Ikan predator Arapaima yang baru-baru ini menjadi primadona perbincangan ikan di Indonesia turut menyita perhatian masyarakat dan pemerintah, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pasalnya, ikan buas asal Amazon ini dilarang masuk ke wilayah Indonesia dalam beberapa aturan perundang-undangan, sehingga dapat dikatakan ikan Arapaima yang telah masuk ke Indonesia merupakan ikan ilegal dengan beberapa pengecualian.
Berdasarkan Pasal 2 Permen Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2014 tentang Larangan Pemasukan Jenis Ikan Berbahaya Dari Luar Negeri ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, dijabarkan ketentuan bahwa setiap orang dilarang memasukkan jenis-jenis ikan berbahaya dari luar negeri ke dalam Indonesia, terkecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan seperti penelitian dan/atau pameran/peragaan. Adapun soal pengecualian memasukkan ikan berbahaya tersebut juga wajib mendapatkan izin pemasukan dari Menteri setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Ditjen.
Pasal 2
|
Sekadar informasi, berdasarkan lampiran Permen KKP a quo, ikan Arapaima berada pada urutan ke 9 dengan golongan ikan berjenis Araipama gigas. (Baca Juga: Upaya Perlindungan Terhadap Satwa Liar dalam RUU KUHP Belum Maksimal)
Sumber: Lampiran Peraturan Menteri KKP
Ahli ekologi satwa liar WWF Indonesia, Sunarto, menjelaskan bahwa ikan Arapaima bersifat eksotis dalam artian ‘bukan asli’ di tempat itu, seperti dalam konteks ikan Araipama ini yang bukan ikan asli Indonesia. Kemudian ikan bukan asli di tempat itu dibagi lagi menjadi golongan ikan invasif (suka menguasai tempat itu, berkompetisi untuk mengalahkan spesies lain) dan ada juga yang tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan).
“Karena Arapaima ini ikan predator maka kemungkinan besar dia tergolong invasif dan mengalahkan ikan-ikan lain. bahkan karena besarnya ukuran arapaima ini, itu juga akan berbahaya bagi manusia seperti terhadap anak-anak yang sedang berenang,” jabar Sunarto kepada hukumonline, Kamis, (28/6).
(Baca juga: Sejumlah Alasan Revisi UU Konservasi SDA Perlu Tetap Dirampungkan)
Hal lain yang penting diketahui, sambung Sunarto, adalah soal kategori ikan Arapaima ini apakah tergolong ke dalam klasifikasi hewan, satwa atau bukan satwa. Sebelumnya, Sunarto menjelaskan bahwa definisi hewan mengacu kepada hewan peliharaan atau ternak, sementara satwa kecenderungannya bukan merupakan ternak melainkan hidup di alam liar. Hanya saja, Sunarto berpendapat bahwa ikan bukan merupakan bagian dari satwa.
“Karena kalau dilihat kewenangan pengaturan dan pengelolaan ikan ini berada dibawah Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), sementara Satwa, kewenangan pengaturan dan pengelolaannya ada di wilayah Kementrian Kehutanan,” jelas Sunarto.
Pada laman instagram Kementerian KKP dijabarkan bahwa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity(Konvensi PP mengenai Keanekaragaman Hayati), Indonesia berkewajiban menghindari introduksi spresies asing invasif (Invassive allien species/IAS) melalui kegiatan pengembalian dan pemusnahan IAS yang ternyata merusak ekosistem, habitat hidup dan keanekaragaman spesies asli.
Pasal 8 Konservasi In-Situ
Pasal 9 Konservasi Ex-Situ
|
Untuk diketahui, berdasarkan Pasal 2, pada bab definisi dari UU No. 5 Tahun 1994 dijelaskan, Konservasi Ex-situ merupakan konservasi komponen-komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya. Sedangkan Konservasi In-situ merupakan konservasi ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang.
(Baca juga: Selamatkan Satwa Liar Lewat Revisi UU No. 5/1990)
Saat ditanya hukumonline soal sanksi yang bisa dikenakan terhadap pelaku pelepasan ikan Araipama ini, Pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Benvika, menyebut terlebih dahulu perlu dilihat apakah ikan itu legal atau ilegal.
Dalam hal ini, berdasarkan Permen KKP No. 41 Tahun 2014 jelas termasuk perbuatan ilegalkarena memasukan ikan berbahaya tersebut dilarang dalam permen a quo. Diketahui bahwa memasukkan ikan Araipama ke Indonesia merupakan kegiatan ilegal, sambung Benvika, maka dapat dikenakan ketentuan pidana pada UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.
Dalam pasal 31 UU a quo pada bab ketentuan pidana, jelas Benvika, dapat ditelaah bahwa siapapun yang memasukan suatu spesies asing yang berbahaya dengan tanpa prosedur yang legaldalam hal perbuatan itu dilakukan dengan sengaja maka dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp150 juta. Sedangkan bagi pihak yang tidak dengan sengaja mendatangkan ikan tersebut, maka dapat dikenakan pidana penjara paling lama 1 tahun dengan denda paling banyak Rp50 juta karena kelalaiannya.
“Soal ilegal-nya ikan Araipama itu masuk ke Indonesia jelas berbeda dengan imigrasi (orang) dan beacukai (barang), karena satwa masuk ke dalam UU Karantina. Dan sekalipun perbuatannya itu tidak disengaja dia tetap dipidana dengan UU Karantina itu karena kelalaian,” terang Benvika kepada hukumonline, Kamis, (28/6).
Sebagai informasi tambahan, pelaku pelepasan ikan Araipama ini bisa juga dijerat dengan Pasal 86 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Pada pasal a quo, tegas dinyatakan bahwa pelaku dapat dijerat pidana penjara selama 10 Tahun dengan denda hingga sebesar Rp2 miliar.
Pasal 86
|