum yang harus ditegakkan inipun, kata Mudzakir, berkorelasi dengan ketertiban yang bisa menjamin keamanan jiwa para korban bencana juga nantinya.

 

Penjarahan obat-obatan misalnya, kata Mudzakir, jika tak ada ketertiban maka akan berakibat orang bisa bebas menumpuk obat-obatan sekalipun ia tak tau fungsi obat-obatan tersebut. Sebaliknya, orang lain yang membutuhkan menjadi tak bisa diobati. Begitu pula dengan makanan, orang yang menumpuk makanan akan bertahan kekenyangan sementara orang lain bisa mati kelaparan.

 

“Makanya posko bantuan harus diperkuat untuk menyalurkan bantuan, baik makanan maupun obat-obatan, sehingga peruntukan obat-obatan melalui bantuan tenaga medis lebih jelas serta distribusi makanan pun menjadi lebih jelas juga,” kata Mudzakir.

 

(Baca Juga: 1.420 Narapidana Kabur Akibat Gempa dan Tsunami di Sulteng)

 

Lantas, bagaimana hukumnya mengambil kendaraan orang lain saat bencana untuk menyelamatkan diri? Mudzakir menjawab itu tak masuk dalam kategori pidana pencurian karena barang itu diambil bukan untuk dimiliki melainkan untuk kabur dan menyelamatkan diri dari bencana. Lantas bagaimana pembuktian kebenaran atas iktikad baik atau buruk dalam pengambilan kendaraan tersebut?

 

Menurut Mudzakir, bisa dilihat dari apakah kendaraan tersebut dikembalikan/diserahkan kembali kepada pemiliknya, baik langsung atau melalui posko-posko keamanan. Lain halnya jika kendaraan tersebut dibawa kabur dengan iktikad untuk dimiliki, maka itu bisa dikategorikan pencurian dan akhirnya bisa tetap dikenakan pidana.

 

“Jadi dilihat ujungnya, apakah dia mengembalikan kendaraan itu atau tidak,” tukas Mudzakir.

 

Lantas bagaimana hukumnya mengambil barang temuan seperti uang, emas atau barang berharga pasca bencana? Untuk status barang temuan, kata Mudzakir, barang temuan itu harus diumumkan terlebih dahulu melalui penguasa di daerah tersebut, seperti RT, RW atau Pos Keamanan, tak boleh langsung dimiliki sendiri.

 

Tags:

Berita Terkait