Jeda Pertandingan
Tajuk

Jeda Pertandingan

Banyak opsi yang bisa dipilih oleh para pengambil keputusan: demokrasi berjalan sesuai relnya, demokrasi langsir, atau demokrasi anjlok. Saat ini kita sedang berada dalam penantian.

Arief T Surowidjojo
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemilu sudah selesai. Ini hanya kalau pemilu hanya soal pencoblosan di kotak suara. Pemilu dalam arti proses politik yang merupakan buntut dan hakikat pemilu masih jauh dari selesai. Sudah ada hasil resmi penghitungan suara dari KPU, masih akan ada pernyataan pemenang pemilu oleh KPU, sudah ada proses sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi, mungkin ada proses politik melalui hak angket di parlemen, yang mungkin berujung di upaya pemakzulan. Nanti menyusul ada proses sumpah presiden-wakil presiden terpilih, kemudian ada proses pembentukan kabinet, lanjut akan ada proses bagi-bagi kekuasaan di pemerintahan dan parlemen setelah presiden dan wakil presiden baru disumpah, dan mungkin juga ada proses pembentukan oposisi dalam rangka checks and balances dari sistem demokrasi kita.

Jadi beberapa bulan ke depan bisa jadi akan banyak hal menarik terjadi di dunia perpolitikan kita yang membuat banyak pihak atau kita sendiri sebagai masyarakat sipil deg-degan, apa jadinya setelah semua itu selesai berproses. Sejatinya ada banyak opsi yang bisa dipilih oleh para pengambil keputusan: demokrasi berjalan sesuai relnya, demokrasi langsir, atau demokrasi anjlok. Saat ini kita sedang berada dalam penantian selama jeda pertandingan, hanya saja ini bukan masalah jeda tanding bola 15 menit, tetapi penantian dan proses berbulan-bulan, di mana tarik menarik masih akan terjadi, yang hasilnya bisa berakhir pada kondisi “the good, the bad and the ugly.” 

Pengamat, asli atau “aspal”, banyak berspekulasi akhir-akhir ini tentang: (a) sampai kapan dan seberapa penting kolaborasi Jokowi dan Prabowo akan berlangsung. Mengingat tarik-menarik kepentingan sudah pasti akan terjadi antara the king maker dan the elected king. Tanpa Jokowi, Prabowo tidak mungkin terpilih sebagai presiden baru, dan tanpa Prabowo, Jokowi tidak akan punya penerus atau pengaman “legacy” Jokowi yang efektif.

(b) sampai kapan dan seberapa dalam koalisi partai-partai pendukung Prabowo akan berlangsung, karena hasil pemilu legislatif kemarin sungguh menarik, di mana PDIP terlihat unggul tetapi mungkin tidak bisa menjadi oposisi yang efektif di parlemen, Golkar memetik hasil lebih baik, dan Gerindra terstagnasi di posisi ketiga, yang pastinya berpengaruh dalam soal bagi-bagi kekuasaan nanti, apalagi kalau terjadi perebutan posisi Ketua Golkar yang jadi banyak diincar sekarang.

(c) apakah oposisi baru akan terbentuk, mengingat sebetulnya tidak ada perbedaan ideologis dan praktik politik antara partai yang ada, sehingga ini sangat memungkinkan adanya partai yang ganti haluan, atau oknumnya nyebrang ke partai lain; artinya mungkin akan ada partai atau tokohnya yang tadinya berlawanan atau bahkan bersekutu menjadi berbalik arah, dan mengubah peta dan praktik politik lima tahun ke depan. Apakah partai pendukung paslon 1 dan 3 akan membentuk oposisi efektif di parlemen dengan menguasai lebih dari 50% suara + 1, atau partai pendukung paslon 2 bertambah di parlemen, dan menjadikan mereka pengendali di parlemen.

(d) bagaimana komposisi kabinet pemerintahan baru nanti, ini juga menjadi hal menarik. Apakah kabinet kerja akan diisi dengan mayoritas para profesional, atau para politikus yang sebagian mungkin tidak becus bekerja. Artinya, apakah orang-orang sekaliber Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Basuki Hadimuljono (Menteri PUPR) dan Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri) akan tertarik bergabung? Suatu hal yang penting untuk menawarkan kepercayaan publik (public trust) kepada terutama ke negara mitra investasi dan dagang, organisasi internasional, pemodal dan perbankan.

(e) akan seperti apa kebijakan ekonomi dan bisnis dari pemerintah baru nanti, akankah pemerintah baru akan berat mendukung bisnis para oligarki atau masih banyak ruang dan konsesi ekonomi dan pembiayaan bermakna yang diberikan kepada mayoritas pelaku ekonomi kita, atau para pengusaha kecil menengah dan masyarakat ekonomi lapis bawah.

(f) bagaimana pemerintahan baru memposisikan Indonesia dalam kancah internasional yang petanya berubah terus secara acak, pemainnya juga berganti (tengok AS dengan Trump yang bisa nongol lagi, atau Belanda yang super kanan, dan Jingping serta Putin yang masih tetap menguasai sekian persen dari tombol senjata nuklir, jumlah pasokan energi dan cadangan devisa dunia); dan (g) bagaimana rencana pemerintah baru dalam menghadapi perang dagang, disrupsi rantai pasok dan resesi global, dan semua ketidak-pastian yang sedang dan masih akan terjadi?

Pastinya ada sejumlah pertanyaan paling penting yang tersisa, utamanya buat masyarakat sipil, terutama komunitas hukum kita, yaitu bagaimana pemerintah baru nanti: (i) merealisasikan janji kampanyenya untuk memberantas korupsi; (ii) meneruskan agenda reformasi dengan membentuk rejim legislasi yang pro kepentingan publik; (iii) meneruskan upaya reformasi yang terkait langsung dengan perbaikan lembaga penegak hukum; (iv) serius menangani pelanggaran HAM berat; (v) serius menangani masalah perlindungan lingkungan; dan (vi) memberi akses kepada sistem peradilan yang adil dan luas kepada masyarakat tanpa diskriminasi.

Terjemahannya, apakah dalam hitungan hari atau bulan setelah pelantikan, Prabowo-Gibran berani mengambil keputusan untuk: (a) melaksanakan 150 rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum yang sudah disampaikan kepada Jokowi menjelang akhir 2023, yang tentunya sudah mencakup semua tes dalam angka (i) sampai dengan (vi) di atas, yang cukup mudah dilaksanakan karena sudah “ada barangnya”, dan tidak perlu membentuk tim baru dengan birokrasi dan masalah baru.

(b) lebih khusus lagi, apakah presiden dan wapres terpilih akan mengubah UU KPK untuk memberi peran yang lebih kuat kepada KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi, dengan memberikan KPK independensi lebih, paling tidak ke posisi semula sebelum diobrak-abrik pemerintahan Jokowi pada tahun 2019.

(c) menuntaskan penyelesaian pelanggaran HAM berat walaupun mungkin akan ada dampaknya terhadap Prabowo yang disebut-sebut terkait dengan masalah-masalah tersebut. Dalam tindakan riil simpatiknya, diharapkan Prabowo berani keluar istana dan berdialog dengan mereka yang sudah puluhan tahun melaksanakan “Aksi Kamisan” di depan Istana Merdeka tanpa pernah digubris.

(d) mereformasi lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan, “once and for all”, sebagai salah satu kunci utama menegakkan kembali praktik demokrasi dan penegakkan “rule of law” yang sudah terlanjur menjadi benang basah, atau (e) menata kembali pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam termasuk industri ekstraktif dan industri yang mencemarkan, dan hanya memberikannya kepada mereka yang telah terbukti patuh dan committed pada konsep ESG.

Melihat bagaimana para petinggi partai politik pada saat ini yang sedang “bernegosiasi” dengan Prabowo-Gibran dan Jokowi, tentunya untuk bagi-bagi kekuasaan, maka harapan-harapan itu harus dipendam dulu, dan anggap saja itu semua mimpi indah kita. Sampai nanti kita tiba-tiba terbangun melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi, akan ditenteng ke mana demokrasi, “rule of law”, HAM dan kepentingan publik di Indonesia oleh para elite penguasa baru. 

Jakarta, akhir Maret 2024 - Arief Surowidjojo

Tags:

Berita Terkait