Jenis-jenis Pelanggaran Hukum di Industri Fintech
Berita

Jenis-jenis Pelanggaran Hukum di Industri Fintech

Tidak hanya perusahaan fintech ilegal, perusahaan berizin pun dianggap melakukan pelanggaran hukum. OJK dan penegak hukum diminta tegas untuk menindak praktik fintech ini.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Keluhan masyarakat mengenai praktik pinjam-meminjam online atau financial technology (fintech) peer to peer lending (P2P) semakin ramai menjadi perbincangan publik. Mulai dari cara penagihan yang kasar hingga tingginya bunga pinjaman menjadi persoalan yang paling sering dialami masyarakat sebagai konsumen.

 

Kian banyaknya pengaduan masyarakat mengenai fintech ini menjadi perhatian dari berbagai lembaga masyarakat. Baru-baru ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama para korban membuka posko pengaduan fintech pada Minggu (4/11) lalu. Pembukaan posko ini dilakukan karena banyaknya pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan fintech.

 

Kepala Divisi Advokasi Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban (PMU) LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait, mengatakan sudah terdapat sebanyak 283 pengaduan konsumen sehubungan fintech kepada LBH sejak Mei lalu. Dari total pengaduan tersebut, tidak hanya perusahaan fintech ilegal tapi juga perusahaan fintech berizin juga dianggap melakukan pelanggaran kepada konsumen.

 

Jenis-jenis pelanggaran hukum yang dilakukan fintech tersebut berupa penagihan yang kasar hingga pelecehan seksual. “Perusahaan fintech tersebut juga menggunakan data kontak telepon konsumen untuk menagih konsumen melalui pihak luar seperti atasan kerja, mertua hingga teman sekolah,” kata Jeanny saat dikonfirmasi hukumonline, Selasa (6/11).

 

Selain itu, Jeanny juga menyoroti tingginya bunga pinjaman hingga  pencurian data pribadi melalui telepon seluler konsumen yang dilakukan perusahaan fintech. Menurutnya, permasalahan-permasalahan ini menimbulkan dampak buruk terhadap konsumen.

 

“Penagihan ke nomor telepon yang ada di ponsel, peminjam menjadi di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, diceraikan oleh pasangan mereka karena menagih ke mertua, trauma karena pengancaman, kata-kata kotor, dan pelecehan seksual. Selain itu, akibat bunga yang sangat tinggi juga menyebabkan konsumen yang gagal bayar menjadi frustasi sehingga berupaya menjual organ tubuh seperti ginjal sampai upaya bunuh diri,” jelas Jeanny.

 

(Baca juga: Mari Kenali Mekanisme Penagihan yang Tepat di Perusahaan Fintech)

 

Dengan demikian, dia mengimbau kepada masyarakat untuk mewaspadai praktik pinjam-meminjam online ini khususnya fintech ilegal. Menurutnya, perusahaan fintech ilegal ini tidak mencantumkan alamat dan telepon secara jelas. Selain itu, perusahaan fintech ilegal ini juga sering berganti nama tanpa pemberitahuan kepada konsumen meskipun perhitungan bunga pinjaman tetap berjalan. 

 

Jeanny juga menjelaskan saat ini terdapat dua jenis fintech yang beroperasi di masyarakat yaitu ilegal dan legal. Dengan adanya, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menjadi payung hukum beroperasinya perusahaan fintech P2P.  

 

Meski banyak persoalan yang muncul akibat fintech ini, Jeanny tetap berpendapat pengembalian pinjaman adalah kewajiban yang harus dipenuhi konsumen. Namun, persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pelanggaran hukum fintech harus mendapat tindakan dari regulator dan penegak hukum.

 

Menurut Jeanny, penegakan hukum terhadap fintech ini masih minim. Pasalnya, berdasarkan laporan korban kepada kepolisian penegakkannya masih lambat. “Kami ada bukti pelaporan korban ke kepolisian beberapa bulan lalu, namun sampai sekarang tidak ada tindak lanjut. Korban sudah mengirimkan permohonan SP2HP (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan) dan tidak direspons,” kata Jeanny.

 

Hukumonline.com

 

Sebelumnya, permasalahan pinjaman online ilegal ini juga menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi mendesak agar OJK sebagai lembaga pengawas menutup atau memblokir perusahaan fintech tersebut agar tidak semakin meresahkan masyarakat. Selain itu, Tulus meminta OJK segera menertibkan praktik fintech ilegal atau tidak berizin yang semakin menjamur di masyarakat.

 

Dari sisi konsumen, Tulus mengimbau agar membaca dengan cermat persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan fintech sebelum bersepakat. Sebab, teror yang dialami konsumen bisa jadi bermula dari ketidaktahuan konsumen memahami persyaratan teknis yang ditentukan oleh perusahaan fintek tersebut.

 

“Konsumen tidak memahami bagaimana besaran bunga yang ditentukan dan mekanisme cara penagihan oleh perusahaan online kepada konsumennya,” kata Tulus beberapa waktu lalu.

 

(Baca: Advokat Ini Ingatkan Risiko Kerahasiaan Data Pribadi Sebelum Lakukan Pinjaman Fintech)

 

Menanggapi permasalahan ini, Ketua Tim Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Pengelolaan Investasi (Satgas Waspada Investasi), Tongam Lumban Tobing mengatakan konsumen perlu membedakan antara fintech berizin atau ilegal dan fintech ilegal.

 

Menurut Tongam, kegiatan fintech legal telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.Sehingga, setiap pengaduan konsumen mengenai fintech tersebut akan segera ditindaklanjuti OJK.

 

Hingga Oktober, sebanyak 73 perusahaan terdaftar di OJK. Jumlah tersebut jauh lebih sedikit dibanding jumlah anggota asosiasi fintech (Aftech) sebanyak 167 perusahaan. Tongam meminta kepada seluruh perusahaan fintech ilegal untuk segera menghentikan layanan dan menutup situs maupun aplikasi. 

 

Tongam juga menjelaskan pihaknya sudah berupaya menertibkan praktik fintech ilegal dengan cara menutup website atau aplikasi hingga pemanggilan terhadap perusahaan tersebut.  “Kami sudah blokir situs dan aplikasi setiap perusahaan fintech ilegal. Kami minta kepada mereka untuk menghentikan kegiatan usaha,” kata Tonggam kepada hukumonline.

 

Tags:

Berita Terkait