Janji di Antara Kontroversi Para Capim KPK
Berita

Janji di Antara Kontroversi Para Capim KPK

Pansel mengklarifikasi beragam kontroversi yang ada di masyarakat mulai dari tidak tegas, teror, rekening gendut, hingga kode etik.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Suasana tes wawancara dan uji publik Capim KPK di Kementerian Sekretariat Negara Jakarta, Selasa (27/8). Foto: RES
Suasana tes wawancara dan uji publik Capim KPK di Kementerian Sekretariat Negara Jakarta, Selasa (27/8). Foto: RES

Para Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) yang lolos tahap profile assesment menjalani sesi wawancara dengan Panitia seleksi (Pansel). Panitia dan panelis menanyakan sejumlah hal mulai meminta penjelasan mengenai makalah mereka, pandangan mengenai KPK, pengetahuan tentang korupsi termasuk ratifikasi UNCAC, hingga kontroversi beberapa calon yang menjadi buah bibir masyarakat.

 

Alexander Marwata, merupakan Capim KPK pertama yang diwawancarai Pansel dan panelis. Sebagai petahana, pertanyaan Pansel dan panelis seputar kinerja KPK selama ia pimpin. Salah satunya mengenai minimnya penerapan TPPU terhadap para pelaku korupsi, padahal salat satu cara mengembalikan aset negara yang dikorupsi adalah mengenakan pidana pencucian uang.

 

Menurut Alex, KPK mempunyai cara tersendiri untuk merampas harta kekayaan para koruptor yang diduga berasal dari hasil korupsi. Ia mengakui KPK pada masa kepemimpinannya tidak banyak menindak koruptor dengan pencucian uang, tetapi penyidik kerap kali mengenakan pasal gratifikasi terhadap para pelaku.

 

“Tapi bisa merampas aset koruptor dengan pasal gratifikasi misalnya kasus suap dan sering OTT hanya Rp100 juta lalu asset tracing. Lalu menerapkan pidana korporasi. Rasanya-rasanya saya dorong lagi di penuntutan maupun penyidikan, kemarin sudah hampir Rp200 miliar dari korporoasi, dalam disposisi ada harus TPPU dan korporasi dikenakan,” tuturnya, Selasa (27/8/2019).

 

Alex melanjutkan, dalam suatu kasus korupsi dengan kerugian negara Rp1 miliar misalnya terkadang pengembalian aset tidak sampai 50 persen karena telah dikonsumsi koruptor maupun keluarganya atau pihak lain. Bila ada aset atas nama koruptor itu dialihkan ke pihak lain termasuk keluarga, maka bisa dikenakan pidana pencucian uang dan aset keluarganya ikut dirampas.

 

Penjelasan ini pun langsung dikomentari salah satu Pansel, Indriyanto Seno Adji yang merupakan ahli hukum pidana. “Pak Alex kan awalnya sebagai hakim sekarang terbalik sebagai penegak hukum, mau tau soal pemahaman, kalau nggak paham teori bilang aja gak tau jangan ngawur. Kita kenal perampasan aset in personamin rem tapi praktik di KPK tidak pernah dilakukan in personam,” terang Indriyanto.

 

Alex pun menyatakan keinginannya kembali mencalonkan diri karena merasa belum berhasil menjadi pimpinan KPK diantaranya terkait koordinasi dan supervisi, efektifitas penindakan yang masih perlu ditingkatkan, serta masih lamanya proses penyidikan dan penuntutan. Padahal pimpinan KPK melakukan pengawasan dengan melakukan disposisi.

 

“Tapi saya akui Kasatgas (di KPK) sangat bebas, saya setuju independensi tapi tidak boleh tidak diawasi, kita sudah perintahkan direktur dan deputi, bayangkan saat saya minta BAP satu saksi saja enggak diberi, loh saya yang menerbitkan sprindik kok malah enggak boleh, ini harus diperbaiki, kita akan buat sistem sehingga BAP bisa dibaca pimpinan. Jadi seluruh penyidikan, penyitaan bisa diakses pimpinan,” kata Alex.

 

Salah satu kontroversi yang timbul yaitu mengenai adanya capim titipan yang bertujuan untuk melemahkan KPK. “Saya bukan titipan siapapun, saya pimpinan yang jarang komunikasi dengan pejabat DPR tokoh politik, kegiatan saya setelah di KPK pulang ke rumah, Sabtu-Minggu makan sama anak istri, dan kumpul sama temen sma, saya tidak ada ketemu dengan pejabat atau peneyelenggara negara manapun,” terangnya.

 

Pansel juga menanyakan perihal konflik internal di tubuh KPK, apalagi konflik ini sempat mengemuka dan menjadi pembicaraan masyarakat. Alexander mengakui adanya hal itu yang terjadi di Direktorat Penyidikan antara penyidik internal dengan kepolisian. Salah satunya terkait dengan kasus buku merah. Dugaan ketika itu penyidik kepolisian dicurigai menyobek buku tersebut.

 

“Ada penyadapan yang bocor, ada kecurigaan itu, tentu kita tidak tinggal diam baik internal maupun kepolisian dan dari deputinya dan rasanya kepercayaan itu yang harus dibangun. Intinya di jilid 4, menghindari friksi polisi dan jaksa, terserah dibilang cemen, tapi kami memang mau mencegah friksi itu,” kata Alex. Baca Juga: Koalisi Kritisi 20 Capim KPK Hingga Kinerja Pansel

 

Teror dan rekening gendut

Sementara Capim KPK lainnya Antam Novambar menjanjikan adanya sinergi antar lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Menurutnya peran KPK sebagai Trigger Mechanism selama 17 tahun ini belum berhasil dan sudah melenceng dari tujuan awal karena adanya ego sektoral yang timbul dari lembaga tersebut.

 

Karena itu, jika terpilih ia akan merangkul para penegak hukum untuk bersama-sama memberantas korupsi. “Rasanya saya, saya sebagai penegak hukum berjalan sendiri. Kami ditinggal. Tujuan utama KPK sudah melenceng. Ke depan, saya harap kami rangkul dan bersama-sama berantas korupsi, tidak bisa sendiri. Seperti sapu lidi, kalau satu kan tidak bisa. Kalau banyak kan bisa,” ujarnya menganalogikan.

 

Antam berpandangan kehadiran polisi di KPK untuk memperlemah lembaga tersebut hanyalah rumor dan opini semata. Justru ia menilai sebaliknya, KPK sudah merasa berada di zona nyaman, sehingga takut atau gelisah jika ada pihak lain yang masuk ke lembaga itu untuk mengubah kenyamanan tersebut. Kepolisian, sama sekali tidak ingin memperlemah justru memperkuat KPK, salah satu buktinya selama ini pihaknya memberi anggota terbaik untuk bertugas di KPK membantu pemberantasan korupsi.

 

Pria yang kini menjabat sebagai Wakabareskrim ini juga memberi klarifikasi terkait kabar yang kembali muncul tentang kontroversi dirinya karena dianggap mengancam Endang Tarsa perwira polisi yang ketika itu merupakan Plt Direktur Penyelidikan KPK. Ia pun membantah dengan tegas adanya ancaman itu yang terjadi tidak lama setelah Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka.

 

Pertemuan dengan Endang ketika itu juga bukan atas inisiasi dirinya, tetapi ia mendapat informasi Endanglah yang justru ingin melakukan pertemuan untuk menyampaikan hal yang menguntungkan Budi Gunawan yang ketika itu mengajukan praperadilan. Pada saat pertemuan, ia pun menanyakan apakah Endang mau menjadi saksi meringankan untuk Budi Gunawan, dan Endang pun menyetujuinya.

 

“Besoknya ternyata tidak, marah saya. Di KPK yang katanya suci. Saya telpon, direkam. Takut sama Tuhan apa Abraham Samad? Takut sama Abraham Samad? Gila. Ini lembaga penegak hukum yang dieluelukan tapi begini, kita harus ubah etika,” terangnya.

 

Antam juga ditanya mengenai hasil penelusuran PPATK tentang adanya rekening gendut miliknya. Awalnya anggota Pansel Harkristuti Harkrisnowo menanyakan apakah dirinya mempunyai rekening gendut, dan kapan terakhir kali melaporkan harta kekayaan. Ia pun membantah hal itu dan mengatakan terakhir kali melaporkan harta kekayaan pada 2018 dan baru dirilis 2019 lalu.

 

“Dari PPATK ada catatan dana keluar masuk?” tanya Harkristuti. Ia tidak menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan seharusnya perbankan menurut undang-undang wajib merahasiakan dana nasabah, jika tidak ada konsekuensi hukuman pidana.

 

“Memang tidak boleh ditanya kalau bukan tersangka, tapi ini terkait rekam jejak Bapak,” jawab Ketua Pansel Yenti Ganarsih. Yenti pun mendatangi meja Antam untuk menunjukkan laporan PPATK itu.

 

“Seingat  saya, yang saya kasih istri itu gaji, honor, perjalanan dinas, ada mungkin makan, lalu silahkan dicek saya tidak pernah transfer dalam bentuk besar. Istri saya dan anak saya juga ada usaha, Aditya itu pengusaha sejak SMA, bahkan SD, mungkin karena dari nenek saya juga dagang. Saya ada beberapa tanah warisan ibu saya, rumah, saya juga ada dari orang tua,” terang Antam.

 

Antam juga ditanya bagaimana jika nanti ia menjadi pimpinan KPK dan ada oknum kepolisian termasuk seniornya yang melakukan korupsi. “Hajar,” tegasnya.

 

Sementara mengenai banyaknya teror kepada para pegawai KPK seperti yang terjadi pada Novel Baswedan, Antam pun angkat bicara. Ia menjamin kalau dirinya terpilih menjadi pimpinan KPK, tidak akan lagi ada teror terhadap para pegawainya, apalagi ia pernah bertugas di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88.

 

"Insya Allah, saya pernah di Densus juga di BNPT juga. Saya tahu bagaimana menjaga anggota saya. Saya bisa menjamin tidak akan terjadi lagi. Karena penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, penjahatnya kan berduit semua," katanya. 

 

Dugaan etik dan gratifikasi

Capim KPK lainnya, Firli Bahuri juga menjawab sejumlah tudingan yang selama ini dialamatkan kepadanya. Sebelum menjadi Kapolda Sumatera Selatan, ia diketahui pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan di KPK selama 1 tahun 2 bulan. 

 

Nah pada posisi inilah ada dugaan ia melanggar kode etik karena bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi atau yang lebih dikenal dengan nama Tuan Guru Bajang (TGB) yang diduga sedang berperkara di KPK. Sebelum bertugas di KPK, Firli sebelumnya adalah Kapolda NTB. 

 

Ia mengakui bertemu TGB pada 13 Mei 2018. Pertemuan itu tidak disengaja dan tanpa diketahui olehnya, sebab kedatangannya ke NTB ketika itu dalam rangka serah terima jabatan serta acara perpisahan dan telah mendapat izin dari pimpinan KPK. 

 

Kemudian ia diundang bermain tenis oleh penegak hukum setempat dan disana juga ada atlet tenis nasional. Firli datang pada Pukul 06.30 WITA, sementara TGB datang pada Pukul 09.30 WITA. "Jadi saya tidak mengadakan hubungan dan tidak mengadakan pertemuan, (kalau) bertemu iya," terangnya. 

 

Masalah ini pun telah diklarifikasi kepada pengawas internal dan disampaikan kepada pimpinan KPK. Dan hasilnya ia terbukti tidak melanggar kode etik sesuai dengan Pasal 36 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang intinya melarang pimpinan KPK mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apapun. Di Pasal 37 UU KPK, aturan ini juga berlaku kepada pegawai dan penasihat KPK. 

 

"Hasilnya begini Pak, dari pertemuan itu, bahwa tidak ada fakta yang mengatakan bahwa saya melanggar Pasal 36 UU KPK, karena unsurnya memang tidak ada, TGB bukan tersangka dan saya tidak melaksanakan hubungan. Dalam kesempatanitu Pak, kesimpulan akhir adalah tidak ada pelanggaran dan tidak ada pelanggaran," lanjutnya. 

 

Selain tentang kode etik, Firli juga diklarifikasi mengenai adanya penerimaan gratifikasi pada saat ia ingin pindah dari Lombok ke Jakarta. Ketika itu, jenderal polisi bintang dua ini sempat menginap di Hotel bersama keluarga selama 2 bulan dan diduga ada pihak lain yang membayar biayanya. 

 

Firli menjelaskan alasan menginap di hotel dengan durasi 2 bulan tersebut yaitu pada 24 April hingga 26 Juni. Ia mengaku masih memiliki anak yang harus bersekolah di Sekolah Dasar (SD), sementara istrinya harus terus mengawasi dan ia juga akan pindah ke Jakarta. 

 

"Selama saya di sana, hampir dua bulan itu. Saya masuk cek in 24 April. Itu istri saya membayar langsung Rp50 juta dibungkus amplop coklat. Saya ada buktinya. Dan sisanya sebesar Rp5,174 juta pun dibayar dengan uang sendiri,” terangnya.  

 

"Jadi tidak benar kalau saya dapat gratifikasi karena menginap di hotel. Saya masih punya harga diri. Dan saya tidak pernah korbankan masa depan saya dan integritas saya. Saya 35 tahun jadi Polisi, tidak pernah memeras orang. Dan tidak pernah minta-minta pada orang. Mohon maaf saya terlampau semangat, tapi itu harus saya sampaikan," tegasnya. 

 

Pansel juga menanyakan rumah Firli di Bekasi yang terkesan cukup mewah bagi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya pada 19 Maret 2019, ia diketahui memiliki harta sebanyak Rp18 miliar. 

 

Firli mengaku harta itu didapat dari usaha istrinya yang bergerak di bidang jasa dan kesehatan. "Bolehlah nanti kawan-kawan wartawan atau Pansel pijit refleksi, yang tiap bulan bisa 3.000 kepala, 1 kali refeksi Rp90 ribu, bisa dihitung sendiri 1 tahun berapa," jelasnya. 

 

Sayangnya klaim Firli mengenai kode etik dibantah pihak KPK melalui Juru Bicara Febri Diansyah. Menurut Febri setelah dicek ke Pimpinan KPK, kami pastikan informasi tersebut tidak benar. Pimpinan KPK tidak pernah menyatakan, apalagi memutus bahwa tidak ada pelanggaran etik oleh mantan pegawai KPK itu yang sekarang sedang menjalani proses pencalonan sebagai Pimpinan KPK. 

 

Menurut Febri, Firli diduga tidak hanya sekali melakukan pertemuan dengan pihak yang berperkara, tetapi mencapai tiga atau empat kali. Kemudian tidak ada keputusan pimpinan karena yang bersangkutan tidak lagi menjadi pegawai KPK alias ditarik kembali ke institusi asal. "Untuk menjaga hubungan antar institusi penegak hukum, maka Pimpinan KPK melakukan komunikasi dengan Polri terkait proses penarikan dan tidak diperpanjangnya masa tugas yang bersangkutan di KPK," jelasnya. 

Tags:

Berita Terkait