Jangan 'Diskriminasikan' Peradilan Militer
Berita

Jangan 'Diskriminasikan' Peradilan Militer

Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa mengeluhkan RUU Peradilan Militer yang tak kunjung disahkan.

Ali
Bacaan 2 Menit
Pembahasan RUU Peradilan Mililter amat lambat. Foto: Sgp
Pembahasan RUU Peradilan Mililter amat lambat. Foto: Sgp

Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa meminta seharusnya perlakuan terhadap peradilan militer disamakan dengan peradilan-peradilan yang lain. “Tapi sayang, perlakuan yang sama terhadap peradilan militer belum benar-benar terwujud,” ujarnya di Gedung MA, Selasa (29/12). Ia mencontohkan belum juga disahkannya RUU Peradilan Militer.

 

RUU yang dimaksud oleh Harifin adalah rancangan revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. “RUU Peradilan Militer yang kita perjuangkan belum selesai. Kita harus terus berjuang agar payung hukum bagi peradilan militer ini terbit, sehingga tercipta kesetaraan antar lingkungan peradilan,” jelasnya saat melantik Brigjen TNI Burhan Dahlan sebagai Kepala Pengadilan Militer Utama.   

 

Pembahasan RUU Peradilan Militer memang tertinggal dibanding pembahasan RUU lingkungan Peradilan yang lainnya (RUU Peradilan Agama, RUU Peradilan Tata Usaha Negara dan RUU Peradilan Umum). Padahal, RUU Peradilan Militer ini diajukan secara bersama-sama dengan RUU peradilan yang lain pada 2005 lalu.

 

Namun, hanya RUU Peradilan Umum, RUU Peradilan Agama dan RUU Peradilan Tata Usaha Negara yang berhasil disahkan. Sedangkan, RUU Peradilan Militer masih terus dibahas. Bahkan, sampai 2009 ini, tiga RUU Peradilan itu disahkan kembali untuk revisi kedua, RUU Peradilan Militer belum juga kunjung selesai.

 

Ketua Muda Militer MA Imran Anwari juga mengeluhkan lambatnya pembahasan RUU Peradilan Militer. “Belum ada kepastian kapan RUU ini selesai,” ujarnya. Ia mengakui memang masih menjadi pertentangan pendapat yang tajam dalam pembahasan RUU ini. “Masih banyak yang belum sinkron,” tuturnya lagi.

 

Mantan Ketua Panja RUU Peradilan Militer Azlaini Agus mengakui masih terdapat perbedaan pendapat yang tajam antara DPR dan Pemerintah terkait RUU ini. Pertama, mengenai yurisdiksi. Pemerintah berpendapat setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia, baik pidana umum maupun pidana militer, harus diselesaikan di Pengadilan Militer.

 

Di lain pihak, DPR berpendapat hanya anggota TNI yang melakukan tindak pidana militer yang bisa dibawa ke Pengadilan Militer. Sedangkan anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum, harus dibawa ke pengadilan negeri. Saat pembahasan, lanjut Azlaini, pemerintah yang diwakili menteri pertahanan sempat mengalah. Yakni, pemerintah ikut pendapat DPR.

 

Sayangnya, penerimaan pemerintah hanya setengah hati. Pemerintah berpendapat, lanjut Azlaini, meski ada anggota TNI yang diperiksa di peradilan umum (pengadilan negeri) maka penyidik dan penuntut umumnya harus berasal dari Polisi Militer (POM). “Mereka tak mau disidik oleh polisi,” ungkapnya. Tentu saja DPR tak setuju. Pasalnya, bila usulan ini diterima maka ada lembaga militer yang masuk ke dalam peradilan umum. “Itu melanggar KUHAP,” tuturnya.

 

Azlaini memang saat ini tidak lagi menjabat sebagai Anggota DPR RI. Tugas menyelesaikan RUU Peradilan Militer saat ini berada di pundak para Anggota DPR Periode 2009-2014. Sayangnya, progres pembahasan bukan makin maju malah makin mundur. Saat ini, RUU Peradilan Militer memang telah masuk program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2010 sampai 2014. Namun, RUU ini tidak masuk ke dalam RUU yang diprioritaskan untuk diselesaikan pada 2010. Tampaknya masih perlu menunggu waktu lama untuk menunggu UU ini disahkan.

 

 

Tags:

Berita Terkait