Jejak Leksikografi Guru Besar Rechtshogeschool di Aceh
Berita

Jejak Leksikografi Guru Besar Rechtshogeschool di Aceh

Pribumi pertama yang menjadi Guru Besar di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia, Hoesein Djajadiningrat, ternyata punya karya tentang Aceh.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Kamus Bahasa Aceh-Belanda karya Hoesein Djajadiningrat. Foto: MYS
Kamus Bahasa Aceh-Belanda karya Hoesein Djajadiningrat. Foto: MYS

Perjalanan ke Aceh, provinsi paling ujung di Pulau Sumatera, tak lengkap rasanya tanpa mengunjungi sejumlah tempat yang dibangun untuk mengenang peristiwa bencana tsunami. Wisata kuliner juga menjadi pilihan favorit dan lokasinya tersebar di banyak tempat. Tetapi menelusuri perjalanan orang-orang penting dalam perkembangan Aceh tak kalah menariknya. Termasuk jejak orang luar Aceh yang punya keterkaitan dengan bumi Serambi Makkah itu.

 

Salah seorang yang layak disebut adalah Pangeran Aria Hoesein Djajadiningrat, Guru Besar pribumi pertama di Rechtshogeschool Batavia. Sebelum menjadi Profesor di Sekolah Tinggi Hukum bentukan Belanda itu, Pangeran Aria Hoesein Djajadiningrat pernah menetap di Aceh dan tercatat sebagai penulis kamus bahasa Aceh-Belanda. Inilah hasil penelusuran jurnalis hukumonline.

 

Ditulis pada Oktober 1933, kata pengantar (voorbericht) dua setengah halaman yang dibuat Pangeran Aria Dr. Hoesein Djajadiningrat memuat sejumlah nama yang patut mendapatkan apresiasi. Selain beberapa orang Belanda, ada dua nama lokal yang mendapat tempat di hati Hoesein, yakni Teungku Mohamad Noerdin, seorang yang berasal dari Gampong Pi Mukim Meuraxa, dan Haji Aboebakar yang berasal (afkondig) dari Koetaradja (Banda Aceh).

 

Kedua orang Aceh itulah yang membantu Hoesein menyusun kamus bahasa Aceh-Belanda yang diterbitkan Landsdrukkerij Batavia tahun 1934. Hoesein berterima kasih kepada Teungku Mohamad Noerdin atas ‘gestundige en belangrijke medewerking” (kerjasama yang baik dan penting), dan Hadji Aboebakar atas aanvullende hulp (bantuan yang berharga). Penyusunan Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek terbantu pula oleh beberapa tulisan.

  

Inilah kamus bahasa lokal Nusantara yang paling tebal, setidaknya dibandingkan kamus-kamus lokal yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Indonesia Depok, dan berdasarkan penelusuran daring juga tersedia di perpustakaan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Total dua jilid kamus ini mencapai 2360 halaman. Belum termasuk 16 halaman kata pengantar, petunjuk penggunaan tata bahasa (grammatische toelichting) dan daftar singkatan (lijst van afkortingen). Di Perpustakaan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, kamus itu diberi nomor panggil 4x1.1393.

 

Kamus bahasa Aceh-Belanda itu hanya salah satu dari puluhan karya yang dihasilkan Hoesein Djadjadiningrat semasa hidupnya (Desember 1886-November 1960). Sebagian besar karyanya berhubungan dengan bahasa dan sejarah. Di bidang sastra ia pernah memimpin surat kabar berbahasa Sunda Sekar Roekoen dan Poesaka Sunda. Ia juga pendiri Java Instituut dan pada tahun 1921 menjadi redaktur majalah Djawa – bersama Raden Ngabehi Purbacaraka-- yang diterbitkan institut tersebut.

 

Namun menelusuri sejarah Hoesein Djajadiningrat juga tak bisa dilepaskan dari sejarah pendidikan hukum di Indonesia. Dialah pribumi pertama yang diangkat sebagai Guru Besar di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), Batavia. Foto Hoesein bersama sejumlah Guru Besar Rechtshogeschool dari Berlanda akan muncul jika menggunakan mesin pencarian namanya di dunia maya.

 

(Baca juga: Profesor Indonesia dalam Pembukaan Rechtshogeschool)

 

Meskipun keahliannya lebih banyak pada bahasa, Hoesein menaruh perhatian pada hukum, Pada mulanya ia bahkan ingin sekolah hukum karena ingin menjadi hakim. Hoesein menaruh minat pada hukum Islam. Ini bisa terlihat antara lain dari pidato ilmiahnya di Rechtshogeschool tahun 1925: ‘De Mohammedaansche wet en het geestesleven der Indonesische Mohammedanen”. Snouck Hurgronje berperan besar membawanya kuliah di Leiden hingga memperoleh gelar doktor (1905-1913). Sebelum masuk Leiden, atas bantuan Snouck pula, Hoesein belajar bahasa Latin dan Yunani Kuno. Di Leiden, ia mengambil jurusan bahasa dan sastra Nusantara.

 

Dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, Hoesein termasuk anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Bahkan ia memimpin sebuah kelompok yang menyusun draf UUD 1945 di BPUPKI. Anggotanya terdiri dari Prof. R Soepomo, Mr. R Soewandi, Mr R.P Singgih, Mr. R Sastromoeljono, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, dan Mr. R. Soebardjo.

 

Hukumonline.com

Ilustrasi foto Hoesein Djajadiningrat. Ilustrator: HGW

 

Bermula dari sayembara

Hoesein Djajadiningrat sebenarnya mewarisi darah Serang, Banten, dari ayah dan ibunya -- R. Bagus Djajawinata dan Ratu Salehah. Ayahnya adalah wedana yang kemudian diangkat jadi Bupati Serang. Jabatan itu kemudian diteruskan kepada abangnya, Pangeran Ahmad Djajadiningrat.

 

Meskipun berdarah Serang Banten, Hoesein Djajadiningrat bukan hanya dihubungkan dengan Sunda dan Jawa, tetapi juga kadangkala dikaitkan dengan Aceh. Suatu saat, ketika masih di Belanda, Universitas Leiden mengadakan sayembara mengarang tentang sejarah kesultanan Aceh berdasarkan naskah Indonesia/Melayu. Hoesein bukan hanya ikut, tetapi juga berhasil memenangkan sayembara lewat karyanya yang berjudul ‘Critisch Overzicht van de Maleische Werken gevatte gegeven over de Geschiedenis van het Soeltanaat van Atjeh’. Tulisan yang menghebohkan ini kemudian dimuat dalam majalah Bijdragen tot de taal, Land-en Volkenkunde jilid 65 Tahun 1911, halaman 135-265.

 

Selama studi doktoral di Universitas Leiden, Hoesein di bawah bimbingan promotor Snouck Hurgronje, seorang akademisi Belanda yang juga menaruh perhatian pada Aceh. Ia juga banyak dibantu Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak RA Kartini. Hasil studi doktoralnya, Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten  memberikan sumbangsih penting atas penulisan sejarah Banten khususnya, dan penulisan sejarah Jawa pada umumnya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1983).

 

Mahcfud Mangkudilaga menggambarkan keberhasilan Hoesein di Leiden itu dalam kata pengantarnya untuk buku ‘Masa Awal Kerajaan Cirebon’ karta R.A Kern dan Hoesein Djajadiningrat (1974). Mangkudilaga menulis: “Beliau adalah putera Indonesia yang pertama yang pada tahun 1913 mendapat gelar doktor dalam ilmu sastra dan filsafat dengan cumlaude dengan tesis mengenai sejarah Banten dengan promotornya tidak kurang dari Prof. Snouck Hurgronje. Perisitiwa itu merupakan peristiwa yang sangat bersejarah karena membuktikan kepada dunia ilmiah yang penuh syakwasangka pada waktu itu bahwa orang Indonesia pun dapat mengikuti pendidikan akademi modern asal ia diberi kesempatan”.

 

Setelah kembali ke Tanah Air, Hosein bekerja di Djawatan Bahasa, menjadi pegawai yang bertugas mengadakan penelitian bahasa-bahasa Nusantara. Dalam konteks ini pula nama Hoesein dihubungkan dengan Aceh. Ia mendapat tugas mempelajari bahasa Aceh dalam rangka pembuatan kamus bahasa Aceh, sehingga ia harus menetap di Tanah Rencong.  Berdasarkan buku biografi ‘Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Karya dan Pengabdiannya’ yang ditulis Sutopo Susanto (1984), terungkap bahwa Hoesein menetap di Aceh dan berbaur dengan masyarakat setempat antara April 1914 hingga Mei 1915. Penelusuran hukumonline ke Banda Aceh pada Sabtu-Minggu (20-21/01) belum menemukan informasi dimana persisnya Hoesein menetap selama pembuatan kamus tersebut.

 

Untuk menyusun dan menyelesaikan kamus bahasa Aceh itu, Hoesein dibantu dua putra Aceh yakni Tengku Mohamad Noerdin dan H Aboebakar Aceh. Noerdin disebut sebagai  juru tulis Prof. C. Snouck Hurgronje, sedangkan Abubakar Aceh saat itu adalah pegawai pada Kantor Urusan Bumiputera (Inlandsche Zaken) –belakangan dikenal sebagai penulis buku-buku Islam.  Hasil kerja mereka itulah yang dibukukan menjadi dua jilid, Atjehsche-Nederlansch Woordenboek, terbit tahun 1934. Jilid (deel) pertama berjumlah 1011 halaman, dan jilid kedua setebal 1349 halaman.

 

“Karya ini cukup mengagumkan dalam hal kelengkapannya. Kamus ini merupakan kamus  yang terlengkap yang pernah dibuat  orang tentang bahasa-bahasa Nusantara hingga kini,” begitu tertulis dalam biografi Prof. Hoesein yang ditulis Sutopo Susanto.

 

Upaya merampungkan kamus bahasa Aceh-Belanda itu tak mudah. Ada keterlibatan sejumlah orang, dan menggunakan sejumlah referensi yang disebut Hoesein pada bagian pengantar. Misalnya, tulisan Snouk Hurgronje: De Atjehers; Studies over de Atjehsche klank- en schriftleer; dan Atjehsche taalstudien; atau karya T.J Veltman: Nota betreffende de Atjehsche goud- en zilversmeedkunst (Catatan tentang Seni Kerajinan Emas dan Perak Aceh).

 

Kata Pengantar Hoesein dibuat pada Oktober 1933, dan bukunya diterbitkan pada tahun 1934, lebih dari lima belas tahun setelah Hoesein meninggalkan Aceh. Karya klasik itu kini menjadi referensi langka yang tak bisa ditemukan di semua perpustakaan.

 

Tags:

Berita Terkait