Jenderal Aktif Jabat Komisaris, Menteri BUMN Diingatkan Ketentuan UU TNI dan Polri
Berita

Jenderal Aktif Jabat Komisaris, Menteri BUMN Diingatkan Ketentuan UU TNI dan Polri

Pemerintahan sipil seharusnya tidak menggoda dan turut memastikan profesionalitas TNI-Polri dengan tidak memberikan jabatan-jabatan tertentu.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Menteri BUMN Erick Thohir (kiri). Foto: RES
Menteri BUMN Erick Thohir (kiri). Foto: RES

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, melakukan pergantian Direksi dan Komisaris sejumlah perusahaan BUMN beberapa hari lalu. Dalam pergantian tersebut, Erick tidak hanya menarik para profesional untuk bergabung tapi juga merangkul para perwira tinggi dan jenderal aktif.

Diketahui para perwira tinggi dan jenderal aktif tersebut berasal dari TNI maupun Polri untuk mengisi jajaran komisaris perusahaan BUMN. Langkah Erick ini dikritik sebagian kalangan. 

Peneliti HAM dan sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie menilai, kebijakan Erick merangkul jenderal dan perwira tinggi dari TNI dan Polri tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UNdang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. 

Pasal 47 ayat (1) UU TNI mengamanatkan Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Begitu pun Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Pasal 28 ayat (3) ini mengamanatkan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Menurut Iksan, berdasarkan kedua ketentuan di atas harusnya perwira tinggi dan jenderal aktif tidak menjabat sebagai komisaris maupun direksi perusahaan BUMN yang merupakan jangan sipil. “Jabatan di BUMN juga tidak termasuk dalam pengecualian jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit TNI aktif pada pasal 47 ayat (2),” ujar Ikhsan kepada hukumonline, Minggu (14/6).

Ikhsan menegaskan jabatan sipil yang dikecualikan sehingga bisa dijabat oleh perwira tinggi maupun jenderal adalah jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara.

Selain itu juga terdapat sejumlah jabatan di kantor Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.

Karena itu Ikhsan menyebutkan terdapat sejumlah catatan terkait penempatan perwira tinggi dan jenderal aktif dalam jabatan direksi dan komisaris BUMN. Menurut Ikhsan hal ini menggambarkan keenggan (unwilling) pemerintah dalam pelaksanaan reformasi TNI/Polri, serta secara khusus pelaksanaan amanat peraturan perundang-undangan. (Baca juga: Kekayaan BUMN Bukan Bagian Keuangan Negara)

Lebih jauh menurut Ikhsan, peran militer dalam ranah sipil menjadi gambaran kemunduran reformasi TNI pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. “Penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil, dalam hal ini perusahaan BUMN, menjadi bagian dari kemunduran tersebut,” tegas Ikhsan.

Dalam Laporan 2 Dekade Reformasi TNI (2019) SETARA Institute juga mencatat perluasan peran militer dalam ranah sipil berupa pelibatan militer dalam program ketahanan pangan, cetak sawah, pengawasan harga sembako, BULOG, MOU dengan pelbagai K/L, pengenalan lingkungan sekolah.

Dalam laporan tersebut juga menyebutkan revisi UU TNI salah satu poinnya adalah penambahan 6 Kementerian/Lembaga yang dapat diduduki oleh prajurit aktif, yakni Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, Staf Kepresidenan, BNPT, BNPB, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dan Badan Keamanan Laut.

Ikhsan mengingatkan, pemerintahan sipil seharusnya tidak menggoda dan turut memastikan profesionalitas TNI-Polri dengan tidak memberikan jabatan-jabatan tertentu dan/atau membuka kerjasama-kerjasama di luar tugas pertahanan, keamanan, dan tugas perbantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Menurut Ikhsan, reformasi TNI dan Polri harus berjalan dua arah atau timbal balik. TNI-Polri fokus melakukan reformasi, sementara presiden/DPR/politisi sipil wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat Konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Dalil Kementerian BUMN yang berkaitan konflik sosial dengan masyarakat dalam persoalan tanah dan perizanan sebagai pertimbangan pengangkatan perwira TNI-Polri kedalam jajaran petinggi perusahaan BUMN, menurut Ikhsan justru semakin mencerminkan pendekatan keamanan dan aparat dalam penanganan konflik sosial yang berkaitan dengan isu lingkungan. 

“Pemerintah seharusnya fokus untuk memastikan penegakan hukum yang adil terkait konflik tanah, dan memastikan tidak ada kekerasan terhadap masyarakat,” pungkas Ikhsan. 

Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengemukakan alasan masuknya jenderal TNI dan Polri ke jajaran komisaris BUMN. Menurut Erick, penempatan tersebut sebagai langkah menyeimbangkan potensi konflik sosial yang berhubungan dengan keberadaan BUMN sebagai korporasi. 

“Tiap pemilihan ada alasan. Kita tahu di pertambangan kadang-kadang ada konflik, baik yang namanya tanah, perizinan yang tumpang tindih, ada juga isu sosial dengan masyarakat, kita harus seimbangkan," ujar Erick dalam konfrensi pers yang disiarkan secara daring, Jumat (12/6).

Untuk itu, menurut Erick dalam penataan jabatan komisaris BUMN terkadang dibutuhkan orang-orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu. "Di masing-masing perusahaan itu ada ahlinya untuk industrinya, ada ahlinya untuk keuangan, dan ada ahlinya untuk isu sosialnya. Ini yang kita coba seimbangkan, apalagi di sumber daya alam itu kan kekayaan negara harus kita lindungi,” terang Erick. 

Erick mengungkapkan, tidak semua komisaris yang diangkat berasal dari Kepolisian, TNI, KPK, atau BIN. Erick menyebut nama-nama seperti Basuki Tjahaja Purnama, Agus Martowardojo, hingga Chatib Basri yang menduduki posisi komisaris utama Pertamina, BNI, dan Mandiri.

Tags:

Berita Terkait