Jangan Salah Mengartikan Hak!
Kolom

Jangan Salah Mengartikan Hak!

Paradigma ini terbuka setelah membaca salah satu bab dalam buku yang ditulis sarjana Belanda yang hidup diawal kemerdekaan, L.J. Van Apeldoorn yang dalam salah satu paragraf dalam tulisannya sang sarjana menyebutkan bahwa Konstitusi RIS dan UUDS 1950 mengatur bahwa negara memelihara fakir miskin dan anak terlantar.

Bacaan 2 Menit
Jangan Salah Mengartikan Hak!
Hukumonline

Atas ketentuan tersebut sang sarjana mengatakan bahwa hal tersebut adalah kewajiban negara yang sifatnya imperatif (memaksa) tidak dapat dikatakan karena tidak adanya kata kewajiban dalam redaksi pasal mengakibatkan hal tersebut menjadi dibaca “tidak harus dilaksanakan”. Ditambahkan olehnya, adalah suatu hak bagi fakir miskin dan anak terlantar untuk memanfaatkan fasilitas pemeliharaan yang diselenggarakan oleh negara. Artinya fakir miskin dan anak terlantar bebas memilih untuk memanfaatkannya atau tidak.  Adapun  negara adalah harga mati, memiliki keharusan melakukan pemeliharaan tersebut, sekalipun, seandainya, tidak ada seorangpun dari fakir miskin dan anak terlantar mau memanfaatkanya.

 

Pemahaman mengenai apa itu hak menjadi penting, karena salah-satu tujuan dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah menjamin hak-hak warga negara.

 

Miris sekali ketika penerapan undang-undang tersebut di Indonesia ini oleh para aparatur pemerintahan bahkan sebagian akademisi memahami hak sebagai hal yang bersifat fakultatif (tidak memaksa) dalam pelaksanaannya, karena logika berfikirnya melihat bahwa yang sifatnya memaksa untuk dilaksanakan adalah Kewajiban. Sehingga, sebagai contoh, apabila UUD RI 1945 mengatakan bahwa warga negara berhak atas pendidikan, maka karena sifatnya yang fakultatif dapat menimbulkan implementasi penerapan “komersialisasi” pendidikan. Bukan penjaminan pendidikan bagi setiap warga negara yang berkeinginan sekolah, terlepas dari dia mampu membayar biaya pendidikan atau tidak, karena sifat dasar hak adalah fakultatif, bisa digunakan bisa juga tidak.

 

Terminologi hak menjadi semakin kacau dengan adanya istilah Hak Asasi Manusia yang diartikan sebagai hak mendasar yang tidak dapat tidak dilaksanakan atau dijamin oleh negara. Pemahaman ini seolah-olah membedakan antara hak dengan Hak Asasi Manusia, dimana “Hak yang Biasa” dimungkinkan untuk tidak dilaksanakan sedangkan Hak Asasi Manusia wajib dilaksanakan. Kerancuan ini bahkan diatur dalam UUD RI 1945 yang membedakan bab mengenai Hak Asasi Manusia dengan Hak Warga Negara lainnya. Bukankah untuk Hak Asasi Manusia istilah universalnya adalah Human Rights (Hak-hak Manusia) bukan Human Fundamental Rights atau Human Basic Rights. Sehingga apapun namanya, dasarnya tetaplah sebuah hak, tidak ada perbedaan.

 

Adalah tidak tepat membedakan antara kedua hak tersebut dalam suatu produk hukum, karena faktanya menimbulkan kerancuan dalam praktek berbangsa dan bernegara mengenai apa itu Hak. Sebagai contoh yang tadi disebutkan, tidak dapat kita mengatakan bahwa hak atas pendidikan adalah hak warga negara bukan Hak Asasi Manusia. Karena konsepsi Hak sebenarnya adalah sesuatu yang seolah-olah “kebendaan” yang dimiliki atau memiliki hubungan dengan seolah-olah “kebendaan” tersebut, dapat dianalogikan, dimana ketika seseorang memiliki suatu kebendaan adalah terserah seseorang tersebut ingin menggunakan atau memanfaatkan benda tersebut atau tidak, dan dalam konteks kenegaraan, adalah keharusan bagi negara  menciptakan dan menjamin pelaksanaan “kebendaan” yang disebut dengan Hak Warga Negara tersebut. Dalam penerapannya kemudian  terserah pada warga negara ingin menggunakan hak tersebut atau tidak.

 

Berdasarkan  pemikiran tersebut jelaslah bahwa hak bersifat fakultatif ketika berada di tangan warga negara, atau orang yang memegang hak tersebut. Sedangkan negara sebagai pencipta Hak tersebut wajib menyediakan dan melaksanakan ketika warga negara ingin menggunakan Hak tersebut setiap saat. Tidak boleh ada keadaan dimana aparatur negara masih menilai-nilai apakah akan menjalankan hak yang dimintakan warga negara atau tidak dengan pembelaan bahwa sifat dasar dari hak adalah fakultatif.

 

Uji Tafsir Hak Warga Negara

Menarik membaca website Mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra yang pada hari Senin, 18 Oktober 2010 memohon restu untuk mengajukan permohonan uji tafsir  atas Pasal 65 dan 116 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke Mahkamah Konstitusi. Jika sebelumnya permohonan uji tafsir masa jabatan Jaksa Agung sangat eksplosif pemberitaannya dan menarik perhatian publik, dan akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Yusril, maka kali ini uji tafsir yang diajukan oleh Yusril cenderung sepi dari gegap gempita media massa, padahal penulis justru melihat ada hal yang menarik dalam perkara ini, yang tentu saja erat kaitannya meluruskan pemahaman sebagian orang mengenai apa itu hak. 

 

Jika dalam permohonan uji tafsir sebelumnya Yusril mempermasalahkan batas waktu kekuasaan dalam pemerintahan. Kali ini Yusril memohonkan uji tafsir atas Hak Warga Negara. Karena itu, sangat relevan kasus Yusril ini menjadi contoh aktual dalam tulisan ini.

Dalam perkara ini, Yusril hendak memanfaatkan haknya sebagai warga negara yang sedang disangkakan melakukan tindak pidana untuk dihadirkan saksi-saksi yang menguntungkan baginya (a de charge), sebagaimana diatur dalam Pasal 65 dan 116 ayat (3) dan (4) KUHAP. Tetapi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus M. Amari dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Babul Khoir, dalam beberapa rilis media dengan tegas menolak keinginan Yusril untuk menggunakan haknya tersebut, yaitu untuk menghadirkan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri, Wakil Presidek ke-10 Jusuf Kalla dan Mantan Menko Ekwin Kwik Kian Gie sebagai saksi yang meringankan dirinya, karena Kejaksaan menilai bahwa saksi-saksi tersebut tidak terkait dengan fakta-fakta perkara.

 

Tanpa ingin masuk kedalam subtansi perkara yang sedang membelit Yusril. Sangat menarik untuk mengkaji penerapan penggunaan hak warga negara di Indonesia ini. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa suatu hak warga negara ketika dimintakan kepada Negara untuk dilaksanakan maka adalah kewajiban negara untuk melaksanakannya.

 

Tidak dapat negara, dalam hal ini aparatur pemerintahan, menilai-nilai apakah relevan untuk melaksanakan hak  warga tersebut atau tidak, sepanjang Hak Warga Negara tersebut telah diatur dengan tegas oleh Undang-Undang, dilakukan oleh negara adalah sesegera mungkin melaksanakan hak yang dimintakan oleh warganya, sebagai bentuk pemberian jaminan keadilan dan kepastian hukum bagi warganya.

 

Dalam perkara permohonan uji tafsir yang kedua dilakukan oleh Yusril ini, secara akademik dan konsisten atas prinsip-prinsip dasar hukum, tanpa mendahului Putusan Mahkamah Konstitusi dapat diperkirakan bahwa dictum putusan Mahkamah Konstitusi akan menegaskan bahwa hak-hak tersangka yang diatur dalam KUHAP tersebut wajib dilaksanakan oleh penyidik dalam hal ini Kejaksaan. Apalagi jika ditambahkan dengan dengan alasan sosiologis dimana terdapat banyak fakta yang mendukung bahwa pihak penegak hukum seringkali tidak melaksanakan kewajibanya ini karena menilai hal tersebut hanyalah hak yang sifat dasarnya adalah fakultatif. Kecuali, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan hal substansial disamping itu sehingga putusannya akan berbeda dari perkiraan.

 

Kali ini penulis, tidak berkepentingan pada apa yang terjadi pada Yusril, tetapi berkepentingan pada sikap Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan mengenai apa itu hak yang akan jelas tercermin dalam putusan dalam perkara permohonan uji tafsir yang kedua oleh Yusril tersebut.

 

-----

*) Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

   

Tags: