Jampidum Didorong Optimalisasi Keadilan Restoratif
Terbaru

Jampidum Didorong Optimalisasi Keadilan Restoratif

Restorative justice bukan sebagai subtitusi atau pengganti sistem pidana konvensional, tapi pelengkap. Pendekatan ini jangan hanya dipandang sebagai penghentian perkara, tapi mendorong pemulihan bagi korban yang selama ini terabaikan dalam sistem pidana konvensional.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit

Penanganan perkara dengan mengedepankan hati nurani ini, kata Bamsoet, mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum.

Mantan Komisi III DPR Bidang Hukum, HAM dan Keamanan itu mengharapkan, Jampidum juga harus mampu meningkatkan kemampuan para jaksa secara teknis dan yuridis. Sehingga dalam penanganan perkara, para jaksa senantiasa menguasai anatomi perkara dan pemahaman normatif yuridis, mencermati pertimbangan aspek sosial pelaku, korban dan masyarakat serta mempertimbangkan syarat subjektif dalam hal perlu atau tidaknya melakukan penahanan, tanpa terkungkung oleh legalitas formil yang tidak perlu.

Jampidum, lanjut Bamsoet, juga harus bisa mengarah dan mengawasi jajarannya supaya dapat melaksanakan tugas prapenuntutan, penuntutan, dan upaya hukum, serta eksekusi dan eksaminasi dengan baik, cepat, tepat, cermat, dan tidak menunda-nunda waktu.

“Sehingga dapat membantu Jaksa Agung untuk membuktikan kepada publik bahwa kejaksaan dekat dengan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat,” kata Bamsoet.

Sebelumnya, Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Aisyah Assyifa, mengatakan restorative justice merupakan pendekatan baru dalam pidana di Indonesia. Ketentuan itu mestinya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tapi praktiknya tersebar dalam peraturan internal di berbagai lembaga penegak hukum.

“Akibatnya peraturan restorative justice di Indonesia tidak sinkron,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘Diseminasi Hasil Penelitian Asesmen Peraturan Internal Lembaga Penegak Hukum tentang Keadilan Restoratif Terhadap KUHP 2023’, Selasa (26/3/2024).

Terlebih lagi, restorative justice bukan sebagai subtitusi atau pengganti sistem pidana konvensional, tapi pelengkap. Pendekatan ini jangan hanya dipandang sebagai penghentian perkara, tapi mendorong pemulihan bagi korban yang selama ini terabaikan dalam sistem pidana konvensional.

Aisyah juga mengapresiasi rancangan Perma tentang restorative justice karena memuat ketentuan yang menekankan kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan terdakwa untuk bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan korban sebaggai akibat tindak pidana menjadi alasan yang meringankan hukuman. Dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kendati demikian, Aisyah mengkritik rancangan Perma itu karena terdapat kontradiksi terkait eksekusi pidana penjara dalam hal terdapat pelanggaran syarat umum. Penjatuhan pidana pengawasan dalam rancangan Perma restorative justice itu harus menyesuaikan pidana pengawasan dalam UU 1/2023.

“Peraturan internal tentang restorative justice yang tersebar di berbagai lembaga penegak hukum harus dilakukan penyesuaian dan harmonisasi dengan UU 1/2023,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait